Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cosmos dan Chaos

24 Oktober 2020   10:03 Diperbarui: 24 Oktober 2020   10:20 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari intisari.grid.id

Ratri masih termenung di tepi kolam pagi itu setelah melakukan jogging di tepi kolam renangnya, yang juga disediakan peralatan fitnes berwujud treadmill oleh suaminya. Keringat yang bercucuran segera lenyap tersapu angin yang seolah berlomba menghiasi pagi cerah itu.

Seekor capung terbang rendah kemudian mendarat di dedaunan taman bunga yang masih menyisakan bintik embun. Sinar matahari yang menerpa butiran embun menghasilkan aneka warna bagaikan butiran berlian. Ratri pun tidak melewatkan momen tersebut. Ia segera memotretnya selagi capung tersebut belum terbang.

Sejak kecil ia sangat menyukai capung yang dibayangkannya sebagai helikopter karena kemampuannya terbang ke segala arah, terbang mundur, serta melakukan berbagai manuver. 

Adakalanya capung tersebut pun terlihat terbang pada satu titik beberapa menit. Benar-benar mirip helikopter ditunjang dengan sayapnya yang transparan, ia seringkali gemas. Maka, seringkali dikejarnya capung-capung tersebut kemudian dipenggalnya sayapnya, dilepaskannya lagi sekadar untuk mengetahui bagaimana kemampuannya terbang setelah sayapnya terpenggal separo.

Ulah yang membuatnya dijewer ayahnya. Itulah kali pertama ayahnya menjewer telinganya karena dianggap telah menyiksa makhluk hidup. Ia pun tersenyum dan memperhatikan saja ulah capung seperti yang pernah dilihatnya sewaktu kecil. Si capung melakukan berbagai manuver, terbang mundur,kemudian terbang pada satu titik. Jika tidak dikejutkan Danang, hampir saja ia memburu capung tersebut menggunakan jaring ikan yang tergantung di dinding gazebo.

"Ulahmu selalu seperti anak-anak. Apa saja yang bergerak di bumi, selalu dilihat, dikomentari, dipotret, bahkan digambar, lalu ditulis. Ulahmu kedangkala membuatku kehilangan arah,"kata Danang sambil meraih jaring ikan yang tengah dipegang Ratri, kemudian duduk di sebelahnya, di bebatuan imitasi penghias taman yang bersebelahan dengan kolam.

"Kehilangan arah bagaimana?" tanya Ratri keheranan. Ia merasa Danang sengaja mencari-cari kesalahannya. Darahnya serasa tersirap.

"Gaya hidupmu membuatku merasa sia-sia bekerja keras dan  bergaji besar. Kamu tetap saja sederhana. Apa saja yang terlihat membuat matamu berbinar-binar penuh imajinasi. Mendung berarak dipotret katanya ada yang mirip Semarlah, mirip orang berjenggotlah. Capung dianggap mirip helikopter. Dikejar pula menggunakan jaring ikan. Kapan Kamu bisa melepaskan dunia kanak-kanakmu?"

Ratri mengamati sekilas ekspresi suaminya untuk merasakan kejujurannya. Apa yang terlintas di hatinya ketika memrotesnya? Siapakah yang tengah dibandingkan dengan dirinya?"

"Sia-sia mencari banyak uang. Apa maksudmu? Bukankah karakter itu dulu yang membuatmu tidak ragu menikahiku? Mengapa kini malah membuatmu berubah pikiran?"

Danang tidak segera menjawab, karena dirinya pun belum tahu arah ucapannya itu. Sekadar mencari-cari kesalahan Ratri untuk menyembunyikan perselingkuhananya dengan Wining? Ataukah sedang menimbang-nimbang antara memilih ratri dan Wining, karena Ratri pasti menceraikannya jika terbukti ia benar-benar berniat menikahi Wining.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun