Beda pendapat sesama pengurus/pengelola bank sampah seharusnya tidak terjadi. Karena ini menunjukkan tidak seragamnya pemahaman tentang bank sampah. Bank sampah sosial menilai bank sampah bisnis sebenarnya bukan bank sampah, melainkan pengepul/perosok/pelapak yang menamakan diri sebagai bank sampah. Mereka murni berbisnis, maka sudah sewajarnya mereka hidup mandiri tanpa bantuan pemerintah atau lainnya.
Sementara bank sampah bisnis menilai bank sampah sosial hanyalah kelompok main-main yang hanya mengikuti trend bikin bank sampah dengan target lain bisa dapat bantuan dari pemerintah atau swasta. Maka tak heran bank sampah sosial lemah, tidak tahan banting, dan sering merengek minta bantuan agar tetap hidup. Mereka tidak bisa mandiri dan mati tanpa bantuan.
Dari perbedaan tersebut, bisa dilihat ada konflik horisontal antar sesama pengurus/pengelola bank sampah. Itu jelas dan nyata.
Bagaimana Bank Sampah yang Benar?
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah, bank sampah didefinisikan sebagai tempat pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai ekonomi.
Definisi tentang bank sampah kemudian berubah. Permen LH Nomor 13 Tahun 2012 dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah pada Bank Sampah. Pada peraturan ini bank sampah didefinisikan sebagai fasilitas untuk mengelola Sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle), sebagai sarana edukasi, perubahan perilaku dalam pengelolaan sampah, dan pelaksanaan Ekonomi Sirkular, yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat, badan usaha, dan/atau pemerintah daerah.
Bukannya makin jelas, definisi bank sampah kian rancu pada peraturan menteri yang baru itu. Satu sisi dijadikan instrumen edukasi dan di sisi lain dijadikan pebisnis murni. Dan bukan hanya itu kerancuan yang ada di Permen LHK Nomor 14 Tahun 2021 itu. Banyak lagi kerancuan di dalam permen ini pasal demi pasal jika ditelaah dan dipelajari.
Secara explisit dua peraturan mengenai bank sampah sama membingungkannya. Maka tak heran jika ada konflik horisontal di kalangan pelaku bank sampah. Karena memang tidak ada yang baku menyebutkan bank sampah harus berperan sebagai apa dengan nyata dan jelas. Akhirnya tiap kepala mengambil dan membuat kesimpulan sendiri.
Tapi yang jelas dan nyata, fungsi yang bertolak belakang (sosial dan bisnis) tidak bisa dijadikan satu pada bank sampah. Hasil dari penyatuan dua fungsi berbeda itu telah terbukti.Â
Jika ada 300 bank sampah, paling-paling hanya 10 bank sampah saja yang benar-benar aktif dan bertahan. Itu pun karena mendapat bantuan dari pemerintah atau swasta. Kalau tidak dapat bantuan atau ada bisa dipastikan bank sampah mati pelan-pelan.
Melihat kondisi yang membingungkan itu, bank sampah sebaiknya keluar dari kebimbangan. Yaitu, dengan memproklamirkan diri sebagai lembaga sosial budaya. Lembaga yang fokus dan konsisten mendorong perubahan paradigma, perilaku, dan kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah.Â