Mohon tunggu...
Nenden SuryamanahAnnisa
Nenden SuryamanahAnnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hanya seseorang yang sedang belajar menulis dan belajar menyampaikan opininya lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andai Aku

28 November 2021   11:59 Diperbarui: 28 November 2021   12:05 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan gerimis membungkus kota. Lampu-lampu jalan basah kuyup terkena air hujan. Sudah hampir satu jam aku berjalan tanpa tujuan. Aku memutuskan beristirahat, duduk di kursi taman berpayung. ini pemberhentian keempat semenjak aku mulai berjalan, mencari udara segar, meninggalkan rumah dan segalah masalah yang terjadi di dalamnya.

Dua jam lalu, di ruang tamu ayah mengeluh pada ibu. Gajinya bulan ini akan dipotong lagi. Itu berati sudah 8 bulan, ayah hanya menerima gaji separuh. Ibu juga ikut mengeluh, bilang bahwa uang tabungannya sudah habis untuk menutupi uang kuliahku semester lalu dan biaya adik masuk SMA. Walaupun mereka saling berbisik, tapi percakapan itu tetap bisa aku dengar jelas dari balik dinding kamar.

Angin malam berhembus semakin kencang. Aku merapatkan jaket lalu merogoh saku, menyalakan ponsel, membuka laman Instagram. Aku berhenti lama di salah satu status instagram teman SMA ku. Lihatlah, ia mengunggah foto mangga muda. Terimakasih suamiku sayang, mau nurutin bumil ini terus. Aku mengeluh tertahan, sepertinya keadaan akan lebih baik kalau aku nikah muda saja. Tak usah pusing dengan tugas kuliah atau cemas tak bisa bayar uang semesteran. Tugasku hanya tinggal duduk manis di rumah, menunggu suami pulang.

Layar ponselku menampilkan status selanjutnya, lihatlah, kawan seangkatanku di kampus mengunggah video makanan di sebuah kafe. 22.00, makan bersama dan bincang ringan bareng sobat magang. Ia juga men-tag akun Instagram perusahaan startup tempat ia bekerja. itu sebuah perusahaan Starup bergengsi. Aku kembali menarik nafas, kalaupun belum saatnya aku menikah, setidaknya aku punya pekerjaan seperti dia agar bisa membayar uang semesteranku sendiri, membantu meringankan beban ayah dan ibu. Aku mematikan ponsel, menyimpannya di atas meja yang sedikit basah karena terkena tembias air hujan.

Sudah lama aku merasa hidupku seperti terhenti. Aku hanya menjalani rutinitas biasa sebagai mahasiswa. Nilaiku tidak terlalu mencolok, kemampuan lain yang aku miliki juga hanya sebatas dasar-dasarnya saja dan aku tidak terlibat organisasi keren seperti teman-teman lain.

Di semester awal aku mencoba untuk belajar lebih keras. Namun semakin aku berusaha mensejajari kemampuan teman-teman lain, Aku seperti kembali ke titik semula, merasa tidak berbakat, merasa tidak bersemangat lantas mundur perlahan. Mereka bukan tandinganku. Aku tidak akan pernah bisa menyusul. Mereka selalu lebih hebat. Lantas saat aku berada di titik paling pesimis, aku akan berfikir untuk pindah jurusan. Mungkin di jurusan B aku bisa lebih baik. Tapi, aku terlalu takut mengambil keputusan sebesar itu, dan berakhir seperti sekarang, kembali menjalankan rutinitas.

Aku sampai di sebuah taman kota lain. Aku kembali menatap layar ponsel, masih melihat status instagram selanjutnya. Lihat yang ini lebih keren lagi. Di usia yang masih muda, ia sudah menjalankan bisnis yang cukup besar. Ia membantu mengelola salah satu perusahaan cabang milik ayahnya. Aku kembali menghembuskan nafas. Ya ampun, apa yang bisa lebih menguntungkan di dunia ini selain orang dalam dan relasi? Lihatlah dia tersenyum lebar di depan kamera bersampingan dengan pengusaha-pengusaha hebat lainnya.

Andai aku bisa memiliki orang dalam sekuat itu. Aku yakin hidupku tidak akan semenyusahkan ini. Lagi pula, aku juga bisa bekerja dengan baik jika diberi kesempatan yang sama seperti dia. Hidup selalu tidak adil. Status instagram selanjutnya menampilkan foto liburan ke luar negri, foto bersama pasangan, screenshot nilai IPK yang tinggi, sertifikat lomba dan pencapaian lain yang tak kalah keren. Apa hanya aku di sini yang sepertinya tidak punya masa depan?

Aku memutuskan berjalan lagi, kali ini berjalan menelusuri pusat perbelanjaan di bahu jalan. Satu dua toko masih terang, mungkin buka 24 jam. Lebih banyak yang sudah gelap, tutup lebih awal. Di ujung trotoar, ada satu toko yang lampunya masih menyala, itu toko sepatu. Aku menengok sepatuku yang sudah usang. Sepatu kets putih yang aku beli di awal semester satu. Aku berfikir sejenak, mungkin berbelanja bisa membuat perasaanku lebih baik.

Aku mendorong pintu kacanya, suara kerencing terdengar di waktu bersamaan. Tidak ada orang di sana, hanya rak-rak sepatu yang berjejer rapi setingi dua meter. Lagu salah satu boy group korea memenuhi udara. Gaya interior toko ini sangat kekinian, lampu warna warni menghiasi setiap raknya yang minimalis. Tunggu, jika dilihat lebih seksama, ternyata toko ini hanya memiliki satu pasang sepatu untuk satu model. Tidak ada pilihan warna atau ukurannya. Tidak terlihat kotak-kotak sepatu lain atau pun gudang penyimpanan. Aku menggeleng, sudahlah, tidak penting.

Aku menuju ke deretan sepatu heels. Akhir-akhir ini banyak temanku yang memakainya ke kampus. Kebanyakan dari mereka adalah primadona kampus, atau mungkin salah satu anggota putri kampus yang memiliki kemampuan public speaking yang keren lengkap dengan wajah cantik jelita. Aku mengggeleng cepat, menyingkirkan pikiran itu.

"Hallo Nona sedang mencari apa?" sebuah wajah mengintip di antara deretan sepatu di rak bawah. Petir menyambar di langit sana. Aku tersentak kaget, reflek mundur dua Langkah.

"Aduh, maafkan saya, Nona muda." Seorang lelaki tua mendekat, sekarang aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Rambutnya putih sebagian, wajahnya penuh keriput namun pakaian modis membuatnya terlihat jauh lebih muda. Syukurlah, ternyata dia manusia.

"Saya Kakek Jim, panggil saja begitu. Saya pemilik toko sepatu ini. Nona sedang mencari sepatu apa?" belum sempat aku menjawab, Kakek Jim sudah memilihkan sepatu dari rak sepatu heels di sebelahku.

"Coba yang ini, sepertinya akan cocok denganmu, Nona." Aku menggeleng, itu bukan style-ku. Kakek Jim tetap bergeming. Coba dulu saja, mungkin begitu arti tatapannya.

Aku menurut, duduk di salah satu bangku, melepaskan sepatu kets bututku lantas mencoba heels yang berwarna merah menyala itu. Tepat saat aku sempurna memakai heels itu. Splash. Aku reflek memejamkan mata. Cahaya putih menyelimuti sekitar untuk beberapa detik.

Saat aku membuka mata, ribuan orang yang duduk di tribun menjadi pemandangannya. Aku tersentak kaget, membulatkan mata. aku ada di mana? Salah seorang lelaki dengan pakaian formal menatapku bingung.

"Ayo  giliranmu menyapa Tamu VIP, putri kampus!" ia bergumam sedikit panik. "Ayo cepat!" Aku menatap sekitar, masih mencerna keadaan lantas menatap diriku sendiri, putri kampus? Lelaki di sampingku kembali melotot sembari menyuruhku untuk berbicara.

Aku berdeham tiga kali, mendekatkan mic --aku juga tidak tahu sejak kapan aku memegang mic itu. Aku mulai menyapa salah satu tamu VIP, mencoba menebak namanya, mulai dari --hey aku mengetahui nama mereka, bahkan lengkap dengan gelarnya yang rumit. Suaraku mulai stabil, aku terus lompat ke acara selanjutnya, sesuai rundown dengan runut tanpa ada kesalahan. Suaraku terus mengisi langit aula, saling balas dengan lelaki tadi hingga dua jam ke depan. Lihatlah, tatapan-tatapan kagum itu! Aku tak pernah merasa sebahagia ini!

Acara berakhir, aku beranjak ke belakang panggung. Tubuhku Lelah, tenggorokanku terasa sakit, ternyata menjadi putri kampus tidak semudah itu. Kakiku terasa pegal, aku reflek melepaskan heels merah itu. Saat keduanya sempurna terlepas. Splash! Sinar putih itu kembali lagi, aku reflek memejam. Saat mataku terbuka, aku sudah kembali berada di toko sepatu.

"Apa yang baru saja terjadi, kenapa aku kembali ke sini?" Kakek Jim tersenyum.

"Apa Nona mau mencoba sepatu lain?" Aku langsung mengangguk. Tentu saja. aku akhirnya bisa merasakan kehidupan yang biasanya hanya bisa aku lihat di layar ponsel. Inni akan menyenangkan.

Kakek Jim balik badan, segera mencari sepatu di bagian rak yang berhadapan dengan rak sepatu heels. Ia menyodorkan sebuah sepatu kets dengan tampilan yang lebih modis dan warna yang lebih mencolok juga motif yang keren. Ini pasti sepatu import.

"Apa kakek seorang penyihir?" yang ditanya hanya diam. "Kenapa Kakek meemperbolehkanku mencoba sepatu-sepatu ajaib ini?" Kakek Jim masih membisu. Aku mengangkat bahu. Sudahlah. Lanjut memasang sepatu kets itu. Cahaya putih itu kembali. Walau masih terhenyak, kali ini kau sudah lebih dulu menutup mata.

Suara dengung lebah terdengar. aku mulai membuka mata perlahan. Aku persis duduk di salah satu kursi di sebuah kafe. Aku menegok ke kanan, menatap seorang gadis muda yang memakai lanyard yang sama dengan yang aku pakai.

"Apa ada masalah? Kenapa semua orang terlihat kesal?" Gadis muda itu berhenti menggerutu, balas menengok. "Anak magang tidak di berikan gaji bulan ini!" Aku menganggu-angguk, ikut memasang wajah kesal bercampur bingung. Aku tidak tahu kalau permasalahan seperti ini bisa terjadi. Ternyata acara makan bersama itu sekaligus pembagian gaji pegawai. Aku melirik Lanyard yang ku pakai, sebuah nama perusahaan Startup ternama tertulis di sana. Aku menutup mulut. Astaga aku salah satu anak magangnya. Ini keren.

Waktu berjalan cepat, setelah acara berakhir, paginya aku langsung berangkat ke kantor. Ibu dan ayah tersenyum  bangga, terlihat sangat senang dan penuh harap. Aku memulai hari dengan mengambil banyak cemilan gratis di rak-rak transparan. Juga segelas kopi dari mesin kopi di sebelahnya. Tempat kerja yang sempurna.

Aku duduk di kursiku --aku menemukannya setelah bertanya kesana-kemari. Aku menyapa beberapa teman kantor yang sudah tiba lebih dulu. Aku mulai membuka laptop melihat daftar pekerjaan, mulai mengerjakan tugas. Satu jam, dua jam, tiga jam, ini mulai terasa membosankan. Tugasku belum selesai juga. Aku berhenti sejenak, memotret laptop, lalu mengunggahnya ke sosial media. Belum sempat aku meletakan ponsel, alarm di ponselku berbunyi. Jadwal kuliah online. Aku menepuk dahi, aduh tentu saja aku masih kuliah.

Aku membuka laptop lain, dua jam terhanyut dalam penjelasan dosen. Sesekali mencatat di note ponsel. Belum selesai pelajaran, alarm ponselku kembali berbunyi. Deadline kerjaan. Astaga, pekerjaan itu belum selesai. Aku beralih ke laptop kerja mulai "ngebut" mengerjakan, menghiraukan sisa penjelasan dosen.

"Untuk tugas hari ini, saya mau kalian kirim ke email saya malam ini. Saya tidak mentolelir keterlambatan apapun." Aku mengeluh. Apa-apaan ini, bagaimana aku bisa mengerjakan tugas dari doseni itu? Tugas kantor juga masih belum selesai.

Akhirnya tugas kantorku selesai, walaupun terlambat tiga jam dari deadline. Beberapa teman sudah lebih dulu meninggalkan kantor. Aku sempat menolak makan siang juga tawaran pulang bersama. Tidak akan sempat. Aku mengirimkan hasil kerjaan lewat email. Bergegas pulang. Masih ada waktu mengerjakan tugas kuliah.

Sesampai di rumah aku langsung membuka laptop. Belum sempat menyelesaikan poin satu, suara email masuk terdengar dari ponselku. 

Revisi dan tambahan tugas. Note: penting selesaikan malam ini jangan terlambat lagi. Apa? Aku menghempaskan tubuh ke kasur. Kenapa temanku tak pernah mengunggah hal-hal seperti ini? mengerjakan tugas kuliah saja sudah sulit, ini ditambah tugas dan revisi di tempat magang. Aku menghembuskan napas berat. Mulai berfikir. sepertinya menikah muda akan lebih menyenangkan. Aku segera bangkit mulai melepas salah satu sepatu. Aku melirik ke arah laptop. Selamat tinggal tumpukan tugas. Splash! Beberapa detik cahaya putih menyelimutiku lantas menghilang perlahan, kembali ke toko.

"Kakek Jim! Aku butuh sepatu lain!" Kakek jim yang berdiri dua langkah di depanku sedikit tersentak.

"Mungkin Nona ingin mencoba sepatu pentopel ini. Nona akan menjadi pewaris perusahaan tunggal, tak perlu repot wawancara. Nona bisa langsung masuk dan mendapat jabatan yang bagus." Aku menggeleng tegas.

"Bekerja itu melelahkan Kakek Jim, aku ingin jadi seorang istri saja. Tinggal diam di rumah dan melayani suami. Bawakan aku sepatu untuk pernikahan muda, kali ini aku akan membelinya." Kakek jim lekas memilih sepatu di rak paling belakang. Ia membawa sepatu sendal berwarna putih --sedikit berubah abu karena debu. Aku langsung menyambarnya, lantas bergegas memakainya.

"Apa Nona yakin akan memakainya? Jadi istri tak seindah yang dibayangkan Nona" Aku melambaikan tangan, tenang saja. lagi pula aku tinggal melepas sepatunya saja, bukan?

"Tapi jika Nona ingin membeli sepatu dari tokoku, Nona harus menyerahkan sepatu kets ini, apa tidak masalah?" Aku sedikit terkekeh, kembali melambaikan tangan. Tentu saja boleh, sepatu tua itu seharusnya malah dibuang saja.

Splash! Cahaya putih itu datang lagi, Kali ini aku sudah sangat siap, mataku sudah terpejam beberapa detik lalu lantas membuka mata beberapa detik kemudian. Aku tiba di ruang tengah sebuah rumah besar dengan mangga muda di pangkuan. Hey lihat, perutku besar, aku sedang mengandung. Rasanya aneh tapi juga menyenangkan. Di hadapanku TV LCD memutarkan drama korea. Aku tersenyum, artis kesukaanku ada di sana.

"Sayang, papah berangkat yah" aku reflek menoleh, si pemilik suara --sepertinya itu suamiku, ia mencium kening sembari mengusap rambutku kemudian beralih ke perutku. Perasaan apa ini? ada rasa hangat, tenang, bahagia dan geli dalam waktu bersamaan. Tapi aku suka sensasi ini. aku mencium tangannya, balik tersenyum lalu bilang "jangan pulang terlalu larut." Lelaki itu tertawa. Wajahnya bertambah tampan berkali-kali lipat.

Aku kembali menonton drama sembari menyuap mangga asam. Lima menit kemudian suara pintu terbuka, aku reflek menoleh. Apakah lelaki tampan itu kembali lagi? Tebakanku keliru, dari balik pintu muncul seorang Wanita paruh baya, wajahnya sedikit memiliki garis wajah lelaki tampan itu. Apa dia mertuaku?

"Aduh kok rumahnya berantakan gini?!" Aku lupa, hal buruk pasti terjadi dalam setiap kehidupan, dan sepertinya mertua adalah hal buruk di kehidupan ini. Aku mengeluh tertahan. Apa aku lepas sepatunya sekarang?

"Biarkan aku membersihkannya, Irzan pasti tak sempat membantumu membereskan rumah, dia terlihat sibuk akhir-akhir ini." Aku segera berdiri. Bingung harus merespon apa. Apa itu sarkasme? Aku segera mengambil sapu.

"Hei, Ibu kan sudah bilang jangan pegang alat-alat seperti itu saat hamil tua, ayo duduk! Ibu sangat beruntung mendapatkan menantu baik dan cantik sepertimu. Sudah sana kembali menonton! selama ibu disini kau bisa bebas istirahat." Wanita itu tersenyum lembut. Senyum paling tulus yang pernah kulihat.

Waktu berjalan cepat. Ini sungguh rekor baru. Aku sudah menghabiskan 7 hari di 'kehidupan' menjadi istri ini. Apa kata Kakek Jim bilang, tidak semudah yang kubayangkan? Susah dari mananya? Aku justru sangat bahagia di sini. Rutinitasku hanya tidur-makan-nonton drama-tidur lagi. Sesekali aku memang memasak, mencuci baju tapi itu mudah dilakukan, tak banyak menguras tenaga dan pikiran. Sisa waktuku biasanya aku habiskan untuk yoga, berbincang ringan dengan ibu mertua, juga quality time bersama lelaki tampan itu --ini bagian yang paling aku suka.

Tapi aku melewatkan satu hal, tidak ada kehidupan yang luput dari hal buruk yang mengikutinya. Tak peduli sekuat apa kita berusaha untuk menjalaninya dengan sempurna, tak peduli sebaik apa orang yang berada di sekeliling kita. Ujian dan rasa sakit tidak akan pernah hilang. Itu sudah menjadi bagian dari konsekuensi hidup.

Tepat di hari ke tujuh, aku yang sedang asyik berbincang dengan suamiku di ruang tengah, tiba-tiba merasakan kontraksi. Aku berteriak kencang, rasanya sakit sekali. Aku tak pernah merasakan hal yang sesakit ini. suamiku juga ikut panik. Ia segera menelepon ambulance dan bersamaan dengan itu, kesadaranku terus menurun.

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di sebuah ruang remang. Bau alkohol menusuk hidung. Kontraksi itu mulai terasa kembali, aku kembali meraung,  rasa sakitnya menjadi berkali lipat. Suamiku yang berdiri di sebelah mengenggam tanganku. Menyemangatiku yang mulai menagis terisak.

Aku melirik ke sepatu yang aku pakai. Sudah cukup aku sudah tidak kuat lagi. Aku mencoba melepaskannya. Mulai menendang-nendang. Sialnya, beberapa suster malah memegangi kakiku. Aku mendelik. Berteriak, menyuruh  mereka melepaskannya. Tapi mereka malah mencengkram lebih keras, aku berpaling menatap suamiku lantas berbisik dengan sisa tenaga.

"Tolong lepaskan sepatuku." Ia langsung melepas genggamannya, lantas melepaskan sepatu itu. Saat sepatu itu sempurna terlepas. Splash! cahaya putih membuatku terhenyak, aku belum siap. Saat kembali membuka mata, aku jatuh terguling dari kursi toko sepatu itu. Kakek Jim berteriak tertahan, kaget melihatku muncul sambil berteriak. "Aku bisa mati." Aku mengusap air mata yang bercampur dengan peluh. Kakek Jim malah terkekeh sambil membantuku berdiri.

"Mengapa Nona kembali? Bukannya Nona ingin membeli sepatu itu?" Aku menggeleng cepat. "Atau Nona ingin menco-" Aku menggeleng lagi.

Nafasku masih belum stabil. Peluh masih mengucur deras dari dahiku. Aku masih terduduk lesu di lantai toko. "bagaimana bisa seorang wanita menahan rasa sakit melahirkan? Kalau rasanya sesakit itu, bukankah seharusnya banyak wanita yang lebih memilih untuk berkarir saja?" Kakek jim mendekat, ia tersenyum lantas menyentuh lenganku. Sentuhannya entah bagaimana begitu hangat.

"Karena mereka telah memilih jalan hidupnya, Nona. Mereka memilih jalan hidup beserta semua konsekuensi dan kesakitan yang bersandingan dengannya. Itulah alasan mengapa seorang wanita rela menahan sakit untuk bertemu buah hatinya, itu juga alasan mengapa temanmu tetap kuliah sambil bekerja walau kelelahan." Aku menatap kakek jim agak lama lantas menunduk. Kalimatnya benar.

Kakek jim melepas genggamannya lantas kembali dengan menyodorkan sepatu kets bututku "ambilah kembali, ini milikmu. Semoga mulai hari ini Nona bisa menerima semua pilihan hidup Nona dengan utuh, sepaket dengan konsekuensinya." Aku menatap lamat sepatu itu, bayangan ayah, ibu juga tugas kuliah yang menumpuk menjejali isi pikiranku. Tapi kali ini aku tidak mengeluh, aku tersenyum. Senyum terlega yang pernah aku rasakan.

"Ouh yah, Nona tahu, ada alasan mengapa toko sepatuku hanya memiliki 1 warna, 1 ukuran untuk  setiap model sepatunya." Aku mengangkat wajah, penasaran. "itu karena setiap sepatu hanya akan berjodoh dengan satu pemilik. Ia adalah orang yang Tuhan percaya sanggup menjalani setiap langkah bersama sepatu itu. Melewati semua kesenangan dan kesulitan yang telah ditetapkanNya."

"Terimakasih Kakek Jim." Aku bergegas mengusap air mata lantas memasang sepatu kets butut itu. Saat ia sempurna terpasang, Splash! Aku telah kembali pada jalan hidup yang telah aku pilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun