Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih pada Januari 2025, dan hanya dalam waktu tiga bulan, ia telah mengguncang sistem perdagangan global dengan tarif impornya. Melalui pidatonya, Trump mengatakan, "Selama beberapa dekade, negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan rampasan oleh negara-negara dari dekat maupun jauh, baik yang mengaku sebagai teman maupun yang jelas-jelas musuh." (SBS News. 2025).
Dengan menerapkan tarif impor universal sebesar 10% untuk semua negara dan tarif khusus hingga 145% untuk China, Trump menunjukkan bahwa pendekatan neo-merkantilisme kini menjadi kebijakan "resmi" Amerika Serikat. Menurut laporan Business Insider (April 2025), tarif 10% diberlakukan termasuk ke sekutu dekat seperti Kanada, Jepang, dan Uni Eropa, sebagai bagian dari kampanye "Universal Reciprocal Trade Tariff". Sementara China, Trump menerapkan tarif yang lebih tajam karena alasan "menghisap darah manufaktur Amerika" dan landasan bahwasanya China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil.Â
Trump menjanjikan masa keemasan Amerika Serikat dengan kenaikan tarif yang dilakukan. Ia menyebutkan dalam pidatonya di White House Rose Garden :
"April 2 2025 will be forever remembered as the day American industry was reborn, the day America's destiny was reclaimed, and the day that we began to make America wealthy again."
Terjemahan : "2 April 2025 akan selamanya dikenang sebagai hari ketika industri Amerika terlahir kembali, hari ketika takdir Amerika direbut kembali, dan hari ketika kita mulai membuat Amerika kembali makmur."
Label neo-merkantilisme sebagai kebijakan yang diambil Amerika Serikat saat ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, proteksionisme yang dilakukan Trump terbilang sangat agresif. Tindakan Amerika Serikat merepresentasikan pergeseran tajam dari prinsip-prinsip perdagangan bebas yang selama ini diadvokasi oleh AS, menuju strategi ekonomi nasionalistik yang menekankan pada perlindungan industri domestik dan pengurangan defisit perdagangan. Proteksionisme agresif ini bukan hanya bertujuan untuk menekan dominasi manufaktur China, tetapi juga menandai kembalinya "America First" dalam arsitektur ekonomi global. Langkah ini tidak hanya memicu perang dagang baru, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi global dan menempatkan negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam posisi yang sulit.Â
Kebijakan tarif universal yang diterapkan Trump tidak hanya memicu ketidakpastian di dalam negeri, tetapi juga membangkitkan reaksi keras dari berbagai negara mitra dagang utama. Alih-alih tunduk pada tekanan ekonomi AS, banyak negara justru mulai menyiapkan langkah balasan (retaliatory tariffs), menggugat kebijakan Trump melalui World Trade Organization (WTO), dan memperkuat kerja sama perdagangan antar sesama negara non-AS.
Konsekuensi Internal: Merugikan Produsen dan Konsumen AS?
Alih-alih memperkuat fondasi manufaktur dalam negeri seperti yang diharapkan, kebijakan tarif universal ini justru menciptakan beban tambahan bagi pelaku industri dalam negeri Amerika Serikat. Data dari Federal Reserve pada Maret 2025 mengindikasikan lonjakan signifikan dalam harga input produksi, terutama di sektor-sektor yang sangat bergantung pada impor bahan mentah dan komponen, seperti otomotif, elektronik, dan alat berat. Perusahaan-perusahaan manufaktur kini menghadapi dilema antara menaikkan harga jual untuk menutupi biaya, atau mengurangi skala produksi dan merumahkan pekerja.
Mary Lovely, ekonom dari Peterson Institute for International Economics, menekankan bahwa meskipun tarif sebesar 10% tampak moderat di atas kertas, dampaknya terhadap rantai pasok global sangat masif. Dalam wawancaranya ia menjelaskan bahwa biaya tarif dibayar oleh konsumen dan menyoroti bahwa tarif khususnya mobil akan mengganggu rantai pasok dan mengakibatkan harga yang lebih tinggi, permintaan yang lebih rendah, dan pilihan yang lebih sedikit bagi konsumen AS. Selain itu, kenaikan biaya produksi pada akhirnya memaksa banyak perusahaan untuk mengalihkan beban ke konsumen, atau dalam beberapa kasus, menghentikan investasi baru akibat ketidakpastian kebijakan.
Dampak terhadap konsumen memang terbukti tak kalah signifikan. Kenaikan harga barang menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kelas menengah. CNBC melaporkan bahwa harga rata-rata mobil baru meningkat sekitar 6% hanya dalam kurun waktu beberapa waktu setelah pengumuman tarif diberlakukan. Kenaikan ini memperburuk tekanan inflasi yang sudah meningkat sejak awal tahun, dan memperlemah daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpendapatan tetap. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan tingkat konsumsi domestik yang ironisnya merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sendiri.
Dalam surat tahunannya kepada pemegang saham pada 08 April lalu, Jamie Dimon (CEO JPMorgan Chase---Bank Amerika Serikat) menyatakan bahwa kebijakan tarif universal Trump dapat memperlemah ekonomi AS sendiri. Ia menyoroti bahwa kebijakan ini berisiko meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli konsumen, serta dapat mengganggu rantai pasok global yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi Amerika (CNBC International, 2025).
Selain memperlemah konsumsi, efek berantai dari tarif universal ini juga berpotensi menekan investasi domestik dan menurunkan kepercayaan bisnis secara keseluruhan. Sebuah laporan dari National Association of Manufacturers (NAM) pada awal April 2025 menyebutkan bahwa lebih dari 45% perusahaan manufaktur di AS menunda ekspansi atau pembukaan fasilitas baru akibat ketidakpastian kebijakan dagang. Ketika pelaku industri tidak lagi yakin dengan arah kebijakan ekonomi, yang terjadi adalah penundaan inovasi, pengurangan kapasitas produksi, dan dalam jangka panjang, kehilangan daya saing secara global.
Bahkan, sektor pertanian yang awalnya tidak banyak disorot dalam wacana ini, mulai menunjukkan gejala tertekan. China dan Meksiko sebagai mitra dagang besar AS mulai mencari sumber pasokan alternatif, menyebabkan ekspor jagung dan kedelai dari petani Midwest merosot hampir 12% dalam kuartal pertama 2025, menurut laporan dari U.S. Department of Agriculture (USDA). Petani, yang menjadi basis politik penting bagi Partai Republik, kini justru menjadi korban dari kebijakan yang mereka dukung.
Retorika Timbal Balik yang Tak Konsisten, Tujuan yang Kabur, dan Dasar Hukum yang Goyah
Trump menyebut bahwa apa yang ia lakukan hanyalah membalas tindakan yang sebelumnya dilakukan negara-negara lain kepada Amerika Serikat. Namun, klaim ini jauh dari kenyataan.
James M. Lindsay dalam artikelnya mengatakan jika benar-benar menerapkan prinsip timbal balik, maka tarif yang dikenakan seharusnya mencerminkan tarif yang berlaku di negara mitra dagang. Misalnya, jika suatu negara mengenakan tarif 10% terhadap produk AS, maka AS pun membalas dengan tarif yang setara. Tapi Trump tidak menggunakan logika itu. Trump justru menggunakan rumus perhitungan yang kasar dan terkesan asal-asalan berdasarkan besarnya defisit perdagangan AS dengan suatu negara, dibandingkan total impor dari negara tersebut, lalu dibagi dua. Cara ini membuat 'negara' lain seperti Israel tetap dikenai tarif 17% meski mereka sudah lebih dulu menghapus semua tarif atas produk AS. Uni Eropa pun tak luput, dikenai tarif 20% padahal tarif efektif mereka terhadap barang AS sebenarnya di bawah 3%. Jelas terlihat, ini bukan sekadar soal keadilan dagang.
Lebih membingungkan lagi, Trump tampak belum memiliki sasaran yang jelas dari kebijakan tarif tersebut. Di satu sisi, ia menyebut tarif akan mendorong relokasi industri ke dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Artinya, tarif bukan alat tawar-menawar, tapi kebijakan permanen. Namun di sisi lain, ia sendiri pernah mengatakan bahwa tarif bisa dijadikan alat negosiasi tanpa menjelaskan tuntutan spesifik apa yang sebenarnya ia inginkan dari negara lain. Janji-janji untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur AS pun jadi terasa kosong, karena tidak ada kejelasan arah dan langkah konkret.
Tak hanya soal isi kebijakan, dasar hukum yang digunakan pun kontroversial. Konstitusi AS sejatinya memberikan wewenang pengaturan perdagangan internasional kepada Kongres, bukan presiden. Meskipun Kongres pernah mendelegasikan sebagian kewenangan ini lewat berbagai undang-undang, termasuk Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) tahun 1977, sebenarnya niat awal undang-undang ini bukan untuk memberi presiden kuasa penuh dalam menetapkan tarif. Ironisnya, Trump menggunakan celah dalam IEEPA untuk mendeklarasikan "keadaan darurat nasional" demi mengesahkan kebijakan tarifnya padahal IEEPA sendiri tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan "keadaan darurat". Ini membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, sekaligus melemahkan sistem checks and balances yang menjadi dasar demokrasi Amerika. Tak heran, banyak pihak diprediksi akan menggugat kebijakan ini secara hukum. Meski begitu, sejarah menunjukkan bahwa pengadilan sering kali enggan menolak keputusan presiden yang mengatasnamakan "keamanan nasional", meski dalih tersebut lemah.
Secara keseluruhan, langkah Trump menerapkan tarif dengan alasan melindungi ekonomi nasional justru menimbulkan lebih banyak ketidakpastian. Alih-alih menjadi "Hari Pembebasan" (Liberation Day) seperti yang ia gaungkan, banyak ekonom dan investor justru menyebutnya sebagai "Hari Kehancuran" (Ruination Day) atau bahkan "Hari Pemusnahan" (Obliteration Day). Yang jelas, dunia tengah bersiap menghadapi turbulensi baru dalam sistem perdagangan global (Lindsay, 2025).
Neo-Merkantilisme yang Kontraproduktif
Kebijakan tarif Trump merupakan manifestasi nyata dari neo-merkantilisme---sebuah pendekatan ekonomi yang menempatkan surplus dagang sebagai tolok ukur utama kekuatan nasional. Dalam kerangka ini, perdagangan bukanlah sarana kerja sama yang saling menguntungkan, melainkan arena persaingan zero-sum di mana keuntungan satu negara adalah kerugian bagi negara lain. Alih-alih mendorong efisiensi dan inovasi melalui kompetisi global, neo-merkantilisme justru memacu negara untuk menutup diri, menumpuk cadangan devisa, dan memproteksi industri dalam negeri tanpa mempertimbangkan dampaknya secara makro.
Strategi ini mengabaikan kompleksitas rantai pasok modern, dan pada akhirnya lebih banyak menimbulkan distorsi daripada membangun ketahanan ekonomi. Dengan dalih ingin mengembalikan kejayaan ekonomi nasional, Trump sesungguhnya sedang membawa Amerika kembali ke era isolasionisme ekonomi yang sudah usang dan terbukti kontra-produktif.
Pada akhirnya, retorika bombastis dan kebijakan sepihak yang ditempuh Trump tidak hanya memicu ketegangan global, tetapi juga menciptakan jebakan bagi ekonomi domestik Amerika Serikat sendiri. Dengan membungkus proteksionisme dalam semangat nasionalisme, Trump justru mengorbankan stabilitas ekonomi dan kredibilitas kepemimpinan global AS.
Neo-merkantilisme yang diusung bukan solusi atas tantangan globalisasi, melainkan pelarian dari kenyataan bahwa dunia saat ini saling terhubung dan saling bergantung. Jika tren ini terus berlanjut, bukan hanya perdagangan global yang akan terguncang, tetapi juga prospek pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia termasuk Amerika Serikat sendiri.
Dunia kini dihadapkan pada pilihan antara membiarkan arus isolasionisme mendikte masa depan, atau kembali memperkuat tata perdagangan internasional yang adil, transparan, dan berorientasi kerja sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI