Dampak terhadap konsumen memang terbukti tak kalah signifikan. Kenaikan harga barang menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kelas menengah. CNBC melaporkan bahwa harga rata-rata mobil baru meningkat sekitar 6% hanya dalam kurun waktu beberapa waktu setelah pengumuman tarif diberlakukan. Kenaikan ini memperburuk tekanan inflasi yang sudah meningkat sejak awal tahun, dan memperlemah daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpendapatan tetap. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan tingkat konsumsi domestik yang ironisnya merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sendiri.
Dalam surat tahunannya kepada pemegang saham pada 08 April lalu, Jamie Dimon (CEO JPMorgan Chase---Bank Amerika Serikat) menyatakan bahwa kebijakan tarif universal Trump dapat memperlemah ekonomi AS sendiri. Ia menyoroti bahwa kebijakan ini berisiko meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli konsumen, serta dapat mengganggu rantai pasok global yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi Amerika (CNBC International, 2025).
Selain memperlemah konsumsi, efek berantai dari tarif universal ini juga berpotensi menekan investasi domestik dan menurunkan kepercayaan bisnis secara keseluruhan. Sebuah laporan dari National Association of Manufacturers (NAM) pada awal April 2025 menyebutkan bahwa lebih dari 45% perusahaan manufaktur di AS menunda ekspansi atau pembukaan fasilitas baru akibat ketidakpastian kebijakan dagang. Ketika pelaku industri tidak lagi yakin dengan arah kebijakan ekonomi, yang terjadi adalah penundaan inovasi, pengurangan kapasitas produksi, dan dalam jangka panjang, kehilangan daya saing secara global.
Bahkan, sektor pertanian yang awalnya tidak banyak disorot dalam wacana ini, mulai menunjukkan gejala tertekan. China dan Meksiko sebagai mitra dagang besar AS mulai mencari sumber pasokan alternatif, menyebabkan ekspor jagung dan kedelai dari petani Midwest merosot hampir 12% dalam kuartal pertama 2025, menurut laporan dari U.S. Department of Agriculture (USDA). Petani, yang menjadi basis politik penting bagi Partai Republik, kini justru menjadi korban dari kebijakan yang mereka dukung.
Retorika Timbal Balik yang Tak Konsisten, Tujuan yang Kabur, dan Dasar Hukum yang Goyah
Trump menyebut bahwa apa yang ia lakukan hanyalah membalas tindakan yang sebelumnya dilakukan negara-negara lain kepada Amerika Serikat. Namun, klaim ini jauh dari kenyataan.
James M. Lindsay dalam artikelnya mengatakan jika benar-benar menerapkan prinsip timbal balik, maka tarif yang dikenakan seharusnya mencerminkan tarif yang berlaku di negara mitra dagang. Misalnya, jika suatu negara mengenakan tarif 10% terhadap produk AS, maka AS pun membalas dengan tarif yang setara. Tapi Trump tidak menggunakan logika itu. Trump justru menggunakan rumus perhitungan yang kasar dan terkesan asal-asalan berdasarkan besarnya defisit perdagangan AS dengan suatu negara, dibandingkan total impor dari negara tersebut, lalu dibagi dua. Cara ini membuat 'negara' lain seperti Israel tetap dikenai tarif 17% meski mereka sudah lebih dulu menghapus semua tarif atas produk AS. Uni Eropa pun tak luput, dikenai tarif 20% padahal tarif efektif mereka terhadap barang AS sebenarnya di bawah 3%. Jelas terlihat, ini bukan sekadar soal keadilan dagang.
Lebih membingungkan lagi, Trump tampak belum memiliki sasaran yang jelas dari kebijakan tarif tersebut. Di satu sisi, ia menyebut tarif akan mendorong relokasi industri ke dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Artinya, tarif bukan alat tawar-menawar, tapi kebijakan permanen. Namun di sisi lain, ia sendiri pernah mengatakan bahwa tarif bisa dijadikan alat negosiasi tanpa menjelaskan tuntutan spesifik apa yang sebenarnya ia inginkan dari negara lain. Janji-janji untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur AS pun jadi terasa kosong, karena tidak ada kejelasan arah dan langkah konkret.
Tak hanya soal isi kebijakan, dasar hukum yang digunakan pun kontroversial. Konstitusi AS sejatinya memberikan wewenang pengaturan perdagangan internasional kepada Kongres, bukan presiden. Meskipun Kongres pernah mendelegasikan sebagian kewenangan ini lewat berbagai undang-undang, termasuk Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) tahun 1977, sebenarnya niat awal undang-undang ini bukan untuk memberi presiden kuasa penuh dalam menetapkan tarif. Ironisnya, Trump menggunakan celah dalam IEEPA untuk mendeklarasikan "keadaan darurat nasional" demi mengesahkan kebijakan tarifnya padahal IEEPA sendiri tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan "keadaan darurat". Ini membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, sekaligus melemahkan sistem checks and balances yang menjadi dasar demokrasi Amerika. Tak heran, banyak pihak diprediksi akan menggugat kebijakan ini secara hukum. Meski begitu, sejarah menunjukkan bahwa pengadilan sering kali enggan menolak keputusan presiden yang mengatasnamakan "keamanan nasional", meski dalih tersebut lemah.
Secara keseluruhan, langkah Trump menerapkan tarif dengan alasan melindungi ekonomi nasional justru menimbulkan lebih banyak ketidakpastian. Alih-alih menjadi "Hari Pembebasan" (Liberation Day) seperti yang ia gaungkan, banyak ekonom dan investor justru menyebutnya sebagai "Hari Kehancuran" (Ruination Day) atau bahkan "Hari Pemusnahan" (Obliteration Day). Yang jelas, dunia tengah bersiap menghadapi turbulensi baru dalam sistem perdagangan global (Lindsay, 2025).
Neo-Merkantilisme yang Kontraproduktif