Mohon tunggu...
Dara Ginanti
Dara Ginanti Mohon Tunggu... Jurnalis - Sampoerna University - The University of Arizona

A Beginner in Writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen "Mega-Mega Sagrada Familia" Cerita Dimana Tragedi, Drama, dan Manisnya Cinta Dirangkum Menjadi Satu

25 November 2017   11:19 Diperbarui: 2 Maret 2018   14:20 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.headout.com

"Kakekmu mati disalib di gereja itu! Dan ayahmu, dia menumpahkan darahnya ditembak mati di Sagrada karena disangka seorang teroris! Masih sudikah kamu menapakkan kaki ke sana?" air mata jatuh dari pelupuk mata ibu menandakan betapa beratnya rasa yang dia tahan, aku tidak pernah melihatnya semarah ini. Apakah aku sudah keterlaluan?

"Agama bukanlah suatu yang harus disalahkan sekarang ini, bu. Hanya karena dua anggota keluarga kita mati terbaring di sana, lalu inikah imbasnya untukku? Inikah alasan kenapa rumah kita ada di ujung kota? Inikah alasan kenapa ibu melepaskan katolik dan berganti agama menjadi hindu?" wajahku semakin memerah. "Hindu adalah agama suci yang tidak sepantasnya kau jadikan pelarian atas kekecewaanmu pada katolik. Dan ini tidak adil bagiku jika kau membatasi rasa sukaku kepada Sagrada Familia!"

"Licha! Beraninya kau berkata begitu." Mata itu merah seperti saga, tidak ada lagi kata keluar dari mulutnya. Amarah itu memuncak. "Sudah cukup, ibu. Mulai sekarang jangan batasi aku lagi, aku sudah dewasa." kaki ini meninggalkan rumah dengan membanting pintu, air mata pun ikut jatuh seiring dengan suara pintu yang menggelegar. Sosok seorang ibu yang biasanya ramah kepada badan ini tertinggal di dalam rumah tepat di depan perapian dengan air matanya yang membasahin lantai diantara lemon - lemon yang bertebaran.

Aku terus terisak, lagi - lagi menjalankan kaki tanpa tujuan yang jelas di kota Barselona yang luas. Gerimis hujan turun menemani ketika kaki baru beberapa meter melangkah ke pusat kota dan aku yang sudah terlalu kecewa ini memutuskan untuk mengetuk sebuah pintu rumah seorang teman Turki dengan ketenangan yang sangat dirindu. Wanita itu keluar dari rumahnya, Aysa dengan hijab khas yang selalu setia dipakai.

Air mata semakin tak bisa dibendung ketika aku melihat sosoknya. Pelukan itu jatuh hangat kepadanya dengan segala isak yang selama dijalan sudah tertahan. Dia mengajakku masuk ke rumahnya dan menyuguhkan secangkir hangat teh untuk hari yang dingin ini. Lalu dia mulai bertanya. "Ada apa denganmu, cha?"

Aku terus menatap mata teduh Aysa. "Hari ini aku masuk ke Sagrada untuk pertama kalinya, tempat yang kukagumi sejak dulu, yang hanya dapat ku tatap dari jendela."

"Kau melakukannya? Bukankah ibumu menyuruhmu untuk tidak masuk ke sana?" Aysa sepertinya mulai khawatir. Mulut ini menceritakan segala yang telah terjadi tanpa ragu dan dengan kepercayaan tinggi. Gadis Turki itu masih mendengarkan dengan saksama apa yang disampaikan, sampai akhirnya diri tidak kuat lagi berbicara dan hanya bisa terisak. Hujan kian deras menemani setiap percakapan kami, suara radio tua memecah suara tangis sampai mata ini lelah dan membengkak. Kedua mata itu menguncup dan mulai terlelap tidur seiring dengan bintang yang berkerlap di langit hitam.

"Belajarlah untuk mempercayai, Lachica." Aysa menutup kitab sehabis subuh masih mengenakan jubah putih ibadahnya. Gadis itu selalu bangun pagi setiap hari sebelum matahari terbit untuk melakukan ibadah. Aku terduduk bersandar di sofa panjang berselimutkan kain wol hangat nan tebal milik Aysa dengan mata tak lepas menatap Sagrada Familia dari jendela. Apa benar ayah dan kakek menumpahkan darahnya di tempat seindah itu? Dan apakah aku dan ibu selama ini tinggal di ujung kota karena pengasingan?

"Kuliah filosofi itu memang berat ya, cha. Kita harus menguatkan diri dengan iman sendiri untuk mempelajari hakikat segala sesuatu dengan logika. Aku tau kamu pandai, sama halnya seperti filosofi, kamu selalu mencoba mencari jawaban pertanyaan 'mengapa' atas segala sesuatu, tapi sayangnya tidak semua hal dapat dijelaskan dengan logika. Disitulah Tuhan menunjukkan kuasanya, dimana akal manusia tidak bisa mencapai. Dan kamu belum mempercayai itu sampai sekarang." Aysa berbicara dengan senyum manis di bibirnya.

"Selama dua tahun ini aku mempelajari filosofi untuk mencari hakikat kebenaran mengenai segala sesuatu, tapi semakin aku mempelajarinya semakin hatiku tak bisa menerimanya. Aku tidak suka cara ibu berpikir, cara dia menyimpulkan segala hal secara instan, dan caranya mempermainkan agama manusia seenaknya. Namun di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang salah dengan hati ini. Kejanggalan karena telah berkata begitu kepada ibu." suara sirine polisi melintas memecah keheningan jalanan pagi nan dingin, Aysa duduk di sebelahku ikut menatap ke arah Sagrada Familia yang lampunya masih menyala. Aku menghela napas perlahan.

Dering telepon genggam berbunyi membuat perhatian kedua insan ini beralih. Aku bergegas berdiri dan mengambil telepon di atas meja yang sedari kemarin menganggur. Layar telepon itu menunjukkan nama 'mama' yang tengah memanggil. Wajah ini menengok ke arah Aysa, dan perlahan tangan ini mulai menjawab panggilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun