Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dalam Selubung Kabut (5)

8 Juli 2020   09:34 Diperbarui: 8 Juli 2020   09:37 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku bukan pegawai seperti Kamu, tidak mudah meminjam uang ke bank," kilah kakaknya.

"Kurangi saja pengeluaran harianmu. Bayangkan. Rokokmu itu sudah menguras budgetmu sekitar tiga jutaan per bulan. Belum pola makanmu dan gaya ngumpul-ngumpulmu dengan komunitasmu...

"Ah...jika nggak mau meminjami, nggak usah ceramah," suara kakaknya agak membentak. Akan tetapi, ia selalu mati kutu tidak tega mengutarakan ingin meminjam uang jika adik iparnya berada di rumah. Bagaimanapun, ia sebagai kakak lelaki, sangat bersyukur adiknya memiliki suami yang sangat mencintai dan menghargai adik perempuannya itu.

"Aku pulang dulu. nggak nitip uang buat ibu?" begitu ucapnya sambil pamit pulang manakala mendapati adik iparnya pulang kerja dan tengah memasuki halaman rumah.

"Aku tadi lewat dan mampir. Rukun-rukunlah Kalian. Titip adikku yang cantik ini ya," ujarnya sambil menepuk bahu adik iparnya kemudian menyalaminya, sebelum motornya melaju membelah jalanan dengan kekencangan larinya.

"Tentu saja. Akan kujaga Tuan Putri ini sebaik-baiknya," terngiang kembali jawaban adik iparnya sambil menyambut uluran tangannya untuk bersalaman. Si Tuan Putri? Hm... aku dulu memanggilnya Peri kecil untuk adikku yang cantik itu. Kini suaminya malah memanggilnya Tuan Putri. Gumamnya berbalut senyum bahagia. 

Bagaimanapun, ia seringkali tidak tega tapi tak berdaya manakala adiknya juga mengeluh belum diberi uang pembayar SPP selama berbulan-bulan seperti dirinya. Akan tetapi, dalam memenuhi almari dengan baju, sepatu, dan tas, ibunya tidak pernah alpa, bahkan seolah sudah menjadi rutinitas berkala. Sebuah contoh pendidikan karakter yang tanpa sadar juga ditirunya dalam menjalani kehidupan bersama isterinya maupun teman-temannya.

Adakah hubungan antara kemarahan ibunya kepada ayahnya dengan kepelitannya dalam membayarkan SPP kedua anaknya? Akan tetapi, dugaan itu segera ditepisnya mengingat ibunya memang terbiasa melalaikan kewajiban dan lebih mengejar hak-haknya.

"Jika ingin sukses, berhematlah," terngiang kembali nasihat adiknya. Nasihat yang tak pernah merasuk ke dalam sanubarinya. Semua itu karena ketidaksanggupannya berpisah dengan gaya hidup mewahnya yang terkesan boros bagi ukuran pegawai seperti adiknya.

"Jika ibu juga tidak bisa berhemat, mengapa aku harus ikut berhemat seperti Kamu?" Tidak ah. Ia menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin ia sanggup berpisah dari gaya hidup boros yang telah diterapkannya sejak bekerja. Semakin kuat protesnya dan pelitnya kepada ibunya akibat ketersendatan pembayaran SPP-nya di sekolah dulu, semakin kuat pula gaya hidup boros yang dijalaninya. Yang pasti, uang yang seharusnya diberikan kepada ibunya, malah habis tak tersisa untuk hura-hura bersama teman-temannya.

Maka, demi memenuhi kesenangan hidupnya itulah, ia mendekati seorang perempuan teman baik adiknya. Hm...perempuan yang aneh. Gumam si Tuan Putri sambil berpindah posisi dalam berbaring di depan TV, semula berbaring ke kiri beralih ke kanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun