Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ghosting

24 April 2021   06:56 Diperbarui: 24 April 2021   07:00 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku termenung di dekat dermaga senja itu sambil memeluk backpack. Senja memerah mewarnai langit dan air laut yang tampak berpendar-pendar. Aku sedang ingin berlama-lama di sini menikmati suasana sambil menata hati dan emosi.

Aku sedang ingin menikmati alam semesta yang tampak indah senja ini. Matahari, bumi, bulan, dan bintang, semua tampak serba teratur seperti roda mesin yang serba rumit namun tetap berputar secara teratur pula. Hmm...andaikan sejak dulu aku menyadarinya.

Hatiku tengah hampa. Meskipun aku menolak dianggap sedang bersedih, namun kenyataannya yang kurasakan lebih dari kesedihan. Hatiku sangat pedih, perih, luka, marah, kecewa. Semuanya teraduk menjadi satu. Aku seolah berjalan melayang tanpa kaki, tanpa kepala, bahkan seolah tanpa berpikir. Yang terasakan hanyalah, tahu-tahu langkah kakiku sudah sampai di dermaga ini. Begitu ringan seolah tanpa jiwa karena menahan air mata yang ingin bertumpah tapi kutahan. Mengapa? Karena aku lelaki.

Betulkah nasib manusia juga seperti roda mesin yang berputar? Aku merasakan hal itu saat ini. Rasanya baru kemarin hidupku dikelilingi wanita-wanita yang termakan rayuanku. Sesungguhnya aku pendiam, sehingga untuk memancing mereka, aku harus menggunakan mereka satu sama lain sebagai pancingan, misalnya ketika ingin mendekati Ema, aku harus menceritakan betapa Mirna tidak mau kuputus padahal ia sudah menyakitiku. Dengan cara demikian, si Ema pun mau saja kuajak bermain tik tok berpose mesra lalu mengunggahnya ke media sosial dengan dalih untuk memanasi Mirna yang tidak mau putus denganku.

Demikian pula ketika aku mendekati Nadia. Aku pun mengatakan bahwa Ema tengah memburuku padahal aku tidak menyukainya. Nadia yang iba mendengar nasibku, lalu menuruti saja ajakanku bermain tiktok dalam pose mesra lalu mengunggahnya ke media sosial. Semakin mereka sakit hati, semakin puaslah hatiku.

"Caramu itu tidak keren, Bro,"ujar seorang teman melihatku berganti-ganti sekian perempuan di media sosial.

"Lihatkah media sosialku maupun wanita-wanita kenalanku. Tak satu pun yang mengunggah kebersamaan kami kan? Itu karena aku bersikap tak acuh dan tidak pernah memamerkan kebersamaan dengan para wanita. Hasilnya, mereka penasaran kan? Mereka hanya penasaran, sehingga kedekatan kami pun hanya sebatas itu. Bandingkan dengan para wanita yang dekat denganmu. Mereka berharap pernikahan, bukan? Hasilnya, Kamu dikejar-kejar tanggung jawab, padahal kamu hanya iseng."

Saran tersebut benar juga. Akan tetapi, saran tersebut memasuki telinga kiri kemudian keluar melewati telinga kanan. Mengapa? Bukankah aku membutuhkan mereka untuk melewati hari-hari sepiku? Jika bosan dan ingin menghindar, apa sulitnya menghindar dari mereka? Aku menghindar lalu menghilang. Habis perkara!

Lalu, apakah aku tidak ingin menikah? Tentu saja aku ingin menikah, tapi kelak jika aku sudah merasa mapan. Aku toh masih muda, masa depanku masih panjang. Demi masa depan yang masih panjang, apa salahnya aku melewatkan hari-hari sepiku dengan para perempuan yang mengejar-ngejarku? Sesuatu yang bukan mustahil bagiku. Wajahku tampan. Postur tubuhku pun seperti peragawan. Maka, mengabaikan anugerah dengan cara bersikap beku terhadap para pemburu, bagiku merupakan keputusan yang teramat sangat keliru.

Akhirnya, dengan keuletanku berjuang, aku pun merasakan kemapanan beberapa tahun kemudian. Ada rumah mewah dan mobil mewah juga tentunya. Semua itu masih ditambah dengan posisiku yang cukup lumayan di tempatku bekerja. Maka, wanita bagaimanakah yang tidak dapat kutaklukkan?

Aku beruntung. Semua itu karena kemampuan logikaku dalam berpikir cermat penuh perhitungan dan semua tidak ada yang meleset. Sejak masih muda, masih mahasiswa, aku sudah memprogram angan untuk meraih sukses umur sekian, menikah umur sekian, sedangkan waktu menuju kesuksesan lalu berlanjut menuju pernikahan, tidak seharusnya ada masa jeda yang berkaitan dengan perempuan. Toh, umumnya mereka akan terpesona dengan potensiku ke depan. Singkat cerita, seharusnya aku mengisi waktuku untuk memacari sekian banyak perempuan, lalu menghilang jika saatnya tiba aku harus menjatuhkan hati kepada seorang wanita yang layak kunikahi.

Anganku terkabul sepenuhnya. Setelah mengunci hati dan telinga dari sumpah serapah beberapa perempuan yang merasa kughosting, dengan segala kemewahan yang kumiliki, aku pun berkenalan dengan seseorang yang layak untuk kupamerkan. Seorang gadis muda, jelita, dan model terkenal di media massa. Oh, indahnya. Hatiku pun riang dan berbunga-bunga, seriang para perempuan yang dulu kughosting setelah melakukan hal yang sama denganku yaitu memamerkan kebanggaannya memiliki diriku di media sosial.

Cintakah aku kepada isteriku? Hatiku sesungguhnya sudah hampa terhadap cinta sejak ketulusan cinta pertamaku disia-siakan. Sejak saat itulah, aku memprogram angan untuk mempermainkan sekian perempuan. Ulah yang tidak akan kuhentikan sebelum aku merasa sukses dan  mapan. Setelah itu,  aku akan menikahi perempuan belia secantik model yang layak kupamerkan untuk memanasi hati semua orang yang pernah meremehkanku.

Aku kembali menghela napas. Senja semakin menghilang berganti dengan malam yang turun perlahan tapi pasti untuk menyelimuti bumi. Aku masih belum beranjak dari dermaga. Dari kejauhan jika ada yang mengenalku, tentu mereka keheranan sedang apa aku di sini? Sendiri dan seolah menyepi? Di punggungku hanya terdapat sebuah backpack? Sedang bangkrutkah aku lalu siap berlayar menghilang menuju suatu tempat?

Sesungguhnya aku tidak sedang bangkrut. Aku justru sedang banyak uang. Tabunganku miliaran. Akan tetapi, jika pertanyaan beralih kepada apakah aku sedang ingin menghilang? Kujawab, ya, aku sedang ingin menghilang. Ulah yang sama dengan yang kulakukan saat sedang melakukan ghosting terhadap para perempuan korban rayuanku.

Sore tadi seharusnya aku berangkat bekerja karena ada shift malam. Entah urusan apa yang membuatku melupakan membawa gawai, padahal biasanya ia bak nyawa keduaku. Aku pun bergegas pulang untuk mengambilnya. Ada perasaan tidak nyaman ketika terlihat sepatu lelaki. Sepatu siapakah? Aku pun memasuki rumah yang terasakan sepi dengan cara mengendap-endap. Kedua anakku tadi terlihat bemain ayunan di taman perumahanku yang  elite ditemani pengasuhnya. Lalu, ke manakah isteriku?

Tebakanku sejitu program-programku. Keduanya terlihat tengah bermesraan. Mataku seolah mentransfer kepedihan hati perempuan-perempuan penggemarku dulu saat satu dua di antara korbanku memamerkan tik tok kemesraan kami di media sosial. Aku pun berlalu sebelum keduanya menyadari bahwa aku menyaksikan adegan mesra mereka di ranjangku.

Cemburukah? Kurasa tidak. Bukankah sejak cinta pertamaku melukai hatiku, di hatiku tidak ada lagi cinta? Meskipun tidak ada cinta, aku bisa menikmati kemesraan dengannya karena aku lelaki. Yang kurasakan saat menikahinya adalah kebanggaan menyesaki dada dapat memamerkan model muda belia yang cantik jelita. Kebanggaan menyesak seperti yang dirasakan para penggemarku saat bisa memamerkan kebersamaan kami ke media sosial.

Kini, kepedihan itu ibarat bola kasti yang menampari mukaku. Aku tidak sedih, tidak berduka. Lalu apa yang kurasakan? Malu! Aku benar-benar malu, bukan? Aku sangat malu terlebih andaikan ulah isteriku dengan selingkuhannya itu ketahuan teman-temanku. Tuhan....nama yang tidak pernah kusebut, akhirnya kusebut juga sambil menunggu angkutan datang menuju pelabuhan.

Akan ke manakah aku? Entahlah. ATM-ku isinya miliaran. Uang itu bisa kugunakan hidup lebih dari seratus tahun tanpa kekurangan. Kini, aku hanyalah ingin pergi jauh, sejauh-jauhnya dari suara-suara sumbang yang akan menerpa gendang telingaku akibat ulah isteriku yang mempermalukanku. Aku harus melakukan ghosting lagi. Entah ke mana aku tak tahu. Bagaimana dengan anak-anakku? Ah...itu urusan ibunya, karena ibunyalah yang lebih tahu siapa sesungguhnya bapak anak-anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun