Pendahuluan Â
Dalam perjalanan menjadi seorang sarjana, kita tidak hanya dituntut menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga menata kehidupan agar selaras dengan nilai-nilai etika dan moral. Filsafat Aristoteles memberikan salah satu fondasi penting bagi pencarian kebahagiaan, yaitu konsep Eudaimonia. Istilah ini sering dipahami sebagai "hidup baik" atau "kehidupan yang berbahagia", bukan dalam arti kesenangan sesaat, tetapi kebahagiaan yang bersumber dari pengembangan diri secara utuh.
Seorang sarjana yang unggul dan profesional tidak hanya berorientasi pada gelar akademik, tetapi juga pada karakter, kebijaksanaan, dan kontribusi bagi masyarakat. Dengan menginternalisasi etika eudaimonia Aristoteles, mahasiswa diharapkan mampu melakukan transfigurasi diri --- suatu proses transformasi menuju pribadi yang berbahagia sekaligus bertanggung jawab.
Eudaimonia dalam Pandangan Aristoteles Â
Aristoteles memahami kebahagiaan (eudaimonia) bukan sekadar kenikmatan fisik sebagaimana pandangan kaum hedonis, melainkan kondisi ketika manusia mampu mengembangkan seluruh potensinya secara optimal. Dalam modul perkuliahan dijelaskan bahwa jalan menuju kebahagiaan adalah: Â
1. Mengembangkan logos/akal budi, yaitu kemampuan berpikir jernih, menimbang, dan mengambil keputusan yang tepat. Â
2. Menjadikan diri sebagai makhluk sosial, yang terlibat dalam keluarga, masyarakat, bahkan negara. Â
3. Memahami batas antara sensasi dan emosi, sehingga tidak terjebak pada kenikmatan sesaat. Â
4. Mengupayakan kualitas diri melalui prestasi, nama baik, dan pengabdian.
Dengan demikian, eudaimonia bukan tujuan singkat, melainkan proses panjang dalam kehidupan yang berkesinambungan.
Perbandingan dengan Pandangan Etika Lain Â
Untuk memahami kekhasan etika eudaimonia, kita perlu membandingkannya dengan beberapa teori moral lain yang juga dibahas dalam modul perkuliahan.
 1. Hedonisme dan Epikurianisme Â
  Hedonisme menekankan pencarian kesenangan, sedangkan Aristoteles menekankan keseimbangan. Epikurus memang mengajarkan mencari nikmat, tetapi nikmat yang sederhana dan bebas dari rasa sakit. Aristoteles lebih luas: kebahagiaan adalah ketika manusia mengaktualisasikan seluruh potensi, tidak hanya menghindari rasa sakit.