Mohon tunggu...
Neneng Maulyanti
Neneng Maulyanti Mohon Tunggu... Dosen - perempuan

pensiunan PNS dan dosen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pewarisan Nilai Budaya Jepang (Bagian Ketiga)

24 Oktober 2021   19:39 Diperbarui: 24 Oktober 2021   19:44 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tulisan saya terdahulu tentang program training keguruan di Jepang terdapat acara observasi sekolah. Dalam acara tersebut, setiap peserta pelatihan (trainee) diwajibkan melakukan observasi di dua kelas dengan komunitas yang berbeda. Misalnya kelas SD dan SMP atau SMA. 

Sekolah yang saya kunjungi sangat besar, dan menyediakan sekolah dari tingkat TK sampai SMA, sehingga saya tidak perlu melakukan observasi di dua lokasi berbeda untuk mengobservasi kelas 1 dan kelas 10.

Di dalam kelas yang terdiri dari sekitar 40 orang siswa terlihat para siswa mengenakan kostum dalam berbagai model, namun sama dalam warna. Bentuk bangku sengaja didisain untuk satu siswa saja, sehingga siswa tidak dapat mengobrol satu dengan lainnya selama pembelajaran berlangsung. 

Disamping itu, karena bangku-bangkunya tidak terlalu besar dan mudah digeser, maka susunan bangku dapat diubah setiap saat sesuai dengan formasi yang diperlukan. 

Terdapat loker-loker di bagian belakang kelas  untuk menyimpan tas, buku-buku, dan peralatan lain, sehingga di atas dan di dalam laci meja hanya terdapat buku-buku pelajaran yang sedang dipakai. 

Apa bila satu mata pelajaran usai, maka siswa mengganti buku-buku mereka dengan buku pelajaran berikutnya, dan menyimpan buku dari mata pelajaran yang sudah selesai di dalam loker.

Papan tulis yang digunakan di setiap kelas merupakan papan tulis biasa (black board) yang dalam bahasa Jepangnya disebut 'kokuban', dan untuk menulis digunakan kapur tulis. 

Ada peraturan sekolah yang mengharuskan semua orang yang masuk ke area sekolah mengganti sepatu dengan surip, dengan tujuan agar sekolah tidak terkontaminasi oleh debu dari luar yang melekat di sepatu, maka otomatis penggunaan papan tulis menjadi perhatian saya. Pasalnya, semua kapur tulis akan meninggalkan serbuk putih di bawah papan tulis, yang tentunya mengotori ruangan. 

Akan tetapi saya tidak menemukan serbuk dari kapur di bawah papan tulis, maka saya yakin bahwa jenis kapur tulis yang digunakan di Jepang  tidak sama dengan kapur tulis yang digunakan di Indonesia. 

Pada saat kami memasuki ruang kelas, seorang siswa sedang membersihkan papan tulis dengan menggunakan penghapus papan tulis, kemudian dia meletakkan penghapus tersebut ke dalam sebuah mesin penyedot debu yang berbentuk kotak dengan penutup.  

Setelah bunyi mesin berhenti, siswa mengeluarkan penghapus yang sudah dibersihkan dari serbuk kapur yang melekat di permukaannya, kemudian meletakkannya di sebelah mesin.

Bila siswa kelas 1 yang meskipun antusias dengan kedatangan tamu, namun mereka duduk tenang tanpa berbicara sepatah katapun, sementara di kelas 10, usai kami memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kedatangan kami, ketua kelas memberi pidato sambutan singkat, dan dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan dari beberapa siswa terkait program training center. 

Di samping pertanyaan yang bersifat formal, beberapa siswa melontarkan pertanyaan yang sifatnya pribadi, misalnya: asal negara kami, lingkungan tempat tinggal kami, dan sebagainya. 

Perlu diketahui, bahwa para trainee yang mengikuti program pelatihan keguruan di center, adalah para guru bahasa Jepang yang berasal dari berbagai negara di dunia. Setelah acara perkenalan selesai, proses belajar mengajar pun dimulai. Saat itu adalah waktu belajar geografi (chiri gaku).

Pada hari itu, ada kejadian yang menarik perhatian saya. Di saat proses belajar-mengaja berlangsung, seorang siswa tertidur di kelas. Bangku siswa ini tepat di depan meja guru, sehingga guru dapat melihat jelas bahwa siswa tersebut tertidur lelap. Hal yang menarik adalah, guru melanjutkan penyampaian materi pelajaran dan bersikap seolah tidak melihat siswa tersebut. 

Ketika siswa tersebut terjaga, guru hanya berkata: "daijoubu desu ka" yang artinya 'kamu tidak apa-apa (tidak sedang sakit)?'. Pertanyaan ini lumrah diucapkan orang Jepang untuk memperlihatkan perhatiannya terhadap kondisi orang lain.  

Berdasarkan jawaban siswa yang mengatakan bahwa dia baik-baik saja, maka guru menganjurkan siswa untuk mencuci muka sebelum mengikuti kegiatan belajar kembali.

 Siswa tersebut bergegas ke kamar mandi, dan lima menit kemudian dia kembali ke tempat duduknya dengan wajah yang memperlihatkan rasa malu. Guru hanya memandanginya sambil tersenyum dan melanjutkan pelajaran, seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. 

Sementara itu, siswa yang bersangkutan kembali memperhatikan penjelasan guru, meski sesekali menoleh kepada teman-temannya sambil tersenyum malu. 

Cara guru dalam mengatasi masalah yang muncul dalam proses pembelajaran, menunjukkan bahwa guru telah memposisikan diri sebagai pembina moral siswa. Dan hal ini mengingatkan saya pada Elkind dan Sweet (2004) yang mengatakan: You are a character educator. Whether you are a teacher, administrator, custodian, or school bus driver, you are helping to shape the character of the kids you come in contact with. It's in the way you talk, the behaviours you model, the conduct you tolerate, the deeds you encourage, the expectations you transmit. Dengan demikian, semua guru, baik guru bidang studi eksak, sosial, maupun budaya juga merupakan pembina karakter.

Di sekolah-sekolah terdapat kelas-kelas kompetensi, seperti kelas sains, kelas biologi, kelas musik, dan kelas-kelas lainnya sesuai bidang studi yang tersedia. 

Dengan demikian para siswa bisa memilih kelas yang dirasakan sesuai dengan minat dan bakatnya, dan dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Kendati demikian, bukan berarti setiap siswa terbebas dari pelajaran-pelajaran lainnya, karena kelas-kelas kompetensi tersebut hanya diadakan pada hari-hari dan jam-jam tertentu saja. 

Artinya, di luar jadwal tersebut, siswa belajar biasa di kelas reguler, dan mendapatkan berbagai pelajaran lainnya. Kami cukup beruntung, karena pada hari itu ada kegiatan kelas-kelas kompetensi, yakni kelas musik dan kelas melukis. Oleh karena itu, kami (seluruh trainee) menyempatkan diri mendatangi kelas-kelas tersebut. Siswa-siswa yang sedang berlatih terlihat sangat serius. Mungkin karena kegiatannya sesuai dengan hobi mereka.

Mengakhiri pelaksanaan tugas observasi sekolah adalah mengelilingi area sekolah untuk melihat fasilitas pengajaran, dan menyaksikan kegiatan para siswa di sore hari setelah selesai program belajar di kelas. 

Baik di dalam ruangan-ruangan maupun di luar ruangan, terlihat semua siswa tingkat SMP dan SMA tengah asyik dalam kegiatannya masing-masing. Setelah kemi dekati, barulah kami tahu bahwa mereka tengah mempersiapkan perayaan 'Tanabata' atau Festival Bintang yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juli.

Dokpri
Dokpri
Masing-masing siswa melakukan tugasnya dengan semangat. Sebagian siswa menggotong pohon bambu dan meletakkan pohon tersebut di tempat yang telah ditentukan, kemudian mereka mulai menghias ranting-ranting bambu dengan berbagai hiasan terbuat dari kertas warna warni. 

Beberapa siswa lainnya membuat hiasan terbuat dari kertas yang cukup besar untuk di gantungkan di sekitar pohon bambu atau di tempat lainnya. Siswa yang tidak termasuk dalam tim dekorasi, sibuk di kelas masing-masing membuat hiasan-hiasan kecil dengan menggunakan kertas warna-warni untuk digantungkan di pohon bambu. 

Begitu ada aba-aba dari guru yang mengatakan bahwa mereka diperbolehkan pulang, semua siswa membereskan ruangan, dan menyimpan pekerjaan mereka yang belum rampung di loker masing-masing. Setelah kelas bersih dan rapi kembali, mereka mendatangi guru, membungkukkan badan kepada guru sambil mengucapkan salam, lalu bergegas pulang.

Menurut salah seorang guru, salah satu acara yang perlu diikuti oleh semua siswa adalah kegiatan mempersiapkan perayaan (matsuri). Tujuannya adalah untuk mengembangkan kreativitas siswa, dan agar siswa merasa bahwa perayaan tersebut adalah milik mereka.  Peran guru di dalam persiapan perayaan tanabata atau perayaan lainnya hanya sebagai instruktur, motivator, dan fasilitator.

Dari kegiatan observasi sekolah, saya meyakini bahwa sekolah-sekolah di Jepang sudah menjadikan sekolah sebagai wahana transformasi nilai budaya Jepang. Tentu saja upaya sekolah dalam membina nilai moral siswa, tidak berjalan efektif tanpa campur tangan dunia luar sekolah. 

Oleh karena itu, saya banyak menggali informasi dari para guru di sekolah tersebut, untuk menemukan kaitan antara sekolah dengan dunia luar sekolah. Informasi yang saya dapatkan adalah sebagai berikut:

Pihak orang tua siswa selalu dilibatkan dalam kegiatan persekolahan dan tentunya juga berkaitan dengan perkembangan akademis dan kepribadian siswa. 

Secara berkala, para orang tua siswa diundang ke sekolah, untuk membicarakan berbagai kebijakan dan kegiatan sekolah yang tidak menyangkut kurikulum yang sudah digariskan oleh pemerintahan. 

Artinya, banyak program kegiatan di sekolah ditetapkan berdasarkan hasil konsensus dari pihak sekolah dan orang tua siswa. Untuk mengevaluasi hasil belajar siswa, maka secara berkala orang tua siswa diundang untuk menyaksikan proses belajar siswa di sekolah.

Sekolah selain memiliki wewenang dalam mengembangkan kepribadian siswa, juga bertanggung jawab atas hasil pendidikannya. Oleh karena itu, di saat ada siswa yang melakukan tindakan yang bersifat antisosial atau melakukan pelanggaran hukum di luar sekolah, maka pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan siswa yang bersangkutan, akan melaporkannya kepada pihak sekolah. 

Jadi, laporan tidak dilakukan kepada orang tua siswa, atau apparat kepolisian, tapi kepada pihak sekolah yang dianggap telah lalai dalam mendidik siswa. 

Laporan dari warga yang masuk, akan ditindaklanjuti oleh para wali kelas dan guru konseling, dan melakukan tanya-jawab intensif dengan siswa yang bermasalah di ruang konseling, selanjutnya wali kelas atau guru konseling mengundang atau mendatangi orang tua siswa untuk membahas kasus yang terjadi dan menemukan solusinya. 

Menurut kepala sekolah, pihak pemerintah punya andil besar dalam dunia pendidikan melalui pendidikan non-formal, antara lain:

1.      Membagikan buku pegangan mengenai 'cara mendidik anak' dan 'cara mengajarkan kedisiplinan pada anak' kepada para ibu yang mempunyai anak balita hingga remaja.

2.      Mendirikan pos pelayanan konsul yang berjalan 24 jam bagi para ibu untuk berkonsultasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan anak di rumah.

3.      Mendirikan kelompok diskusi bagi para orang tua untuk saling bertukar informasi mengenai berbagai hal penting dalam mendidik anak di rumah.

4.      Membuka kesempatan bagi para siswa SMA untuk berhubungan dengan balita, dengan tujuan agar siswa mempelajari hal-hal yang berharga dengan cara menjaga para balita tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan di Taman Kanak-Kanak, Rumah Sakit, Puskesmas, dan Kebidanan.

5.      Membuka sebuah 'desa harapan' yang dipergunakan untuk mendidik anak-anak bersosialisasi. Desa ini sengaja dibangun untuk 'praktek' para anak-anak dan jauh dari perumahan. Sebagai gambaran desa ini seperti sebuah kamp pramuka, namun berupa desa yang terdiri dari rumah-rumah. Desa ini secara bergiliran digunakan oleh berbagai sekolah. Jadi  penghuninya terdiri dari anak-anak dan dari berbagai tingkatan usia, dengan beberapa guru pembimbing yang terdiri dari personil-personil pendidikan dan kesehatan. Para guru pembimbing ini menempati salah satu rumah yang memang disediakan bagi mereka. Tujuan dibangunnya desa ini adalah untuk membiasakan anak-anak mandiri dan disiplin.

6.      Menyelenggarakan program menginap di rumah penduduk di pegunungan (home stay program) agar anak-anak belajar mencintai alam.

7.      Melibatkan anak-anak dalam berbagai kegiatan sukarela, seperti dalam pekan olah raga, aktivitas kultural, dan sebagainya, sehingga mendorong anak-anak menyukai sport dan budaya. untuk membiasakan remaja dalam menata dan menjalankan program hingga merayakan keberhasilannya.

8.      Menganjurkan kepada berbagai pihak, seperti: swalayan, organisasi pemuda, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan agar bersedia menerima para siswa SMA untuk magang selama tenggang waktu tertentu. Hal ini bertujuan agar siswa dapat lebih memahami apa yang sudah dipelajari di sekolah.

9.      Menganjurkan para produser TV untuk menata 'waktu tayang'. Artinya, semua stasiun TV tidak menyiarkan acara yang merupakan konsumsi orang dewasa di bawah pukul 10 malam.

10.    Melarang toko yang menjual atau menyewakan video, dan penjual buku atau majalah untuk menerima konsumen di bawah 21 tahun.

11.  Menetapkan aturan bagi penyelenggara kendaraan umum, seperti kereta listrik (densha) dan bus, untuk memberi surat keterangan bagi siswa atau pekerja, apabila terjadi keterlambatan kereta atau bus. Dengan demikian pihak sekolah atau perusahaan mengetahui bahwa keterlambatan bukan disebabkan oleh kelalaian orang yang bersangkutan.

Dari kegiatan observasi sehari dan dari informasi-informasi yang terkumpul, dapat dikatakan bahwa pendidikan formal, informal dan nonformal di Jepang sudah membentuk konfigurasi harmonis, yang memungkinkan terselenggaranya suatu bentuk pendidikan yang berkesinambungan. 

Dengan kata lain, baik pemerintah, sekolah, masyarakat dan keluarga, secara bersama menjalankan visi dan misi yang sama dalam rangka membina karakter anak-anak untuk menjadi manusia dengan pribadi tangguh. 

Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh bila nilai budaya/moral leluhur, antara lain 7 kode etik samurai,  bisa larut di dalam diri bangsa Jepang dan mewarnai karakter mereka.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah, rasa malu yang mewarnai karakter bangsa Jepang mempermudah nilai budaya dan moral terserap. Ruth Bennedict di dalam bukunya  The Chrysanthemum and the Sword (1946), mengatakan bahwa orang Jepang menganut paham budaya malu (shame culture), berbeda dengan orang Barat yang menganut paham budaya dosa (sin culture). Yang dimaksud dengan budaya dosa, adalah bahwa sebelum melakukan suatu tindakan, seseorang akan mempertimbangkan pahala dan dosa yang tentunya sangat erat kaitannya dengan ke-Tuhanan. 

Hal seperti ini, tidak berlaku di dalam kamus bangsa Jepang. Hal yang menjadi pertimbangkan mereka sebelum melakukan suatu tindakan adalah 'apakah perbuatan mereka menyebabkan dirinya malu atau tidak'. 

Dengan adanya 'budaya malu' ini, maka mereka berusaha sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan orang lain, baik dalam skala kecil (lingkungan terdekat) maupun dalam skala besar (masyarakat di kota atau negara). Penghindaran diri dari rasa malu, membuat mereka menerapkan nilai budaya/moral sosial, tanpa perlu diancam atau dipaksa.

Dengan adanya sistem pendidikan terpadu ditambah dengan adanya 'budaya malu', maka nilai budaya/moral lebih mudah terintenalisasi, sehingga nilai budaya/moral yang disosialisasikan ke dalam diri generasi muda Jepang, tidak hanya berada di dalam sistem nilai (value system) saja, namun sudah masuk ke dalam sistem keyakinan (belief system) dan menjadi nilai yang mempribadi.  

        

Referensi :

Benedict, R. (1934). Patterns of Culture. New York. The New American Library.

Elkind, D and Sweet, F (2004). How to Do Character Education. Tersedia di: http://www.usoe.k12.ut.us/curr/char_ed.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun