Mohon tunggu...
Ni Putu Natasia Putri Ari P
Ni Putu Natasia Putri Ari P Mohon Tunggu... Mahasiswa Undiksha

S1 Pendidikan Biologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Hindu, Menjadi Harmonis: Spiritualitas yang Membumi

14 September 2025   12:45 Diperbarui: 14 September 2025   12:28 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan 

Menjadi umat Hindu adalah sebuah kebanggaan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata sederhana. Kebanggaan ini lahir dari perpaduan antara tradisi, spiritualitas, dan kearifan yang terus hidup dalam setiap detik perjalanan umatnya. Hindu bukan hanya agama yang dipahami secara intelektual atau diwujudkan dalam bentuk ritual semata, tetapi sebuah jalan hidup (Way of life) yang menuntun manusia untuk menjalani kehidupan dengan kesadaran, keseimbangan, dan pengabdian. Sejak kecil, nuansa spiritual Hindu sudah menyatu dengan kehidupanku sehari-hari. Bau harum dupa saat sembahyang pagi, suara kidung yang lembut di pura, hingga pemandangan penjor yang menghiasi jalan ketika Galungan tiba—semua itu menanamkan makna bahwa hidup bukanlah sekadar rutinitas, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang harus dijalani dengan penuh cinta dan tanggung jawab.

Ajaran Hindu mengajarkanku untuk melihat bahwa setiap tindakan bisa bernilai spiritual. Menyapu halaman bukan sekadar pekerjaan rumah, melainkan yadnya bagi lingkungan. Belajar tekun bukan hanya kewajiban siswa, tetapi bentuk bakti kepada guru dan orang tua. Membantu tetangga bukan sekadar sopan santun, melainkan wujud nyata dari Dharma. Dari kesadaran ini aku menemukan spiritualitas yang membumi, yang tidak menjauhkan manusia dari kenyataan, melainkan menuntun untuk menghadapi hidup dengan bijaksana. Esai ini adalah refleksiku tentang kebanggaan menjadi Hindu, bagaimana ajaran ini membentuk jati diriku, serta bagaimana spiritualitasnya membumi dan menuntunku menuju harmoni.

Hindu sebagai Jalan Hidup yang Harmonis 

Salah satu hal yang paling membuatku bangga menjadi Hindu adalah ajarannya yang menekankan keseimbangan hidup. Hindu tidak menempatkan kehidupan spiritual dan kehidupan duniawi sebagai dua hal yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang tercermin dalam konsep Tri Hita Karana: menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam semesta (Palemahan). Konsep ini bukan sekadar teori yang indah, melainkan prinsip yang terus mengingatkanku dalam kehidupan sehari-hari.

Refleksiku sederhana: ketika aku lupa menjaga kesehatan tubuh karena terlalu sibuk belajar, aku sadar ada ketidakharmonisan dengan diriku sendiri. Ketika aku berbuat egois terhadap teman atau keluarga, aku sadar bahwa hubungan dengan sesama terganggu. Dan ketika aku membuang sampah sembarangan, aku merasakan rasa bersalah karena tidak menjaga harmoni dengan alam. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan.

Hindu membuatku memahami bahwa sukses sejati bukan hanya soal nilai tinggi, jabatan, atau materi, tetapi tentang seberapa selaras aku hidup dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Tuhan. Kehidupan harmonis ini bukan berarti tanpa masalah, tetapi mengajarkan bahwa setiap persoalan bisa diselesaikan dengan bijaksana selama kita berpijak pada Dharma. Inilah alasan mengapa aku merasa spiritualitas Hindu benar-benar membumi: ia memberi arah praktis untuk menjalani hidup sehari-hari tanpa kehilangan makna spiritualnya.

 

Kebanggaan dalam Warisan Budaya dan Tradisi 

Tradisi Hindu adalah salah satu hal yang selalu membuatku merasa bangga. Setiap upacara, setiap simbol, dan setiap prosesi menyimpan makna yang dalam, yang tidak hanya menghubungkan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama dan alam. Saat perayaan Galungan dan Kuningan, misalnya, aku selalu terpesona oleh keindahan penjor yang berdiri anggun di depan rumah-rumah. Penjor bukan sekadar hiasan, melainkan lambang alam semesta: bambu melambangkan gunung, janur melambangkan perjalanan hidup, dan hiasan lainnya menggambarkan hasil bumi sebagai persembahan rasa syukur. Dari penjor aku belajar filosofi hidup: manusia harus kuat seperti bambu, tetapi juga lentur, mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan akar.

Tradisi ngayah juga memberikan pengalaman spiritual mendalam bagiku. Dalam ngayah, aku bersama umat lain menyiapkan banten, membersihkan pura, atau membantu persiapan upacara tanpa pamrih. Kebersamaan ini membuatku merasa bahwa umat Hindu adalah keluarga besar. Tidak ada imbalan materi, tetapi ada kepuasan batin yang tidak ternilai: rasa ikhlas karena bisa memberi.

Selain itu, tradisi Hindu juga sangat memperhatikan keseimbangan alam. Upacara tumpek uduh, misalnya, mengajarkanku untuk menghormati pohon dan tumbuhan, sebagai pengingat bahwa alam bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan sahabat yang memberi kehidupan. Seni, tari, gamelan, hingga arsitektur pura pun sarat makna spiritual, bukan sekadar hiburan. Warisan budaya ini membuatku bangga karena ia bukan beban, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Spiritualitas Hindu yang Membumi 

Hindu mengajarkanku bahwa spiritualitas tidak hanya berada di pura atau kitab suci, melainkan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu ajaran yang paling membekas adalah tat tvam asi—“aku adalah engkau, engkau adalah aku.” Prinsip ini sederhana, tetapi sangat dalam. Ketika aku berinteraksi dengan orang lain, aku selalu berusaha mengingat bahwa mereka adalah cerminan diriku. Jika aku menyakiti orang lain, sejatinya aku sedang menyakiti diriku sendiri. Refleksi ini menuntunku untuk lebih sabar, lebih empatik, dan lebih mampu berdamai dalam konflik.

Selain tat tvam asi, ajaran ahimsa atau tanpa kekerasan juga sangat relevan. Ahimsa tidak hanya berarti tidak melukai secara fisik, tetapi juga tidak menyakiti dengan kata-kata, pikiran, atau tindakan. Dalam era modern yang penuh kompetisi, orang sering menghalalkan cara demi tujuan. Namun Hindu mengingatkanku bahwa tujuan mulia harus dicapai dengan cara mulia pula.

Spiritualitas Hindu membumi karena ia tidak menjauhkan manusia dari realitas, melainkan menuntun untuk menjalaninya dengan bijaksana. Setiap senyum tulus, setiap tindakan kecil membantu orang lain, atau setiap langkah menjaga lingkungan, semuanya bisa menjadi doa yang hidup. Inilah yang membuatku merasa bahwa menjadi Hindu adalah anugerah luar biasa: aku bisa menemukan Tuhan tidak hanya di altar, tetapi juga dalam setiap pengalaman sehari-hari.

Relevansi Ajaran Hindu di Era Modern 

Dunia modern bergerak sangat cepat. Globalisasi, teknologi, dan digitalisasi menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Banyak orang merasa terjebak dalam stres, kehilangan arah, atau terasing dalam dunia yang serba instan. Dalam situasi ini, aku menemukan bahwa ajaran Hindu tetap relevan bahkan semakin dibutuhkan.

Praktik yoga dan meditasi, misalnya, kini dikenal luas di seluruh dunia. Namun bagi seorang Hindu, yoga bukan sekadar olahraga, melainkan jalan spiritual untuk menyatukan tubuh, pikiran, dan jiwa. Saat aku berlatih meditasi, menarik napas dalam-dalam, dan menenangkan pikiranku, aku merasa dekat dengan Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus lebih mengenal diriku sendiri. Di tengah hiruk pikuk dunia digital, meditasi menjadi ruang hening yang menenangkan, tempat aku bisa kembali menemukan keseimbangan.

Selain itu, ajaran karma phala—hukum sebab-akibat—memberiku kesadaran untuk berhati-hati dalam bertindak, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Aku belajar bahwa kebebasan berekspresi harus selalu disertai tanggung jawab. Apa yang aku tulis, aku ucapkan, atau aku lakukan akan kembali padaku dalam bentuk yang setimpal. Kesadaran ini membuatku lebih bijak, lebih tenang, dan lebih bertanggung jawab dalam menghadapi dunia modern.

Dengan begitu, Hindu tidak pernah terasa kuno atau usang. Justru ia seperti cahaya yang menuntun, memberikan keseimbangan di tengah derasnya arus modernisasi.

Bangga Menjadi Hindu dalam Konteks Kebangsaan 

Menjadi umat Hindu di Indonesia memiliki makna khusus. Hindu mungkin bukan agama mayoritas, tetapi keberadaannya memberi warna yang penting dalam mosaik kebangsaan. Bagiku, ini adalah sebuah kebanggaan sekaligus tanggung jawab.

Ajaran Hindu yang menjunjung tinggi toleransi sangat sejalan dengan semangat kebinekaan bangsa Indonesia. Konsep Vasudhaiva Kutumbakam—“seluruh dunia adalah satu keluarga”—membuatku menyadari bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekayaan. Aku bangga karena agamaku mengajarkan untuk menghormati keyakinan lain, bukan hanya demi kerukunan, tetapi sebagai bagian dari Dharma itu sendiri.

Dalam pengalaman pribadiku, aku sering berinteraksi dengan teman-teman dari latar belakang agama berbeda. Kami saling bertukar cerita, berbagi pengalaman, dan belajar menghormati. Aku tidak merasa agamaku melemah, justru semakin kuat karena aku tahu Hindu menegaskan pentingnya toleransi. Aku belajar bahwa keberagamaan bukan hanya tentang ibadah kepada Tuhan, tetapi juga bagaimana kita hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk.

Sebagai umat Hindu, aku merasa punya tanggung jawab moral untuk ikut menjaga persaudaraan dan perdamaian. Aku ingin menunjukkan bahwa meski jumlah kami kecil, kontribusi kami besar dalam memperkokoh persatuan bangsa. Inilah kebanggaan yang membuatku semakin mantap menjadi Hindu di tanah air tercinta.

Refleksi Pribadi: Menemukan Diri dalam Dharma 

Dalam perjalanan hidup, aku sering menemui masa-masa sulit: kegagalan dalam studi, kekecewaan dalam hubungan, atau rasa lelah menghadapi tuntutan hidup. Namun, ajaran Hindu selalu menjadi penuntunku untuk bangkit. Salah satu prinsip yang menguatkanku adalah karma yoga—bekerja dengan sepenuh hati tanpa terikat pada hasil.

Aku pernah mengalami kegagalan dalam lomba yang sudah kusiapkan dengan penuh semangat. Awalnya aku merasa sangat kecewa. Namun ketika aku merenung, aku teringat bahwa yang penting bukanlah hasil, melainkan proses. Aku sudah berusaha sebaik mungkin, dan itulah bentuk yadnyaku. Dari pengalaman itu aku belajar arti ikhlas, sabar, dan pantang menyerah.

Refleksi lain yang sangat berarti bagiku adalah kesadaran bahwa hidup ini adalah kesempatan untuk melayani. Setiap hari aku bertanya pada diriku: apa yang bisa kulakukan hari ini untuk berguna bagi orang lain? Kadang jawabannya sederhana—seperti membantu orang tua di rumah atau menemani teman yang sedang sedih. Namun, di situlah aku merasakan kedalaman spiritualitas Hindu: hidup menjadi ladang yadnya yang terus-menerus.

Menjadi Hindu membuatku menemukan jati diriku. Aku bukan sekadar individu yang mengejar kesuksesan pribadi, tetapi bagian dari harmoni yang lebih luas. Dari sana aku belajar bahwa hidup dalam Dharma adalah jalan menuju kebahagiaan sejati.

Kesimpulan 

Pada akhirnya, refleksiku mengantarkanku pada satu pemahaman: menjadi Hindu adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Ajaran, tradisi, dan spiritualitas Hindu tidak hanya memberiku identitas, tetapi juga arah hidup. Aku belajar bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, bisa bernilai suci jika dilakukan dengan kesadaran dan ketulusan.

Hindu mengajarkanku untuk hidup harmonis—dengan Tuhan, dengan sesama, dengan alam, dan dengan diriku sendiri. Spiritualitasnya membumi karena ia hadir bukan hanya di pura, melainkan juga dalam keseharian: dalam senyuman, dalam kerja keras, dalam kepedulian, dan dalam sikap ikhlas. Inilah yang membuatku bangga, karena agamaku tidak hanya membicarakan akhirat, tetapi juga bagaimana aku harus hidup di dunia dengan benar.

Aku juga bangga karena Hindu sejalan dengan semangat kebinekaan bangsa. Ia meneguhkan bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan kelemahan. Sebagai umat Hindu, aku merasa terpanggil untuk menjaga harmoni itu.

Akhirnya, kebanggaanku menjadi Hindu bukanlah sekadar kebanggaan emosional, melainkan sebuah komitmen untuk hidup sesuai dharma. Menjadi Hindu berarti menjadi manusia seutuhnya: mencintai, memberi, menjaga, dan mengabdi. Inilah spiritualitas yang membumi, dan inilah harmoni yang ingin terus kujalani sepanjang hidupku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun