Tuhan terlalu cerdik dalam menciptakan dunia ini, semua terasa berjalan dalam takaran yang tidak berlebihan. Di balik hal yang paling menyakitkan sekalipun, akan selalu tersimpan secerca hikmah dan harapan. Dan di balik hal yang paling menyenangkan sekalipun, akan selalu terselip sekelumit risiko dan kekhawatiran.
Begitu pula dengan isu penurunan tarif ini. Meskipun tarif telah diturunkan oleh Presiden Trump, tetap saja akan selalu terkandung risiko yang mungkin harus segera dimitigasi oleh Indonesia. Salah satu yang paling jelas dalam benak saya adalah dampak pada neraca perdagangan Indonesia. Karena penurunannya tidak sampai nol persen, surplus perdagangan Indonesia mungkin akan tertekan. Saya tidak yakin apakah akan menjadi defisit perdagangan, namun yang jelas akan terjadi penurunan surplus akibat ekspor yang menurun. Tekanan ini kemudian akan berimplikasi pada tergerusnya cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Kemudian, Indonesia harus bersiap dengan arus barang Amerika Serikat yang datang jauh lebih banyak daripada sebelumnya, terutama pada produk pertanian seperti gandum dan kedelai. Kita yang menjadi konsumen setia mie instan atau tempe mungkin akan bergembira karena kemungkinan harga bisa menjadi lebih murah dengan kualitas yang lebih baik. Namun, bagi para petani kedelai, mereka harus menghadapi kompetisi produk yang semakin ketat dan berat. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhatikan para pihak yang terdampak dari kebijakan proteksi Amerika Serikat ini.
Terlepas dari setuju atau tidak dari hasil kesepakatan Indonesia-AS ini, langkah pemerintah patut untuk diapresiasi. Kesepakatan ini mungkin tidak bisa menyenangkan semua pihak. Karena kembali lagi, dalam konteks perdagangan internasional akan selalu ada yang diuntungkan dan dirugikan. Tapi setidaknya, Indonesia masih mempertahankan pangsa pasarnya di Amerika Serikat. Mengingat Amerika Serikat adalah tujuan ekspor kedua terbesar Indonesia setelah Tiongkok. Amerika Serikat memegang porsi ekspor sekitar 10 persen dari total ekspor Indonesia, jika tadi di awal saya menyebutkan bahwa porsi perdagangan internasional Indonesia adalah sekitar 25 persen dari total PDB, artinya ekspor ke Amerika berkontribusi sekitar 2,5 persen dari total PDB Indonesia. Dari hasil negosiasi ini setidaknya penurunan PDB bisa diredam.
Yang menarik justru ada pada efek jangka menengah. Implikasi dari efek substitusi (yang sudah saya jelaskan sebelumnya) berpotensi membawa arus investasi datang ke Indonesia. Potensi ini tentu menjadi sinyal positif dalam upaya akselerasi ekonomi Indonesia. Tentu kesempatan ini tidak boleh di sia-siakan. Pemerintah harus bisa memastikan iklim investasi berjalan dengan baik dan menyambut para investor dengan pelukan hangat bak kawan lama. Akan tetapi perlu diingat bahwa kesepakatan ini merupakan bentuk syarat perlu (necessary condition) bukan syarat cukup (sufficient condition) dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Syarat cukupnya terletak pada upaya dan komitmen Indonesia dalam memanfaatkan kesempatan ini. Negara perlu bersiap. Bersiap untuk menghadapi segala risiko sekaligus menyambut kesempatan pembangunan untuk Indonesia yang lebih baik lagi.
Dani Rodrik dari Harvard University pernah berkata :
"tragedi pembangunan bukan karena kita tak tahu apa yang mesti dilakukan, melainkan karena kita gagal melakukan apa yang sebenarnya telah kita ketahui akan berhasil."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI