“Yang penting estetik dulu, rasa belakangan.”
– (Ucapan populer di antara pemuda urban saat ini)
Pernahkah Anda melihat sekelompok anak muda duduk melingkar di sebuah kafe berinterior estetik dengan pencahayaan hangat, hidangan tersaji rapi, dan minuman penuh topping warna-warni? Namun sebelum sendok menyentuh makanan, hal pertama yang dilakukan bukan mencicipi, melainkan membuka kamera. Tujuannya bukan sekadar mengabadikan momen kebersamaan, melainkan mengambil foto makanan dari sudut terbaik, pencahayaan paling sempurna, dan menyusunnya dengan caption estetik lengkap dengan tag lokasi yang sedang tren. Atau mungkin justru Anda sendiri pernah mengalami hal tersebut?
Fenomena ini dikenal dengan istilah “makan cantik”, sebuah istilah populer yang mencerminkan perubahan budaya makan di kalangan anak muda. Aktivitas makan tidak lagi semata-mata merupakan pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan telah berubah menjadi ajang pertunjukan visual di media sosial. Momen makan kini menjadi produksi konten. Apa yang dahulu bersifat privat, kini berubah menjadi konsumsi publik yang sarat akan simbol, citra, dan performa. Bahkan, kita bisa dengan mudah menemukan rekomendasi “tempat makan cantik” di TikTok.
Menariknya, fenomena ini tidak hanya dapat dilihat sebagai gejala gaya hidup, tetapi juga penting untuk dibaca dari sudut pandang sosiologi kepemudaan dan teori sosial postmodern. Salah satu pendekatan yang relevan adalah teori Simulacra dan Hiperrealitas yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard. Dalam teorinya, Baudrillard menjelaskan bahwa dalam masyarakat kontemporer, kenyataan telah tergantikan oleh representasi dan tanda-tanda visual yang kerap kali tidak lagi mengacu pada realitas yang sebenarnya.
Kehadiran teknologi digital dan internet memang telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan. Di satu sisi, teknologi mempercepat komunikasi, memperluas akses informasi, dan membuka ruang ekspresi yang lebih luas. Namun di sisi lain, perkembangan ini juga membentuk cara berpikir dan cara hidup yang baru, khususnya bagi generasi muda yang sering disebut sebagai generasi net. Mereka tumbuh dalam budaya digital yang sangat visual, cepat berubah, dan sarat performa. Merekam momen, membagikannya ke publik, serta mengukur validasi diri dari respons audiens online menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Zakirah (2020) menyebut generasi net sebagai generasi yang dibesarkan dalam lingkungan digital, sehingga cenderung menjadi pribadi yang individual, visual-oriented, dan lebih terbiasa berkomunikasi secara daring dibandingkan tatap muka. Sementara itu, Ayun (2015) mengamati bahwa media sosial telah mencairkan batas antara ruang privat dan publik. Aktivitas yang sebelumnya bersifat personal seperti makan, menangis, atau berdoa kini dapat ditampilkan ke hadapan khalayak dan menjadi bagian dari narasi digital diri.
Dalam konteks ini, aktivitas makan pun mengalami transformasi makna. Pemilihan tempat makan yang “instagramable”, penyusunan makanan secara estetis, pengaturan pencahayaan, hingga caption yang puitis, menjadi strategi untuk membentuk kesan bahwa “saya menikmati hidup”, “saya mengikuti tren”, atau “saya bagian dari gaya hidup modern”. Sering kali, kualitas rasa makanan menjadi nomor sekian. Bahkan tidak sedikit yang mengakui bahwa makanannya “biasa saja”, dengan harga yang relatif mahal atau bahkan tidak habis dimakan, namun kontennya sudah berhasil didapatkan dan itu dianggap cukup. Tak jarang setelah sesi dokumentasi selesai, mereka melanjutkan makan di warung pinggir jalan karena sebenarnya masih merasa lapar.
Melalui kacamata Baudrillard, kondisi ini menggambarkan hiperrealitas, yakni ketika representasi atau tiruan justru terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Aktivitas makan bukan lagi soal rasa atau lapar, melainkan tentang bagaimana momen tersebut ditampilkan, dikomentari, dan dilihat. Realitas digantikan oleh citra. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang remaja, “Saya pernah kembali ke tempat makan yang sama hanya karena pencahayaannya bagus untuk Instastory. Padahal makanannya biasa saja.” Pengalaman ini menggambarkan dengan jelas bagaimana fokus telah bergeser: bukan pada makan itu sendiri, melainkan bagaimana aktivitas itu ditampilkan secara visual di media sosial.