Mohon tunggu...
Nawanisyah Maura Laudya H
Nawanisyah Maura Laudya H Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Aktif Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Selfie Sebelum Suapan: Hiperrealitas Pemuda dalam Budaya Makan Cantik

5 Juli 2025   21:43 Diperbarui: 5 Juli 2025   21:47 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Google Images, 2025

Makan cantik juga berfungsi sebagai alat komunikasi sosial. Dalam budaya kontemporer, makanan bukan hanya soal selera, tetapi juga status dan gaya hidup. Minum kopi susu di kafe minimalis bisa diasosiasikan dengan gaya hidup kreatif dan urban. Mengunggah ramen mahal memberi kesan sebagai penikmat budaya luar. Foto dessert warna-warni dengan filter hangat menampilkan citra hidup manis dan penuh estetika. Makanan telah menjadi simbol sosial yang “dibaca” orang lain sebagai kode identitas. Kita tidak hanya mengonsumsi makanan, tetapi juga mengonsumsi nilai-nilai yang dikandung dalam citranya. Inilah yang dimaksud Baudrillard dengan simulacra sebagai tiruan yang tidak lagi merujuk pada realitas, tetapi menjadi realitas itu sendiri. Di kota-kota besar seperti Jakarta, praktik makan cantik ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. 

Makan di luar bukan lagi tentang menikmati waktu bersama keluarga atau teman, tapi tentang bagaimana kegiatan itu bisa diabadikan, diedit, dan dibagikan. Pemuda kota memilih tempat makan karena dekorasinya, bukan menunya. Makanan menjadi latar, bukan tujuan utama. Fenomena ini menjadi cerminan dari pergeseran mendalam dalam cara kita memaknai pengalaman. Dunia nyata kerap kali dikalahkan oleh dunia digital. Pengalaman dikurangi menjadi tampilan. Rasa menjadi sekadar pelengkap dari sebuah narasi visual. Kita pun mulai kehilangan kedalaman, keintiman, dan makna dari aktivitas sehari-hari yang dahulu begitu personal.

Identitas sosial dibangun dari like, comment, dan view. Realitas diri diukur dari jumlah pengikut dan impresi, bukan dari refleksi dan pemahaman terhadap diri sendiri.  Pada titik ini, penting untuk merefleksikan kembali: apakah kita benar-benar menikmati hidup, atau hanya tampil seolah-olah sedang menikmatinya? 

Jean Baudrillard pernah menulis bahwa dalam masyarakat hiperreal, semua nilai telah direduksi menjadi tampilan. Yang tersisa hanyalah permukaan tanpa kedalaman. Maka, tugas kita bukan hanya menyadari keberadaan simulacra, tetapi juga berani melepaskan diri darinya, setidaknya sesekali. Makanlah karena lapar. Nikmatilah rasa dan perbincangan di meja makan. Jangan biarkan kamera menjadi alat ukur kepuasan hidup. Sebab pada akhirnya, hidup yang paling bermakna bukan yang tampak indah di layar, tetapi yang benar-benar kita rasakan dalam kenyataan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun