Mohon tunggu...
M Ali Fernandez
M Ali Fernandez Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat Konsultan Hukum

S1 Hukum Pidana UIN Jakarta (Skripsi Terkait Tindak Pidana Korupsi) S2 Hukum Pidana Program Pasca UMJ (Tesis Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang) Konsultan Hukum/Lawyer (081383724254) Motto : Yakusa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal Kembali Pasal Suap

12 Mei 2022   09:42 Diperbarui: 12 Mei 2022   10:08 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Muhammad Ali Fernandez, SHI., MH.

Bupati Bogor, AY, ditetapkan sebagai Tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap Tim Audit BPK Perwakilan Jawa Barat, dalam pengurusan Opini WTP. 

Selain AY, ditetapkan juga 7 orang lainnya. Baik itu dari Oknum Pemda Bogor maupun Oknum Tim Audit BPK Jawa Barat. Konon, Pemda Bogor akan mendapatkan hasil disclaimer atas pemeriksaan audit keuangan oleh BPK tahun berjalan, makanya dilakukan serangkaian usaha untuk mencegah hal tersebut. 

AY dan Oknum Pemda Bogor diduga telah menyepakati untuk memberikan sejumlah uang, (tercatat Rp. 1,9 M), agar hasil pemeriksaan BPK tahun ini Bogor mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian.   

Pemberi suap, yakni AY, MA, IA, RT disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sedangkan, penerima suap, yakni ATM, AM, HNRK, GGTR disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

*****


Dalam UU Tipikor, diketahui ada setidaknya 7 jenis tindak pidana korupsi, antara lain : 1) tindak pidana yang merugikan keuangan Negara, 2) suap-menyuap, 3) penggelapan dalam jabatan, 4) pemerasan, 5) perbuatan curang, 6) benturan kepentingan dalam pengadaan, 7) gratifikasi. Perkara yang melibatkan AY dan oknum pemda Kab. Bogor adalah supa menyuap. Berdasarkan informasi diatas, AY dan oknum pemda Kab. Bogor dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (Penyertaan), sebagaimana berikut :

 

Pasal 5 

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling  lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: 

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 13 

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Sementara itu oknum BPK dikenakan Pasal 11 dan Pasal 12 ayat (1) huruf a dan b, UU Tipikor, sebagaimana berikut ini :  

Pasal 11 

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

 

Pasal 12 

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): 

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

b.pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 5 UU Tipikor sesungguhnya adopsi dari Pasal 209 KUHP, sebagaimana berbunyi : (1) Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyak Rp. 4.500,-- : 1e. barangsiapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai negeri dengan dimaksud hendak membujuk dia, supaya dalam pekerjaannya ia berbuat atau mengalpakan sesuatu apa, yang bertentangan dengan kewajibannya ; 2e. barangsiapa memberi hadiah kepada seorang pegawai negeri oleh sebab atau berhubungan dengan pegawai negeri itu sudah membuat atau mengalpakan sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pemberi suap sebenarnya sudah diatur, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan Penerima Suap diatur pada Pasal 5 ayat (2), dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun, maksimal 5 tahun. Sementara itu penerima suap dalam proses penyelidikan dikenakan Pasal 11 dengan ancaman minimal 1 tahun, maksimal 5 tahun Jo. Pasal 11 dengan ancaman seumur hidup atau minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun. Namun, praktik yang umum dan jamak, (sepengetahuan penulis) dalam penuntutan dikenakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau huruf b, dengan ancaman minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun. Dengan kata lain, pemberi suap kerap mendapatkan hukuman yang lebih ringan, sementara penerima suap mendapatkan hukuman yang lebih tinggi.

Hal tersebut, menurut penulis, keliru. Pemberi dan penerima suap harusnya diperlakukan sama yaitu kenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 5 ayat (2), dengan ancaman hukuman yang sama, dengan dasar :

 

Pertama, suap sebenarnya bukanlah tindak pidana baru. KUHP yang merupakan adopsi dari hukum Belanda sudah mengatur itu sejak lama. Yang membedakan adalah nilainya semata. Dalam keseharian kita, sering kita menemukan adanya suap dalam bentuk lain. Contoh : pemberian seseorang yang melanggar peraturan lalu lintas kepada oknum petugas lalu lintas agar terhindar dari jerat hukum atau pemberian seseorang calon pegawai negeri terhadap oknum pejabat tertentu agar dirinya diloloskan menjadi pegawai negeri atau pemberian seseorang terhadap pegawai administrasi disuatu kantor pemerintah agar berkas-berkas dan surat izinnya dikeluarkan atau dikeluarkan lebih cepat. Itu adalah contoh dimana suap kerap terjadi dilingkungan terdekat kita. Karena itu bukan merupakan hal yang istimewa. Hanya, ketika seluruh lingkungan pemerintahan yang notabene harus tunduk dan patuh pada ketentuan perundangan-undangan, kerap terjerat kasus tindak pidana korupsi, seolah-olah kasus suap menjadi kasus yang luar biasa. Padahal, suap bukanlah kejahatan yang luar biasa. Pemberi dan penerima suap haruslah diperlakukan sama. 

Kedua, suap adalah delik penyertaan mutlak. Sepeti kasus perzinahan dalam Pasal 284 KUHP. Dimana seseorang yang telah menikah (baik laki-laki ataupun perempuan) melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya, sementara pasangan sahnya tidak terima dan melaporkannya ke pihak yang berwajib maka kedua pasangan zinah tersebut akan dikenakan Pasal 284 KUHP dengan ancaman yang sama bagi keduanya, yaitu maksimal 9 bulan penjara. Mengacu pada logika suap adalah delik penyertaan mutlak maka sudah seharusnya baik pemberi dan penerima dikenakan pasal yang sama yaitu Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Tipikor, dengan ancaman hukuman yang sama.

 

Ketiga, Ketentuan tentang adanya "pelaku yang bekerjasama" atau justice collabolator, dalam praktik pembuktian tindak pidana korupsi, yaitu dimana pelaku yang mengakui adanya perbuatan dan bekerjasama akan membuka pelaku lain dalam perkara tersebut akan diberikan keringanan tuntutan dan mendapatkan pemotongan masa tahanan. Dalam praktik, pelaku yang bekerjasama ini biasanya adalah pemberi suap. Sementara jarang sekali mendapatkan kesempatan menjadi justice collabolator.

Berdasarkan uraian diatas, cukup alasan seharusnya pemberi dan penerima suap dikenakan pasal yang sama, yakni Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Tipikor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun