Pada perkembangannya muncul sebuah teori baru yakni populis partnership yang ditandai dengan pembelahan media. Sebagai contoh pada pemilihan preseden 2014 lalu bisa diliat pada dua stasiun televisi berita terbesar di Indonesia yaitu Metro TV dan TV One.Â
Metro TV yang dimiliki oleh politisi Surya Paloh secara terang-terangan menjadi media yang mengkampanyekan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sedangkan Tv One yang dimiliki oleh politisi Aburizal Bakrie menunjukan keberpihakannya kepada pasangan Prabowo-Hatta. Media framing yang dilakukan oleh kedua media tersebut membentuk opini politik tertentu di dalam masyarakat sebagai calon pemilih.Â
Durasi, jumlah frekuensi serta kecenderungan obyek pemberitaan dapat menjadi alat propaganda yang digunakan kandidat untuk memperoleh dukungan. Hal ini sudah sangat melenceng dari peranannya sebagai media informasi dan sebagai pengontrol sosial.
Hal ini menjadi permasalahan, pasalnya media massa yang digunakan untuk kepentingan politik tidak menyajikan wawasan mengenai dunia politik kepada masyarakat, tetapi cenderung menampilkan aktor politik atau kandidat yang akan diusung dan didukung oleh partai politik pemilik media massa tersebut. Melalui sebuah media yang bersifat massal seperti televisi atau koran lah mereka mentransmisikan pesan politiknya, agar segala program kerjanya terlihat dan citra baiknya pun terbentuk dalam pikiran khalayak. Media secara tidak langsung mempengaruhi keputusan politik masyarakat dengan memberikan referensi melalui berita-berita yang disiarkan.
Media dalam kehidupan politik sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi selain eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Namun dalam kasus political bias ini, akan terjadi penyempitan dalam ruang publik di masyarakat. Media yang idealnya adalah ruang publik, dimana masyarakat dapat bebas menyampaikan aspirasi, kritik, dan informasi tanpa membedakan stratifikasi sosial serta tidak memihak kepada salah satu golongan saja (Harbermas, 1989), hanya akan dikuasai oleh para elit-elit politik yang mempunyai kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan.
Faktor kekuasaan dibalik sebuah media itu lah yang justru memperkeruh demokrasi di Indonesia, hal tersebut dilandasi mengapa media saat ini tidak bisa bersifat objektif. Ternyata, berbagai kepentingan terhadap ideologi massa ini yang menjadi penyebabnya, yakni kepentingan ekonomi (keuntungan) serta kepentingan politik (kekuasaan) biang semua ini. Dalam konteks permasalahn ini, seharusnya media dapat dimanfaatkan dalam menjalankan fungsi dan tujuannya, yaitu agen resolusi konflik. Pada akhirnya media massa tidak ada bedanya seperti sebelum era reformasi, hanya dijadikan sebagai sebuah alat propaganda untuk menyeruakan kepentingan pemilik media massa dan bernafsu menghabisi lawan-lawan politiknya dengan berbagai tayangan menarik mengenai kinerja politiknya.
REFERENSI
Harbermas, J. (1989). The Structural Transformation of The Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeouis Society.
Mahpuddin. (2009). Ideologi Media Massa Dan Pengembangan Civil Society. Jurnal Academica Untad; 2(1), hlm.3-10. Availabe from: http://download.portalgaruda.org.article.php.
McQuail, Dennis. 1987. Communication Theory: An Introduction. London: SagePublication.
Rivers, William L. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Yogyakarta: Prenada Media.