Mohon tunggu...
nela agustina
nela agustina Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 7

Hi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Ahmad Yani

21 November 2021   09:16 Diperbarui: 21 November 2021   09:20 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

      Ketika manuver-manuver Soebandrio tetap melanjut selama sebulan berikutnya, dan tercium, Tunku Abdur Rahman 'membalas' dalam bentuk tindakan menandatangani perjanjian awal dengan Inggeris di London tentang pembentukan Federasi Malaysia yang akan dilaksana 31 Agustus 1963. Tindakan Tunku ini memicu kemarahan Soekarno yang baru saja di awal Juni berunding dengan pemimpin Malaya itu, "Saya telah dikentuti", ujar Soekarno ketus tanpa menggunakan lagi istilah yang lebih 'halus'. Tetapi rencana KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) tiga negara di Manila tetap dilangsungkan pada bulan Juli-Agustus dan berhasil menetapkan sejumlah kesepakatan serta berhasil mengajak Sekertaris Jenderal PBB U-Thant menjadi penengah dan membentuk tim pengumpul pendapat mengenai aspirasi rakyat wilayah itu mengenai gagasan Federasi Malaysia. Tim ini dipimpin oleh seorang diplomat Amerika Serikat yang belum berhasil merampungkan tugasnya tatkala pembentukan Federasi Malaysia diumumkan pertengahan September 1963. Bahkan pada tahun 1964 setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, perundingan tingkat tinggi tiga negara tetap dicoba dilaksanakan namun tanpa hasil.

Cukup menarik untuk mengetahui bahwa bahkan Soebandrio pun pada mulanya sebenarnya tidak bersikap memusuhi tatkala gagasan pembentukan Federasi Malaysia dicetuskan. Pemimpin-pemimpin Malaya dan Inggeris menyampaikan proposal mengenai Malaysia itu 27 Mei 1961. Baik Soekarno maupun Soebandrio masih menunjukkan sikap tidak keberatan terhadap konsep Federasi Malaysia, dan jelas jauh lebih memperhatikan masalah Irian Barat yang masih sedang dihadapi. Sikap 'baik' ini bertahan hingga setahun lebih. Dalam suatu pernyataannya di Jakarta, Oktober 1962, Soebandrio malah mengatakan bahwa Indonesia samasekali tidak punya masalah dan klaim terhadap wilayah-wilayah di Utara Kalimantan itu. Sabah dan Serawak memiliki garis perbatasan dengan wilayah Kalimantan Indonesia yang membentang berlekak-liku dari Timur Laut menuju Barat Daya, sepanjang kurang lebih 1780 kilometer dan memiliki 'bersama' Pegunungan Iban dan Pegunungan Kapuas. Akan tetapi semua ini berubah dalam sekejap dua bulan kemudian.

Menjelang akhir 1962, seorang tokoh politik beraliran kiri dari Brunai, AM Azahari Bin Sjech Mahmud --yang pernah menjadi Kapten Angkatan Darat Indonesia di masa lampau dan pernah ikut dalam revolusi kemerdekaan-- mencoba mengobarkan perlawanan terhadap Inggeris, namun dipatahkan. Tadinya, Partai Rakyat Brunai pimpinan Azahari berhasil memenangkan pemilihan umum pertama tahun 1962 di Kesultanan Brunai ini dengan merebut 16 kursi perwakilan, dan sudah bersiap-siap menyusun pemerintahan baru. Akan tetapi Sultan Brunai Sir Omar Ali Syaifuddin menolak meresmikan parlemen lalu membatalkan hasil pemilihan umum, karena mendengar bahwa sang pemenang pemilihan umum merencanakan akan menghapuskan kesultanan. Terjadilah pemberontakan yang berhasil dipadamkan dengan bantuan militer Inggeris. PKI yang mempunyai solidaritas kuat terhadap gerakan kiri itu, berhasil menjalin suatu 'persamaan' bawah permukaan dengan Soebandrio untuk mengorganisir dukungan bagi Azahari dan kawan-kawan. Sebenarnya, Azahari pun sempat meminta dukungan Jenderal Nasution, namun supportasi yang bisa diberikan Nasution agak terbatas. Salah satu dukungan Nasution adalah berupa pengiriman tiga instruktur, perwira muda dari RPKAD, untuk melatih pasukan Azahari di perbatasan.   

      Belakangan terlihat bahwa Soebandrio lah yang lebih antusias dan memberikan dukungan yang lebih besar. Awal 1963, mendadak Soebandrio gencar memberi masukan dan dorongan kepada Soekarno untuk menjalankan politik konfrontasi terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia tersebut. Menurut beberapa analisis, terdapat sejumlah alasan mengapa suatu politik konfrontasi 'perlu' dijalankan terhadap Malaysia. Bagi PKI, tentunya gerakan kiri Azahari itu memang merupakan 'keharusan' untuk didukung, namun yang lebih penting lagi perlu pengalihan perhatian terhadap keberhasilan militer --khususnya Angkatan Darat dan para jenderal-- menjalankan fungsi tekanan kekuatan militer dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Soebandrio mempunyai kepentingan yang sama, selain ia banyak bersilang jalan dan kepentingan dengan para jenderal AD. Selama operasi Trikora berlangsung, juga karena upayanya untuk membentuk opini bahwa penyelesaian Irian Barat adalah terutama hasil diplomasi luar negeri telah gagal. Bila tergalang solidaritas dan terjadi konfrontasi terbuka terhadap rencana Federasi Malaysia, akan tercipta momentum politik bagi PKI, sekaligus terciptanya situasi fait accompli bagi militer. Angkatan Darat yang melihat tak adanya alasan spesifik --seperti halnya dengan masalah Irian Barat-- dan masuk akal untuk suatu konfrontasi dengan tetangga serumpun itu dan Inggriis.

"Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto"

Pihak militer, meskipun mulanya merasa agak ter-'fait-accompli', akhirnya mencari dan menemukan celah yang lebih baik pada masalah konfrontasi terhadap Malaysia. Penghapusan tuntas SOB, pada kwartal pertama 1963, potensil melemahkan posisi dan peran militer. Namun adanya konfrontasi yang bagaimanapun juga membutuhkan unsur militer, telah menciptakan celah baru bagi suatu peran memadai. Nyatanya, terlihat kemudian Yani maupun Nasution banyak mendapat peran-peran signifikan dalam rangka Dwikora.

      Juni 1964, Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani, berangkat ke Moskow dalam suatu misi untuk memperoleh persenjataan baru dengan teknologi lebih tinggi bagi keperluan Dwikora, di antaranya 'membeli' peluru-peluru kendali. Misi ini tidak berhasil memperoleh apa yang diharapkan. Bulan September, Soekarno meminta Nasution 'melanjutkan' misi Yani itu. Bahkan tatkala Nasution berada di Moskow, Soekarno menyusul ke sana. Misi Nasution 'berhasil' memperoleh persetujuan dari PM Kruschev, walau ia ini sempat menyentil tidak lancarnya Indonesia membayar utang-utang terdahulu. Akhirnya Jenderal Nasution menandatangani suatu perjanjian baru pembelian senjata dengan Marsekal Gretsko. Tapi, sekitar seminggu kemudian, Kruschev disingkirkan dari kekuasaaan oleh Breshnev dan kawan-kawan. Nasution mencatat, bahwa sewaktu diadakan jamuan makan malam balasan oleh Soekarno bagi Kepala Negara Sovjet dan pemimpin Sovjet lainnya --yang tidak dihadiri Kruschev yang sedang 'berlibur' bersama keluarga-- Breshnev yang saat adalah orang kedua memang berperilaku agak aneh, lebih banyak diam sepanjang acara seolah-olah pikirannya ada di tempat lain (1987: 83).

Di luar kaitan masalah militer sementara itu, keadaan ekonomi yang makin memburuk secara luar biasa, kembali memerlukan pengalihan perhatian rakyat, setelah selesainya gerakan pembebasan Irian Barat. Alasan yang terakhir ini, diakui atau tidak, faktual menjadi kebutuhan Soekarno. Apapun, Soebandrio berhasil 'membangkitkan' Soekarno yang memang selalu menempatkan diri di barisan depan gerakan anti neo kolonialisme dan neo imperialisme, untuk kembali berada di garis depan dan lebih 'dalam' melawan Barat. Kendati mulai bersuara keras terhadap rencana Federasi Malaysia, dan juga terhadap Tunku Abdul Rahman, toh Soekarno masih ada kesediaan menuju meja perundingan di tahun 1963 itu, setidaknya sampai Agustus 1963.

    PKI dan Soebandrio betul-betul memanfaatkan gerakan kiri Azahari yang menginginkan mengenyahkan Inggeris. PKI menyampaikan retorika, bahwa gerakan Azahari adalah gerakan rakyat untuk mengusir kaum kolonial dari tanah air mereka, maka harus didukung oleh semua kaum revolusioner yang anti kolonialisme dan imperialisme. Sementara itu di bawah permukaan, PKI dengan kuat mensupport Soebandrio yang mengerahkan BPI untuk menjalankan sejumlah operasi intelejen. PKI dan Soebandrio 'menampung' sejumlah pelarian yang melintas perbatasan ke wilayah Indonesia karena menghindari penangkapan setelah gagalnya gerakan Azahari. Pelarian-pelarian ini umumnya adalah dari etnis Cina yang berideologi komunis. Di Serawak terdapat hampir 300 ribu etnis Cina dari sekitar 800 ribuan penduduk, sedang di Sabah ada kurang lebih 100-150 ribu etnis Cina di antara sekitar 500 ribuan penduduk. Kebanyakan dari mereka adalah anggota partai dan organisasi-organisasi politik komunis, serta amat militan.

Atas 'perintah' Soebandrio, BPI merekrut puluhan dari pelarian militan ini, lalu diam-diam membawa mereka ke Jawa dan memberi mereka latihan militer yang cukup keras dibawah instruktur-instruktur combatan dari unsur Angkatan Kepolisian di Bogor. Hal ini tak sulit dilakukan karena Kepala BPI adalah seorang perwira kepolisian, yakni Brigadir Jenderal Soetarto. Mereka yang telah dilatih di Bogor ini, dikembalikan ke perbatasan Serawak, dan melatih lagi puluhan lainnya pelarian, termasuk sejumlah wanita, sebagai gerilyawan dengan kemampuan militer. Mereka inilah yang kemudian merupakan cikal bakal PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang mulai bergerak kembali ke Serawak dan menjalankan aksi gerilya sejak pertengahan 1963.

      Kisah Abang Kifli, Operasi A dan 'Operasi Babu-babu'. Soebandrio juga memberi dorongan dan kesempatan kepada Azahari dan pengikut-pengikutnya membentuk Kabinet Kalimantan Utara dalam 'pengasingan' di wilayah Indonesia. Seluruh anggota kabinet itu adalah golongan kiri di Kalimantan Utara. Tetapi ada seorang di antaranya, yang diangkat sebagai Menteri Pertahanan, bernama Abang Kifli, ternyata tidak berideologi kiri. Ia ini pernah bermukim sebagai 'imigran' di Indonesia dan bahkan bekerja untuk pemerintah Indonesia di Departemen Agama. Ia memiliki hubungan baik dengan Abdul Harris Nasution, jenderal yang mempunyai sejarah hubungan buruk dengan Soebandrio dan dianggap oleh yang disebut belakangan ini sebagai 'musuh' politiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun