Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Ibu Bukan "Mother's Day", Penting Meluruskan Sejarah

21 Desember 2020   08:42 Diperbarui: 21 Desember 2020   08:56 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hasil screenshoot (dokumen pribadi)

Tadi pagi, Senin (21/12/2020), saya menyaksikan segmen dialog di saluran TVRI, yang menghadirkan Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd sebagai narasumber. 

Dialog selama 15 menit itu mengangkat topik peringatan Hari Ibu ke-92, yang besok, Selasa, 22 Desember 2020, akan diperingati Indonesia. Dialog ini dipandu oleh Nurul Jamilah dan Yoga Pratama, pembaca acara berita "Klik Indonesia Pagi".

Dalam dialog itu, Giwo yang pernah menjabat Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) ini menyampaikan, Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember di Indonesia bukanlah seperti Mother's Day yang dirayakan di negara-negara lain. Masyarakat kita banyak yang salah mengartikannya.

Giwo menjelaskan, Hari Ibu itu berasal dari Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hanya selang dua bulan dari deklarasi Sumpah Pemuda oleh para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Jadi, Kongres Perempuan Indonesia yang pertama ini sebagai kelanjutan dari Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di Jakarta, 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda, yang hingga kini selalu terngiang di masyarakat Indonesia.

Pada saat itu, para perempuan pejuang juga melakukan aksi demonstrasi tidur di bantalan rel kereta api sehingga terjadilah negoisasi dengan Belanda dan diperbolehkan menaiki kereta menuju Yogyakarta.


Ada tujuh organisasi perempuan yang berinisiatif mengadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama itu. Mereka adalah perempuan pejuang Indonesia, yaitu Wanito Utomo, Putri Indonesia, Aisyiyah, Jong Islamieten Bond, Wanita Taman Siswa, Jong Java Meisjeskring, dan Wanito Katholik.

Salah satu keputusan dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama itu adalah membentuk satu organisasi federasi mandiri dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). 

PPPI dibentuk dengan tujuan meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju, juga bahu-membahu dengan laki-laki memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Pergerakan tidak hanya berhenti pada saat itu saja. Sejak 22 Desember 1928, kongres demi kongres diselenggarakan guna membicarakan masalah pendidikan, sosial budaya, ekonomi, tenaga kerja dan politik.

Hasil screenshoot (dokumen pribadi)
Hasil screenshoot (dokumen pribadi)
Pada 1935 di Jakarta, diadakan Kongres Perempuan Indonesia II. Salah satu keputusan pentingnya adalah kewajiban utama perempuan Indonesia menjadi ibu bangsa yang berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsaan.

Pada tahun yang sama PPII berganti nama menjadi Kongres Perempoean Indonesia dan pada 1946 menjadi Kongres Wanita Indonesia yang disingkat KOWANI sampai saat ini. Program pendidikan, sosial budaya, ekonomi, tenaga kerja dan politik, yang kala itu menjadi perjuangan kaum perempuan, terus dilanjutkan oleh Kowani hingga sekarang.

Sementara Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember hasil keputusan Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung pada 1938, merujuk pada tanggal pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia I.

"Keputusan itu kemudian dikukuhkan pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur pada 16 Desember 1959," kata Giwo.

Melihat sejarah Kongres Perempuan Indonesia dan penetapannya, maka Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember sejatinya adalah hari peringatan pergerakan perempuan Indonesia.

Karenanya, Peringatan Hari Ibu ke-92 adalah momentum perempuan Indonesia membangun Indonesia dengan tugasnya sebagai Ibu bangsa yang mengemban tanggung jawab mulia, inovatif, dan memiliki kepribadian bangsa nasionalisme, serta sehat dan jasmani.

Hari Ibu juga menjadi momentum pemantik semangat tidak hanya bagi para perempuan, tapi juga masyarakat khususnya generasi muda untuk bergerak bersama secara nyata meningkatkan kualitas hidup perempuan. 

"Kita secara bersama-sama memberikan solusi dalam menghadapi berbagai persoalan terkait perempuan khususnya dalam menghadapi masa sulit pada situasi pandemi Covid-19 saat ini. Terlebih sebentar lagi kita memasuki era industri 5.0 yang sebisa mungkin tantangan dan hambatan ini menjadi peluang bagi kaum perempuan Indonesia dalam mengembangkan potensi diri," tegas Giwo.

Karenanya, kita harus berkolaborasi dan bersinergi mengemban amanat para founding mothers untuk sebaik-baiknya menjadi ibu bangsa sejati. Jangan melupakan sejarah, kita harus menjalankan amanah para perempuan terdahulu yang memberikan pengorbanan luar biasa bukan hanya materi tapi juga jiwa dan raga.

"Peringatan Hari Ibu lebih dari sekedar mother's day. Ini adalah momentum kebangkitan bangsa, penggalangan rasa persatuan dan kesatuan serta gerak perjuangan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan untuk Indonesia maju yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia," katanya.

Dalam berbagai kesempatan webinar yang saya ikuti menjelang Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-92, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, menyampaikan Hari Ibu merupakan momen peringatan pergerakan perempuan Indonesia yang pada saat itu saling mengukuhkan semangat dan tekad bersama dalam mendorong kemerdekaan Indonesia.

Menteri pun mengajak seluruh rakyat Indonesia, terutama generasi muda untuk mengingat kembali arti dan makna Hari Ibu karena memiliki makna yang berbeda dengan Mother's Day yang diperingati negara-negara barat. Esensinya juga berbeda. Karenanya, pergeseran makna PHI ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Peringatahan Hari Ibu harus dijadikan momentum kebangkitan bangsa, penggalangan rasa persatuan dan kesatuan, serta gerak perjuangan kaum perempuan yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Karenanya, menurut saya, sangat penting bagi generasi milenial agar membaca sejarah bahwa hari ibu bukan mother's day yang selama ini dipahami. Bukan sekedar ucapan "Selamat Hari Ibu" tetapi ada makna perjuangan perempuan Indonesia. 

Pemahaman yang benar mengenai Hari Ibu penting juga untuk kemudian disebarluaskan ke media sosial oleh generasi milineal. Agar tidak terjadi lagi pergeseran makna Hari Ibu. Dengan begitu, generasi milenial dan masyarakat Indonesia mampu mengambil hikmah dari perempuan-perempuan tangguh yang berjuang meraih kemerdekaan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun