Mohon tunggu...
Nila Fauziyah
Nila Fauziyah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

"Terkadang kita harus siap saat hasil mengkhianati kerja keras."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Semua Gara-gara Ibu

23 Desember 2013   23:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Nela Fayza

No : 34

Surat ini memang tidak nyata, kubuat untuk diikutsertakan untuk event Hari Ibu, tapi semua ungkapan dan cerita yang tertera di sana nyata. Semua berdasarkan masa lalu Ibu, semua berdasarkan apa yang terjadi saat ini. Semua kupersembahkan untuk Ibu. Mom, I love you...

*****

Jakarta, 23 Desember 2013

Untuk yang Tersayang, Ibu.

Hai Bu, bagaimana kabarnya?

Maaf, mungkin ini agak aneh karena mendadak aku menanyakan kabar Ibu. Tentu seperti yang Ibu tahu, aku jarang sekali menyapa ketika aku berada di dekat Ibu. Bahkan ketika aku pergi dari rumah sekalipun, entah karena kumpul organisasi yang memakan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu, dan tugas kuliah yang mengharuskanku menginap di rumah teman, rasa rindu hanya sebatas rindu yang tidak pernah mampu keluar dari bibirku.

Bu, tahukah kau, ketika tanggal 22 desember kemarin, ketika orang-orang berbondong-bondong membuatkan kata-kata manis untuk orang yang telah melahirkan mereka, berebut membuatkan kejutan, lalu menyebarkan gambar-gambar menarik bersama ibu-ibu mereka. Aku hanya bisa terpaku pada kenanganku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak tahu harus memulainya darimana. Aku… Sangat berat untukku mengatakannya…

Ibu, kau terlahir dari kerasnya terik matahari yang menyengat kehidupanmu, saat itu ketika para gadis duduk tenang di beranda-beranda rumah mereka. Ketika air dingin mengalir memasuki tenggorokan, terasa segar. Tapi itu hanya perasaan yang harus dilupakan rapat-rapat. Begitu kan?

Lalu, selepas remaja Ibu berusaha mencari pekerjaan, tak peduli merantau di pulau seberang sekalipun. Ibu tak kenal takut, tak peduli harus berpisah dengan keluarga sekalipun. Pagi bekerja, malamnya baru pulang, itu pun menumpang di rumah saudara. Kelelahan selalu menjadi teman tidur, tapi Ibu tak mengeluh. Kau menganggapnya sebagai cara Tuhan menaikkan ‘derajat’ Ibu, maka Ibu terus bertahan. Begitu seterusnya sampai Ibu bertemu ayah. Ayah pun tak berbeda jauh nasibnya dengan Ibu. Hanya saja ayah adalah lelaki, mereka biasa melakukan pekerjaan ‘kasar’ sedangkan kau tidak. Dan Ibu juga tidak seperti wanita pada umumnya, kau mengambil pekerjaan apapun yang sekiranya dapat membantumu keluar dari masalah keuangan yang melilit kehidupanmu, tapi tentu saja masih dengan cara yang halal, itu prinsipmu! Tak peduli harus berpanas-panasan mengantar barang-barang toko, bolak-balik ditemani supir mengambil bayaran pembelian barang-barang tersebut. Ibu tidak peduli meski harus bermandi keringat tiap kali siang menjelang, karena tidak seperti wanita lain yang beruntung mendapat pekerjaan di belakang meja, Ibu justru bekerja keras dan terjun di lapangan. Lagi-lagi, Ibu mengatakan kuat, kuat, kuat! Dan ternyata itulah yang membuat ayah terpesona kepada Ibu. Rona merah di pipi Ibu tiap kali Ibu mengisahkannya, bagaimana kalian bisa sama-sama mencintai, tak lama kemudian mengikrarkan janji suci pernikahan sampai akhirnya aku lahir.

Ibu…

Aku tidak pernah lupa pada sejarah hidupmu. Lampau dan yang sudah-sudah menjadi cerita. Sampai akhirnya, aku hapal dengan sendirinya. Mengenai apa yang menjadi prioritas dan tanggung jawabmu. Seolah penderitaan tidak boleh ditangisi. Mental kita harus sekuat baja, meski kelemahan merajalela! Ah, mungkin ungkapanku terlalu berlebihan. Tapi begitulah adanya. Seperti itulah yang kubaca dari tatapan matamu.

Kau bilang, hidup itu keras. Kalau tidak kuat, tidak akan berhasil. Kalau lemah, hanya akan menjadi budak kehidupan yang tidak pernah tentu arah. Aku menganggap benar semua kata-katamu, sehingga aku menerapkannya sekarang. Aku sedang berusaha melupakan perasaan apapun yang menggangguku. Kukejar karierku, kukejar masa depanku. Kutepis semua yang menghalangi, itu semua karena keinginanku menyamai langkahmu, malah aku berniat ingin bisa lebih dari apa yang kau katakan. Aku ingin lebih kuat darimu, aku ingin menjadi wanita yang lebih hebat darimu sampai kau bangga kepadaku. Karena aku telah berhasil untuk tidak lemah pada kerasnya kehidupan. Aku berhasil lari sekencang-kencangnya demi mencapai apa yang aku inginkan. Aku berhasil karena berani mewujudkan keinginanku.

Tapi, Ibu, tahukah kau? Gara-gara itu hatiku beku. Kehidupan duniawi membuatku lupa bagaimana caranya mengasihimu. sisi hedonisku menjadikanku buta untuk mengucapkan kata-kata sayang kepadamu. Seolah berdiri pada pendirianku, menunjukkan prestasiku, memerlihatkan jalan yang membentang di hadapanku kepadamu adalah wujud sayangku. Tapi entah kenapa rasanya justru sebaliknya, hambar, benar-benar hambar. Tak ada sedikitpun rasa yang tercipta di sana. Semakin lama, malah membuatku semakin menjauhimu. Jenuh dan tak memiliki ‘magnet’. Seperti ada jarak yang membuatku sulit untuk mengerti isi pikiran Ibu, sampai-sampai seringkali aku berprasangka buruk tentang Ibu. Seperti suatu kali Ibu menyuruhku masuk ke universitas dengan jurusan farmasi itu, ingatkah Bu? Dulu aku sangat memberontak dan aku membentakmu tak sengaja. Wajahmu kesal dan marah, tentu saja! Tapi Ibu sama sekali tak bersuara sedikitpun. Ibu hanya menunjukkan betapa Ibu kecewa terhadapku. Lalu, aku bertahan pada pendirianku, tetap berjalan di jalurku tanpa meminta maaf kepadamu. Aku menganggap itu adalah salah satu ‘ujian’ kehidupan, seperti yang pernah Ibu katakan kalau hidup itu harus kuat dan tegas, dan menurutku ‘perdebatan’ itu adalah salah satunya. Perdebatan dimana aku harus membela pendirianku dan membuktikan kalau pendapatku tidak salah.

Dan dulu, kupikir setelah aku tak menurutimu, Ibu takkan lagi menunjukkan kasih sayang seorang ibu kepadaku. Ternyata aku salah. Ibu seperti ibu dalam lagu anak-anak, ‘Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa…’ dan Ibu tak pernah berhenti menyayangiku. Tak lelah menasehatiku. Ibu tetap mendukung meski jalurku bukan farmasi. Kenapa, Bu? Aku selalu tak mengerti mengapa Ibu bisa seperti itu? Teman-temanku saja benci ketika aku tak menuruti permintaan mereka. Saudara-saudaraku juga sering mencela apa yang kukerjakan sekarang. Kenapa Ibu selalu mendukungku?

Bertahun-tahun aku mencoba mengerti Ibu. Berusaha menjadi apa yang Ibu inginkan, meski nyatanya aku sering bertolak-belakang dengan keinginan Ibu. Tapi aku tetap seperti yang Ibu mau bukan? Sukses sekolah, sukses pergaulan, dan karier nantinya. Tapi kenapa, lagi-lagi hal itu justru membuatku merasa Ibu adalah sosok yang berbeda. Sosok yang sulit kuterjemahkan alam pikirannya. Sosok yang kupikir sama saja seperti ayah, saudara-saudaraku, teman-temanku, tapi Ibu justru membuatku serba salah. Ibu membuatku susah dan kesulitan. Aku tak mengerti apa mau Ibu. Bila hanya sekedar ‘kuat dan tegas’, aku telah membuktikannya. Bila meminta lebih sukses daripada Ibu, suksesku masih dalam proses. Bila meminta cintaku, tak perlu kau ragukan itu. Aku mencintaimu hanya saja aku tak tahu bagaimana cara agar Ibu tahu seperti apa isi hati anakmu ini.

Bu, kata orang tak seharusnya ada yang namanya ‘hari ibu’ karena mengungkapkan rasa sayang tak cuma dilakukan satu hari saja. Setiap detik kehidupan kita, kita diharuskan menunjukkan rasa sayang kepada ibu kita. Karena bagaimana pun, ibu adalah sosok yang istimewa, saking istimewanya sampai Tuhan mengistilahkan surga di bawah telapak kaki ibu. Jadi, bukankah aku harus berbakti kepadamu? Sopan dan hormat kepadamu? Mencintaimu sebagaimana seharusnya?

Tapi rasanya, aku malu menunjukkan rasa sayang di hari-hari biasa. Bu, maafkan aku. Aku juga tak tahu kenapa aku sulit menunjukkan rasa sayangku lewat ucapan. Mengatakan sayang kepadamu seolah-olah aku ingin mengatakan aib-aibku di depan orang-orang. Padahal kau Ibuku, orang yang suka cita melahirkanku. Orang yang rela mengadaikan nyawa demi melihatku menghirupkan napas di dunia ini. Dan itu adalah kesalahan terbesarku kepadamu. Begitu mudahnya aku mengatakan cinta kepada lawan jenis, menanyakan kabar bila rindu, memeluk, menyentuh wajah, atau sekedar tertawa bersama. Tapi sulit kepadamu, Ibu.

Dan, mungkin itu sebabnya Hari Ibu dimunculkan. Agar para anak yang kesulitan mengungkapkan perasaannya termasuk aku punya alasan yang tepat untuk melepaskan gengsi ini, gengsi terbodoh yang seharusnya tidak pernah ada dalam benakku. Karena tanpa perasaan gengsi itu, aku bisa setiap hari mengatakan…

“Ibu, kau adalah hidupku. Apapun yang kulakukan adalah wujud terima kasihku kepadamu. Semua tindakanku merupakan hasil dari apa yang kuanggap sebagai cara agar kau bisa bangga kepadaku. Kau adalah sosok yang tak pernah lepas dari pikiranku. Kau merupakan orang terhebat yang aku kenal. Percayalah Ibu, meski aku tak bisa setiap detik mengatakannya kepadamu, aku sangat-sangat-sangat mencintaimu.”

Dari anakmu yang terlalu bodoh karena mengagungkan rasa gengsinya,

Nela

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakanlink akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini :http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun