Tulisan ini saya tulis atas nama perubahan diri. Perubahan diri yang terus bergejolak sebagai anak muda. Anak muda itu selalu menaruh api dalam kehidupannya. Terbakar-bakar adalah jiwa semangatnya.
Sepenggal cerita ini, kuuraikan dengan bahasa yang mudah dipahami, agar pembaca tak menerka-nerka apa maknanya.
Saya mulai begini,
Hidup pada hakikatnya membutuhkan nyali yang berani. Jika kita belajar dari para mujaddid (pembaharu) zaman keemasan dalam setiap peradaban, khususnya peradaban Islam. Mereka adalah manusia teguh pada kebaikan, berlemah-lembut pada nilai-nilai universal, dan memerangi kebatilan.
Airmata ini tumpah-ruah dijalanan, ketika melihat bunga-bunga yang sesungguhnya telah  dipelihara beratus-ratus abad, terbengkalai dan tak terurus. Disini saya bertanya, siapakah yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurusinya.
Namun, itu tak menjadikan kita terus bertapa dengan ketidakmampuan, lalu menangis sejadi-jadinya, bahwa hidup ini berakhir sudah. Lalu mengambil jalan pintas, keluar dari hiruk-pikuk yang terjadi.
Ah, itu presepsi ganda. Setuju dan tidak. Kenikmatan hidup akan terasa berasa jika manusia terus diuji dengan segala ujian. Perumpamaan sederhana, semakin tinggi pohon, maka pukulan angin akan semakin kuat. Pukulan itu kadang bisa membisukan, menulikan, menerkam.
Ah. Biasa saja. Sebab totalitas itu tak mengenal kata menyerah. Ini totalitasku. Totalitas kita, seperti yang digemborkan oleh Rendra, 2001:16: " pada diri setiap manusia terkandung daya hidup dan daya mati. Sejak remaja saya sudah memilih untuk mengelola daya hidup di dalam pribadi dan di dalam kebudayaan umat manusia. Sedangkan sikap saya kepada daya mati, biarlah saya terima sebagai kewajaran di dalam alam, tetapi tidak usah dibudayakan."
Maka dibutuhkan kayakinan iman yang mendalam. Sebab, betapa pun kuatnya kita dalam kehidupan, kadang-kadang pada momen-momen tertentu, keadaannya sangat rapuh. Agar kerapuhan tiada menjangkiti, virusilah dengan sajak Chairil Anwar:
Aku
Kalau sampai waktuku
'ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau