Mohon tunggu...
Nazwa Naila
Nazwa Naila Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Sarjana Ilmu Politik

Saya adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran yang memiliki minat besar dalam isu-isu demokrasi, komunikasi politik, serta pemberdayaan masyarakat. Berbekal pengalaman dalam organisasi kemahasiswaan dan kegiatan kepemudaan, saya aktif mengembangkan keterampilan kepemimpinan, riset, serta komunikasi strategis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

#KaburAjaDulu sebagai Representasi Krisis Harapan : Analisis Peran Media Alternatif dalam Ruang Publik Digital

4 Juli 2025   19:48 Diperbarui: 4 Juli 2025   19:47 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#KaburAjaDulu sebagai Representasi Krisis Harapan: Analisis Peran Media Alternatif dalam Ruang Publik Digital
Nazwa Naila Putri - 170810240010


I. Pendahuluan
Viralnya tagar #KaburAjaDulu di awal tahun 2025 bukanlah sekadar ledakan spontan kreativitas digital, melainkan refleksi sosial yang mendalam. Di tengah riuh rendah konten media sosial, tagar ini mencuat sebagai simbol keresahan kolektif generasi muda Indonesia terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mereka anggap semakin tidak berpihak. Gaya bahasanya memang satir dan penuh ironi, tetapi maknanya menyentuh nadi persoalan: hilangnya harapan terhadap negara sendiri.
Tagar tersebut tidak hadir dalam ruang hampa. Ia lahir dari pengalaman hidup anak muda yang dihimpit oleh naiknya biaya pendidikan, sulitnya akses pekerjaan layak, krisis iklim, hingga stagnasi demokrasi. Namun yang menarik, bentuk ekspresi keresahan ini bukan disalurkan melalui kanal-kanal formal, melainkan melalui ranah digital dan diperkuat oleh kerja-kerja media alternatif media yang memilih berpihak pada mereka yang suaranya selama ini terpinggirkan.


II. Identifikasi Masalah
Generasi muda hari ini menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Biaya pendidikan terus melonjak, lapangan pekerjaan semakin sempit, krisis iklim merayap tanpa kejelasan arah kebijakan, sementara akses terhadap hunian, kesehatan, dan jaminan sosial masih menjadi kemewahan. Banyak dari mereka adalah lulusan universitas yang terdidik tetapi menganggur, atau terpaksa bekerja di sektor informal tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Pada saat yang sama, ruang untuk menyuarakan pendapat terasa menyempit. Kritik sering dianggap sebagai ancaman. Opini berbeda mudah disalahpahami. Di dalam institusi pendidikan pun, keberanian untuk bersuara sering kali terbentur birokrasi atau represi halus. Maka tak heran jika banyak anak muda mulai merasa:
kalau di sini saja tidak bisa hidup layak, kenapa tidak pergi saja?
Inilah yang kemudian melahirkan tagar #KaburAjaDulu. Bukan sebagai bentuk nyata dari keinginan pindah ke luar negeri, tetapi sebagai metafora dari rasa putus asa, bentuk protes yang sunyi namun tajam, dan ekspresi atas kehilangan rasa memiliki terhadap tanah air.


III. Tinjauan Teori
Untuk memahami bagaimana keresahan ini kemudian dimediasi dan disuarakan, kita perlu merujuk pada konsep ruang publik alternatif dari Nancy Fraser. Fraser menolak konsep ruang publik homogen ala Habermas yang hanya menyuarakan kelompok dominan. Sebaliknya, ia memperkenalkan gagasan subaltern counterpublics ruang diskursif yang diciptakan oleh kelompok termarjinalkan untuk mengekspresikan kepentingan mereka secara otonom.
Media alternatif hadir sebagai salah satu bentuk ruang publik tandingan. Ia memungkinkan suara-suara yang terpinggirkan oleh media arus utama terutama suara anak muda yang kritis untuk tetap memiliki wadah. Media alternatif bukan hanya alat penyebaran informasi, tetapi juga media resistensi, seperti disebutkan oleh John Downing dalam teori radical media-nya. Media seperti ini lahir dari akar rumput, dan fungsinya adalah untuk melawan dominasi ideologi negara atau korporasi besar.
Dengan kata lain, media alternatif memungkinkan munculnya narasi yang berbeda, bahkan berseberangan, dengan wacana yang dibentuk oleh kekuasaan. Ia menjadi tempat bagi mereka yang tak punya tempat di panggung utama.


IV. Isi
1. Meningkatkan Kesadaran Sosial dan Politik
Salah satu peran strategis media alternatif adalah membuka ruang kesadaran kritis terhadap persoalan struktural yang dihadapi generasi muda. Bandung Bergerak, misalnya, secara konsisten menampilkan liputan mendalam mengenai ketimpangan ekonomi, krisis iklim, serta tekanan hidup yang dialami mahasiswa dan kaum muda urban.
Salah satu artikel mereka pernah membahas mahasiswa perantauan yang nyaris putus kuliah karena tidak mampu membayar UKT dan biaya hidup. Narasi semacam ini tidak sekadar menunjukkan fakta, tetapi juga mendorong pembaca untuk menyadari bahwa masalah tersebut bukan kesalahan individu, melainkan akibat dari sistem pendidikan dan ekonomi yang diskriminatif. Dengan pendekatan jurnalisme reflektif, media alternatif menjembatani antara pengalaman personal dan kritik struktural.
2. Menyediakan Ruang Aman untuk Bersuara
Selain mendorong kesadaran kritis, media alternatif seperti Project Multatuli juga menyediakan ruang aman bagi ekspresi politik berbasis pengalaman. Banyak tulisan di platform ini berbentuk esai personal yang mencerminkan kekecewaan terhadap negara, beban hidup sebagai pekerja informal, atau kecemasan akan masa depan.
Ekspresi semacam ini sering dianggap "terlalu emosional" oleh media arus utama, namun justru itulah kekuatannya. Emosi menjadi jalan masuk untuk membangun kedekatan, solidaritas, dan pemahaman kolektif. Tulisan-tulisan ini memberi validasi terhadap perasaan marah, sedih, hingga frustasi anak muda, yang seringkali disalahpahami sebagai bentuk apatisme.
3. Mengangkat Perspektif yang Tak Terliput Media Arus Utama
Sementara media besar cenderung fokus pada berita elite dan dinamika politik formal, media alternatif justru menyasar narasi yang tak tersentuh: pengangguran terdidik, kesenjangan digital, dan trauma pasca pandemi. Artikel seperti "Gagal di Negeri Sendiri" dari Konde.co, misalnya, membongkar kenyataan getir anak muda yang merasa tertolak oleh sistem meskipun telah memenuhi standar pendidikan yang ditetapkan negara.Begitu pula podcast seperti Suara Muda membuka kanal diskusi yang jujur dan apa adanya, tanpa beban kepentingan. Di sini, media alternatif bukan hanya membingkai realitas secara kritis, tetapi juga menghidupkan kembali keberagaman perspektif sebagai syarat mutlak dari demokrasi yang sehat.


V. Kesimpulan
Tagar #KaburAjaDulu menunjukkan bahwa generasi muda tidak kehilangan suara, melainkan kehilangan saluran yang aman dan kredibel untuk bersuara. Dalam konteks inilah, media alternatif memainkan peran yang sangat vital. Mereka bukan hanya menyuarakan keresahan yang diremehkan oleh wacana dominan, tetapi juga menciptakan ekosistem diskursif yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran politik, solidaritas lintas identitas, dan harapan baru atas perubahan.
Tagar ini bukan sekadar ajakan untuk pergi meninggalkan tanah air, tetapi menjadi simbol bahwa jika negara tak mendengarkan, anak muda akan mencari ruangnya sendiri. Dan ruang itu kini telah mereka temukan dalam kerja-kerja media alternatif yang jujur, reflektif, dan berpihak.
Lebih dari sekadar kanal distribusi informasi, media alternatif berfungsi sebagai jantung perlawanan simbolik anak muda terhadap ketimpangan sistemik yang berlangsung terus-menerus. Di tengah erosi kepercayaan terhadap institusi formal, media alternatif menawarkan praktik demokrasi yang lebih horizontal, partisipatif, dan akuntabel. Mereka tidak hanya menyampaikan suara, tetapi juga mendistribusikan kuasa narasi kepada mereka yang sebelumnya hanya menjadi objek pemberitaan.
Melalui kerja-kerja ini, generasi muda tidak lagi hanya menjadi "konsumen informasi", tetapi juga "produsen makna". Mereka terlibat dalam proses mengartikulasikan identitas politiknya, membentuk jejaring solidaritas, dan bahkan mendefinisikan ulang makna menjadi warga negara. Jika negara gagal menghadirkan rasa aman dan kepastian, maka media alternatif hadir untuk membangun rasa kebersamaan dan pengakuan.

 Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan media alternatif bukan hanya reaksi sesaat terhadap krisis, tetapi juga bentuk praktik budaya yang mengakar dan berkelanjutan. Ia menjadi bukti bahwa demokrasi tidak berhenti di bilik suara atau ruang debat formal, melainkan juga tumbuh dalam tulisan-tulisan panjang yang penuh emosi, podcast yang merekam kegelisahan, dan narasi-narasi kecil yang mengguncang kesadaran. Media alternatif memungkinkan ruang itu tetap hidup dan dalam ruang itulah harapan bisa terus dirawat.
Pada Akhirnya, #KaburAjaDulu menjadi semacam "refleksi balik" bahwa sebelum memilih pergi, ada banyak yang mencoba bertahan dan melawan. Media alternatif adalah bagian dari upaya kolektif tersebut. Selama ruang-ruang ini terus ada dan diperkuat, maka selalu ada kemungkinan bahwa anak muda tidak akan pergi terlalu jauh, sebab mereka tahu, suara mereka masih punya tempat untuk pulang.
Sumber Referensi
Bandung Bergerak (2023--2024).
Artikel: "Kampus Mahal, Mahasiswa Menjerit: Ketika Perjuangan Tak Lagi Bisa Dilanjutkan"
https://bandungbergerak.id
Fraser, Nancy. (1990). Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy.Social Text, No. 25/26, pp. 56--80.
Konde.co. (2022--2024)
Artikel: "Gagal di Negeri Sendiri: Cerita dari Anak Muda Terdidik yang Tak Dianggap"
https://www.konde.co
Project Multatuli (2021--2024).
Artikel: "Negara Tak Hadir, Anak Muda Mengeluh dalam Diam", "Cerita Buruh Muda dan Kekecewaan Terhadap Negara"
https://projectmultatuli.org
Suara Muda Podcast. (2024).
Episode: "Kenapa Banyak Anak Muda Nggak Mau Tinggal di Indonesia?"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun