Mohon tunggu...
Moh Nur Nawawi
Moh Nur Nawawi Mohon Tunggu... Nelayan - Founder Surenesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / @nawawi_indonesia nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bekal Iqbal

23 Februari 2021   18:27 Diperbarui: 23 Februari 2021   18:44 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disebuah sekolah favorit, semua cerita ini terjadi

"Kamu bertengkar dengan Iqbal?" Saya bertanya dengan selembut mungkin agar bocah kelas lima itu tidak terlalu curiga dengan pertanyaan saya.

Budi menggeleng, "Tidak, Bu. Saya tidak bertengkar sama dia. Kami kadang-kadang main bareng, kok," jawabnya.

"Lalu kenapa dia pindah ke bangku paling belakang?" saya melanjutkan.

Sekali lagi Budi menggeleng, dia mengatakan kalau dia tidak tahu alasan Iqbal tiba-tiba pindah ke bangku paling belakang, menempati bekas tempat duduk dua murid kembar yang pindah ke kota lain mengikuti orang tua mereka sebulan yang lalu. Iqbal tidak mengatakan apa pun padanya. 

Saat Budi bertanya, kenapa Iqbal pindah ke meja belakang, dia hanya menjawab, "Lagi pengen saja." Saya memanggil Budi---yang saya sangka adalah sahabat Iqbal karena Budi mengatakan jika mereka kawan sebangku dari kelas satu---ke ruang guru untuk mencari tahu kenapa Iqbal Samsudin berubah. Saya adalah wali kelas mereka sekarang. Awalnya dia duduk di bangku paling depan berhadapan langsung dengan meja saya.

Setelah mengatakan pada Budi untuk tidak membicarakan perihal pemanggilan dirinya ke ruang guru dan apa yang saya tanyakan padanya, saya meminta bocah itu kembali ke kelas. Sudah hampir seminggu ini Iqbal tidak berperilaku seperti biasanya dan hal itu membuat saya cukup khawatir. Sebelumnya dia murid yang aktif bertanya, aktif menjawab, dan selalu ingin terlibat dengan teman-temannya. Namun, seminggu ini dia terlihat berbeda. Dia sering terlihat murung dan menyendiri. Perubahan itu cukup mencolok bagi saya.

Sebenarnya saya ingin menanyainya langsung tetapi saya ragu. Saya takut efeknya malah tidak baik karena saya belum menemukan gambaran masalah yang dia hadapi. Sayang sekali jika anak pintar seperti Iqbal tiba-tiba terpuruk. Mungkin saya harus mengambil waktu lebih panjang untuk melihat situasi yang sebenarnya.

Saat bel istirahat siang berbunyi, seperti biasa saya bergegas ke kelas untuk memimpin anak-anak menikmati bekal makan siang mereka. Ini adalah aturan baru sekolah yang sudah seminggu kami terapkan. Tujuannya agar anak-anak tidak lagi membeli jajanan di luar sekolah yang belum tentu bersih. 

Berita-berita televisi tentang boraks, saos buatan, maupun daging tikus yang menjadi bahan jajanan membuat sebagian wali murid mengusulkan hal itu. Kami---pihak sekolah---merasa cukup senang karena usulan itu datang dari mereka.

Sebelum makan, kami biasakan anak-anak untuk berdoa. Saya meminta Iqbal untuk memimpin. Saya sengaja melakukannya dengan maksud melihat reaksinya. Akan tetapi, sebelum Iqbal mengangkat suara, pintu kelas diketuk. Setelah saya menoleh ke arah pintu kelas, saya menemukan Ibu Lastri---wali dari Dani---berdiri dengan wajah lelah. Napasnya masih tersengal-sengal dan sesekali seperti menelan ludahnya. Mungkin dia habis berlari-lari, saya menduga begitu. Di tangan kirinya dia menenteng sebuah plastik putih bertuliskan KFC dengan sebuah kotak di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun