Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jangan Biarkan Kementerian LHK "Sendirian" Urus Sampah

4 Desember 2021   21:53 Diperbarui: 6 Desember 2021   09:31 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sistem dan infrastruktur banyak tak berfungsi semestinya karena minim kolaborasi kerja kenterian dan lembaga pemerintah. (Dok. Pribadi)

Di dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, hampir semua kementerian dan lembaga dilibatkan. 

Karena, sampah bukan lagi hanya masalah yang menjadi domain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) saja. Maka Kementerian LHK tak jangan dibiarkan bekerja sendirian mengurus sampah di Indonesia.

Berdasarkan Perpres tersebut tugas pokok dan fungsi mestinya dapat dipetakan sebagai berikut:

Kementerian LHK

Mestinya menjadi kementerian yang bertugas dan berfungsi sebagai kontrol. Dengan mengolaborasi seluruh kementerian yang disebut dalam lampiran Perpres untuk mencapai tujuan pengurangan sampah yang signifikan. 

Jika target Indonesia bersih memang nyata hendak dicapai pada 2025 mendatang, maka mestinya dalam urusan persampahan rencana strategisnya sudah ada berbentuk rencana induk. Kementerian LHK memang leading sektor dalam masalah sampah, tapi kementerian ini pasti gagal jika bekerja sendiri.

Sejauh ini Kementerian LHK memang tampak bekerja dan sibuk sendiri dengan hal-hal yang seharusnya menjadi domain Kementerian lainnya. Entah karena minimnya kehendak kolaborasi, keengganan berbagi peran, tidak mau berbagi "kue" atau karena khawatir "ketahuan" sesuatu yang tidak boleh diketahui sesuatu itu oleh kementerian lainnya atau karena ewuh pakewuh antar kementerian. 

Pembagian peran-peran lain dalam pengelolaan sampah tidak terdistribusi dengan baik pada kementerian yang harusnya terlibat.

Lihatlah bagaimana Kementerian LHK sibuk dengan program bank sampahnya. Yang di dalamnya ada edukasi - sosialisasi, penanganan, pengolahan, dan ekonomi sampah yang mestinya menjadi domain sejumlah kementerian sesuai bidangnya. 

Lihatlah juga bagaimana Kementerian LHK sibuk dengan Peta Jalan pengurangan sampah oleh produsen yang mestinya menjadi domain Kementerian perindustrian untuk melakukan pendekatan pada para pengusaha.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud)

Masalah sampah di Indonesia erat kaitannya dengan pendidikan dan kebudayaan. Sistem pengelolaan sampah harus masuk ke ruang-ruang pendidikan dan praktik kebudayaan. Pendidikan pengelolaan sampah akan sangat bermanfaat untuk menciptakan budaya pengelolaan sampah. 

Mau tidak mau harus dimulai dari dasar. Maka dorongan Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) untuk membuat kurikulum di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi sangat beralasan. 

Kementerian Dikbud mestinya menyambut inisiatif tersebut untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan sampah yang selanjutnya akan menjadi budaya di Indonesia. 

Bersamaan dengan edukasi dan pembangunan budaya, maka harus simultan pula dengan infrastrukturnya. Dilanjutkan dengan insentif pengelolaan sampahnya.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)

Jika mau jujur, target Kementerian LHK untuk mengurangi sampah masuk TPA agak bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Kementerian PUPR. 

Sementara Kementerian LHK mendorong masyarakat untuk mengelola sampahnya agar minim masuk ke TPA, Kementerian PUPR malah terus menerus memberikan pelatihan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas PUPR di daerah-daerah tentang bagaimana mengelola TPA. 

Ini seolah menjadi bukti bahwa Kementerian PUPR tidak pernah percaya Kementerian LHK bakal mampu membuat sampah tidak masuk TPA.

Mungkin saking gemesnya, Kementerian PUPR akhirnya ikut membuat program yang mirip-mirip dengan bank sampah secara ekonomis. 

Yaitu, menginisiasi program TPS 3R. Yang kenyataannya juga tidak mengurangi kuantitas sampah masuk TPA secara signifikan. Buktinya, secara nasional volume sampah pada 2018 sebanyak 66,5 juta ton, kemudian pada 2020 volume sampah malah naik menjadi 67,8 juta ton. 

Jumlah sampah yang tidak berkurang namun justru bertambah itu secara fakta menunjukkan dua program pengurangan sampah (bank sampah dan TPS 3R) harus dievaluasi, alih-alih tidak dinyatakan gagal. Supaya ke depan bisa dilaksanakan dengan lebih baik lagi untuk pengurangan sampah.

Mestinya dalam hal persampahan, Kementerian PUPR menjadi pihak penyedia infrastruktur yang riil untuk mencapai pengurangan sampah ke TPA sesuai rencana Kementerian LHK. Yaitu, infrastruktur untuk penanganan sampah agar tidak masuk TPA dan infrastruktur untuk sisa sampah yang terpaksa masuk TPA karena berstatus residu.

Kementerian Koperasi dan UKM

Berbicara sampah berarti berbicara "jutaan peluang" ekonomi yang bisa menjadi sumber kesejahteraan masyarakat. Ketika Kementerian LHK mempunyai target pengurangan dan pengelolaan sampah dan Kementerian PUPR menyediakan infrastrukturnya, maka timbullah nilai ekonomi dari sampah. Baik itu sampah organik dan anorganik.

Sudah lama kita tahu bahwa sampah sesungguhnya bernilai ekonomi. Namun, jika nilai ekonomi dikedepankan, maka kondisinya ya seperti sekarang ini. Sampah tidak berkurang, justru bertambah. 

Sebab, jika keekonomian sampah dikedepankan, maka secara proses pasti ada hambatannya. Sebagaimana bisnis, apabila sesuatu barang tidak menguntungkan, maka bisnis itu akan ditinggalkan. Begitu juga dengan sampah, jika nilai ekonomi yang dikedepankan.

Karena itu, edukasi dan penyadaran mengenai lingkungan agar pengelolaan sampah berjalan baik harus ada di depan. Setelah kesadaran mengelola sampah di setiap rumah tangga dan pribadi sudah ada, maka secara ekonomi sampah sudah bisa dieksekusi dengan metode bisnis. 

Saat sampah sudah bisa dikelola dengan metode bisnis, maka saat itulah Kementerian Koperasi dan UKM harus hadir. Supaya "jutaan peluang" ekonomi dari sampah bisa diakses oleh seluas-luasnya masyarakat Indonesia. 

Sampah tidak seperti bahan baku bisnis lainnya. Sampah sebagai bahan baku sangat terjamin keberlanjutannya. Yang penting tantangan pemilahan dan pengumpulan dapat dihadapi dengan sukses.

Syukurlah Kementerian Koperasi dan UKM sudah memprogram Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) meski belum digalakkan. Namun, PKPS akan menjadi wadah pengelolaan bisnis sampah yang berdasar gotong royong sebagaimana konsep sampah yang harus dikerjakan secara gotong royong pula.

Kementerian Perindustrian

Kehadiran Kementerian Perindustrian diperlukan setelah sampah dapat dikelola secara bisnis. Kementerian Perindustrian harus mengatur agar industri hulu mau menggunakan bahan baku daur ulang. Perusahaan atau industri yang menggunakan bahan baku daur ulang kemudian diberi insentif yang sesuai sebagai hadiah. 

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian juga harus mewajibkan semua industri bertanggung jawab pada produknya agar tidak berdampak buruk bagi lingkungan. Dan untuk itu perusahaan yang melakukannya harus juga diberi insentif.

Jangan seperti yang terjadi saat ini. Ketika Kementerian LHK membuat kampanye dan kebijakan pelarangan kantong plastik dan plastik sekali pakai (PSP). 

Hal itu tidak sejalan dengan Kementerian Perindustrian yang justru mendorong industri dan peningkatan konsumsi plastik di Indonesia hingga 50 kg per kapita. Sementara saat ini konsumsi plastik per kapita di Indonesia baru mencapai 9 kg saja berdasarkan laporan Minderoo Foundation.

Peta jalan pengurangan sampah oleh produsen mestinya juga menjadi domain Kementerian Perindustrian secara teknis. 

Karena secara langsung Kementerian Perindustrian-lah (bukan Kementerian LHK) yang dapat kontak langsung dengan perusahaan atau produsen produk dan tahu apa yang dibutuhkan mereka. 

Kementerian Perindustrian sekali lagi hanya perlu mewajibkan perusahaan bertanggung jawab pada seluruh siklus hidup produknya agar tidak merusak lingkungan. Kemudian memberikan insentif pada yang melaksanakannya, dan disinsentif pada yang melanggarnya.

Sementara saat ini, peta pengurangan sampah oleh produsen justru digaungkan dan dijalankan oleh Kementerian LHK yang notabene ompong tak punya taring untuk mendikte industri atau perusahaan.

Kementerian Pertanian

Sebenarnya Kementerian Pertanian tidak masuk dalam daftar kementerian di Prepres tersebut di atas. Padahal, Kementerian Pertanian sangat dibutuhkan hadir dalam upaya pengurangan dan pengelolaan sampah di Indonesia. Utamanya sampah organik.

Komposisi sampah Indonesia di antaranya 60 persen adalah sampah organik. Jika Kementerian Perindustrian sudah menjadi pihak yang hadir untuk mengelola sampah anorganik, maka Kementerian Pertanian mesti hadir untuk mengelola sampah organik.

Data Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukkan lahan pertanian di Indonesia pada 2020 seluas 10,66 juta hektare. Ini lahan yang luar biasa luas dan jelas membutuhkan pupuk kimia maupun pupuk organik. Di mana pupuk organik secara berkesinambungan bisa dipenuhi dengan mengolah sampah organik menjadi kompos. 

Volume 60 persen sampah organik dari 67,8 juta ton adalah 40,6 juta ton sampah organik. 

Jika semua sampah organik itu diproses menjadi kompos, maka per hektare lahan pertanian di Indonesia akan mendapat kompos sebanyak 3 ton. Volume yang melebihi anjuran kebutuhan kompos untuk lahan pertanian yang minimal 2 ton per hektare. 

Kementerian Pertanian harus hadir dalam pengelolaan sampah organik agar diolah menjadi produk yang berdaya guna dan ekonomis. Sampah organik yang menjadi bahan baku, lagi-lagi akan menjadi material yang terjamin ketersediaannya hingga tak ada lagi manusia di muka bumi.

Sebenarnya masih banyak kementerian dan lembaga yang dapat dibahas untuk "dituntut" kehadirannya secara nyata dalam persampahan Indonesia. Namun, enam kementerian yang dimuat dalam tulisan ini setidaknya akan menjawab dan jadi solusi yang relatif bisa dipercepat dengan dasar Perpres Nomor 97 Tahun 2017. (nra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun