Dari 32 menjadi 19 persen
Di sela-sela jam istirahat perkuliahan, kala saya perlahan menyelami hiruk-pikuk dunia media sosial tiba-tiba ada informasi menarik yang menyedot penuh perhatian saya:"Presiden Trump akan menerapkan tarif impor 32% untuk Indonesia per 1 Agustus." Kira-kira begitulah narasi dari feeds instagram salah satu kanal berita nasional tersebut. Kemudian, saya mencoba menganalisis apa kemungkinan yang akan terjadi. Apa dampaknya bagi kedua negara?Â
Saya sampai pada kesimpulan bahwa (mungkin) kebijakan proteksionis semacam ini tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia meskipun setiap goncangan akan selalu menghasilkan efek kejut, terutama bagi neraca perdagangan dan stabilitas nilai tukar. Indonesia relatif beruntung karena proporsi perdagangan internasional pada PDB relatif rendah, hanya sekitar 25 % dari total PDB---kalah jauh dengan konsumsi domestik yang menyentuh lebih dari 50%. Saya lantas teringat dengan kelakar yang selalu digaungkan oleh Muhammad Chatib Basri, seorang ekonom Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan era Presiden SBY. Kalimat yang mungkin terdengar remeh namun mungkin ada benarnya.
"Cara terbaik untuk tidak kalah di pertandingan piala dunia adalah dengan tidak masuk piala dunia. Cara terbaik untuk tidak terganggu dengan kondisi ekonomi global adalah dengan tidak terintegrasi pada global."
Begitu kata Pak Dede---sapaan akrab beliau.
Yang membuat saya merasa sedikit janggal adalah dampak kepada perekonomian Amerika Serikat itu sendiri, terutama di jangka menengah-panjang. Kebijakan tarif semacam ini justru akan menyebabkan inflasi pada produk konsumsi mereka dan karena itu konsumsi domestik mereka bisa saja menurun. Mengapa demikian? Karena bahan baku produk-produk mereka masih bergantung pada negara emerging market seperti Indonesia. Salah satunya adalah tekstil. Akan tetapi apakah kita bisa menarik kesimpulan bahwa Presiden Trump telah salah langkah? Entahlah, tidak ada yang tahu pasti apa yang ada dibalik benak manusia yang pernah menjadi figuran dalam film 'Home Alone' itu. Tapi perasaan saya seakan menolak kesimpulan tersebut.
Merespon hal tersebut, Indonesia pun mengirimkan delegasi untuk melakukan upaya negosiasi dengan Gedung Putih. Dan tak lama kemudian Presiden Trump mengungkapkan hasil kesepakatan kedua negara di akun media sosialnya pada 16 Juli 2025. Tarif impor Indonesia turun dari awalnya 32 persen menjadi 19 persen sedangkan tarif ekspor AS ke Indonesia dikenakan tarif nol persen! Menurut salah satu kanal berita internasional, Reuters, dalam kesepakatan dagang tersebut Indonesia juga berkomitmen untuk membeli 50 unit pesawat Boeing, pasokan energi senilai 15 miliar dolar AS dan produk pertanian---termasuk gandum, jagung dan kedelai---senilai 4,5 miliar dolar AS. Dari hasil kesepakatan tersebut kemudian menelurkan pertanyaan besar di dalam benak saya:"Apa alasan ekonomi dibalik ini semua? Apakah Presiden Trump melunak? Atau justru makin beringas?"
Salah kaprah terkait impor
Awalnya saya berpikir dan mempertanyakan apakah 19 persen tarif dengan 0 persen tarif adalah komposisi yang adil. Apakah ini betul-betul kesepakatan yang menguntungkan? Mungkin pertanyaan di otak saya juga merupakan cerminan dari pertanyaan di otak jutaan orang Indonesia sehingga isu ini mencuat dengan cepat.
"Apakah ini adil?"
Ketika kesepekatan ini mulai diberlakukan, maka untuk setiap barang Indonesia yang masuk ke wilayah Amerika Serikat akan dikenakan tarif 19 persen sedangkan setiap produk Amerika Serikat akan lebih mudah masuk ke wilayah Indonesia karena tarifnya nol persen. Namun, ada satu bagian yang mungkin terlewatkan saat saya mempertanyakan ini: Siapakah yang harus membayar tarif 19 persen? Eksportir Indonesia kah? Atau justru perusahaan dan importir Amerika Serikat?
Saya berasumsi bahwa yang membayar adalah eskportir Indonesia, berdasarkan pernyataan dari Presiden Trump dalam salah satu sesi wawancara sesaat setelah negosiasi :Â
"...they are going to pay 19% and we are going to pay nothing."Â
Namun, ternyata asumsi saya salah.Â
Menurut Rizal Mallarangeng dalam freedom institute podcast, dalam mekanisme tarif impor ini, yang membayar 19 persen justru adalah importir Amerika Serikat bukan eksportir Indonesia. Artinya, jika perusahaan Amerika Serikat ingin mengambil bahan baku dari Indonesia, tembaga misalnya, maka mereka harus menanggung besaran tarif tersebut. Apakah produsen (perusahaan) akan menanggung 100 persen dari besaran tarif? Faktanya tidak. Dalam realitas ekonomi, produsen akan selalu membagi "beban" mereka dengan konsumen lewat kenaikan harga. Sehingga ini memperkuat analisis saya di awal bahwa mungkin inflasi bisa saja terjadi di Amerika Serikat akibat harga bahan baku yang semakin mahal, atau dalam ekonomi dikenal dengan istilah cost-push inflation (biaya produksi yang tinggi mendorong kenaikan harga secara serentak).
Menerka logika ekonomi dibalik penurunan tarif
Menurut Woo Wing Thye, dari University of California Davis, Indonesia adalah salah satu negara yang diuntungkan akibat kesepakatan ini. Saya cukup sepakat dengan pernyataan Prof. Woo. Indonesia adalah salah satu negara yang dikenai tarif paling rendah diantara negara lain, terutama di ASEAN. Padahal, Indonesia baru saja diakui sebagai anggota penuh dalam BRICS.
"There are winners and losers in this trade negotiations---and Indonesia is surely on the winning side"---Woo Wing Thye.
Lebih lanjut Prof. Woo juga menganggap bahwa Indonesia merupakan negara yang dianggap penting bagi Presiden Trump dalam geopolitik dan ekonomi Amerika Serikat, terutama di wilayah ASEAN. Mengapa bisa dikatakan penting? Ada begitu banyak alasan yang (mungkin) bisa menjelaskan hal tersebut. Salah satu alasan yang (mungkin) bisa menjadi jawaban adalah mengenai ketersediaan faktor produksi dan permintaan domestik yang cukup tinggi atas produk impor Indonesia.
Eli Heckscher dan Bertil Ohlin, dua ekonom Swedia abad 20, cukup membantu saya dalam menemukan jawaban atas pertanyaan besar tersebut. Mereka mengembangkan sebuah konsep yang menjelaskan mengapa kesepakatan dagang antar dua negara bisa terjadi. Dasar dari konsep ini adalah teori keunggulan komparatif ala David Ricardo. Keunggulan komparatif berarti suatu negara memiliki keunggulan secara relatif dibandingkan negara lain, begitu juga sebaliknya, negara lain juga memiliki keunggulan secara relatif di aspek lain dibandingkan negara tersebut. Sehingga terciptalah perdagangan di antara kedua negara tersebut.
"Lantas, dalam bentuk apa keunggulan tersebut?"
Heckscher-Ohlin percaya bahwa bentuk dari keunggulan tersebut berasal dari ketersediaan faktor produksi di tiap negara yang berikatan---itu sebabnya konsep ini dikenal dengan istilah factor-endowment trade theory. Dalam proses produksi, kita tentu membutuhkan yang namanya faktor produksi (modal dan pekerja). Namun, ketersediaan faktor produksi di setiap negara berbeda-beda. Negara maju, mayoritas memiliki ketersediaan modal yang melimpah sehingga sektor padat modal menjadi sangat menjamur di negara maju akibat biaya produksi yang relatif lebih murah daripada sektor padat karya. Inilah keunggulan komparatif mereka dibandingkan negara berkembang. Namun, negara berkembang juga memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara maju. Negara berkembang memiliki ketersediaan pekerja yang sangat banyak---bahkan seringkali surplus, sehingga sektor padat karya menjadi pilihan yang menarik bagi para pengusaha daripada sektor padat modal akibat biaya yang relatif lebih murah. Dari sana, kedua negara akan mulai terspesialisasi dan mulai melakukan perdagangan. Negara maju akan mengimpor barang-barang padat karya seperti tekstil dari negara berkembang sedangkan negara berkembang mengimpor barang-barang padat modal seperti otomotif dan energi dari negara maju.
"Mengapa Indonesia dianggap penting?"
Menurut data dari Trading Economics, salah satu produk impor Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat adalah produk padat karya seperti tekstil dan juga sepatu. Ini menjadi masuk akal karena permintaan domestik Amerika Serikat terhadap pakaian dan sepatu cukup tinggi. Menurut fashionunited.com, masyarakat Amerika Serikat rata-rata rela menggelontorkan 3,5 persen dari total pengeluaran mereka untuk membeli pakaian dan sepatu.
Karena di Amerika Serikat jumlah pekerja di sektor industri pakaian dan sepatu sangatlah terbatas membuat upah mereka cukup tinggi dibanding pekerja di Indonesia. Itu membuat sektor industri sepatu tidak bisa tumbuh subur disana karena biaya faktor produksi yang sangat tinggi. Sebaliknya, jika Eli Heckscher ataupun Bertil Ohlin ditanyai oleh seorang pengusaha Amerika kemanakah mereka sebaiknya melabuhkan pabrik-pabrik tekstil atau sepatu mereka? Maka, saya bisa menjamin Heckscher-Ohlin akan merekomendasikan Indonesia sebagai salah satu tempat yang cocok. Mengapa demikian? Sederhana : pekerjanya banyak dan murah. Konsep ini mungkin juga bisa menjelaskan mengapa raksasa apparels dan sepatu dunia seperti Nike dan Adidas membangun pabriknya di Indonesia.
"Apa yang terjadi jika Indonesia dikenakan tarif impor yang tinggi?"
Maka, harga tekstil dan sepatu dari Indonesia menjadi sangat tinggi dan membuat harga pakaian dan sepatu di Amerika meningkat signifikan, which is inflation. Itu baru pada sektor tekstil dan sepatu. Bagaimana dengan sektor bahan baku elektronik seperti kabel dan tembaga yang mendominasi ekspor Indonesia dengan proporsi paling tinggi, yaitu 12,5 miliar dari total nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat?
Bisa dipastikan yang terkena imbasnya bukan hanya pakaian dan sepatu namun juga barang-barang elektronik. Yang menjadi permasalahan adalah barang-barang tadi merupakan tergolong barang sekunder (atau bahkan primer) disana, sehingga inflasi yang terjadi mungkin akan menggoyahkan tingkat konsumsi dan perekonomian Amerika Serikat. Selain alasan di atas, ukuran pasar Indonesia yang sangat besar dengan 280 juta jiwa juga merupakan alasan yang sangat mendukung bagaimana Indonesia menjadi sangat penting bagi perekonomian AS. Maka tidak mengherankan jika hasil kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat juga mengandung komitmen pembelian produk-produk Amerika Serikat.
"Apakah Presiden Trump melunak???"
 Saya sama sekali tidak bisa menjawab. Tapi yang jelas, kesepakatan ini mungkin termasuk dalam rencana Presiden Trump untuk mencapai kepentingan nasionalistiknya, seperti slogan politik yang selalu ia gaungkan: "Make America Great Again."
Kesempatan di dalam kesulitan
Saya sepakat dengan pernyataan Pak Dede bahwa setiap kesepakatan dagang akan selalu ada yang untung dan ada juga yang murung. Maka melihat konteks perdagangan internasional harus dalam gambaran yang selengkap dan sekomprehensif mungkin. Terkadang, posisi relatif lebih memiliki dampak besar daripada keadaan absolut. Penurunan tarif 19 persen saya rasa masih memberikan dampak yang cukup positif daripada tidak ada kesepakatan sama sekali.
Ketika tarif ini diberlakukan mungkin produk Indonesia akan mengalami sebuah fenomena paradoksikal di Amerika Serikat. Produk-produk Indonesia berpotensi besar masih menjadi pilihan konsumen Amerika Serikat karena tarif yang relatif rendah daripada negara yang lain. Namun, di sisi lain, Produk impor Indonesia juga berpotensi mengalami penurunan permintaan akibat inflasi yang mungkin juga akan terjadi seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Maka, konsep dua efek dalam teori ekonomi klasik mungkin akan berlaku di titik ini: Substitution effect and income effect.
Efek substitusi (substitution effect) : jika produk Indonesia mampu menjaga mutu dan kualitasnya---terutama dari Tiongkok atau negara lain yang juga padat karya---maka konsumen AS akan beralih ke produk Indonesia karena secara relatif akan lebih murah dibanding membeli dari negara lain yang memiliki tarif lebih tinggi. Apalagi, Indonesia memiliki tarif ketiga terendah pada tekstil dan paling rendah pada apparels & sepatu. Apakah mungkin mereka akan beralih ke produk pakaian atau sepatu domestik? Mungkin saja, tapi akan sangat sulit. Karena biaya upah yang tinggi membuat produk domestik mereka menjadi sangat terbatas dan bahkan bisa menjadi jauh lebih mahal daripada produk impor dari Indonesia.
Efek pendapatan (income effect) : karena pengenaan tarif yang menyebabkan inflasi membuat pendapatan riil masyarakat Amerika menjadi tergerus. Daya beli mereka akan terkelupas oleh "pisau" yang ditusukkan oleh Presiden Trump ke berbagai negara. Maka, menjadi rasional jika dompet dikantong mereka semakin menyusut. Sangat tidak masuk akal jika kita menyimpulkan masyarakat Amerika tidak akan membelanjakan uang sepeserpun, namun yang jelas mereka akan menjadi jauh lebih hemat daripada sebelumnya. Sehingga mungkin permintaan terhadap produk impor Indonesia juga akan menurun seiring menurunnya daya beli mereka.
Jika Anda bertanya pada saya efek mana yang menguntungkan, jelas efek substitusi-lah yang paling menguntungkan---itupun jika asumsi saya benar. Namun realitas yang akan terjadi tergantung dari efek manakah yang paling kuat. Karena yang paling kuat yang akan mendominasi total effect di pasar.Â
Sayangnya, tidak semua hal berada dibawah kendali kita, efek pendapatan misalnya, kita tidak bisa mengatur berapa tingkat inflasi di Amerika maupun preferensi masyarakat Amerika Serikat dalam hal mengelola uang mereka: antara konsumsi atau menabung. Dalam efek substitusi-pun juga demikian. Mungkin kita bisa mengupayakan dengan meningkatkan mutu dan kualitas. Namun tetap saja, kita tidak bisa selalu menjamin bahwa ada negara padat karya lain yang diberlakukan tarif jauh lebih rendah dari Indonesia yang akan menyebabkan permintaan produk impor Indonesia bergeser (tersubstitusi) ke produk impor dari negara bersangkutan. Di titik ini, peran negara menjadi sangat diperlukan, baik dari segi diplomasi politik maupun kebijakan ekonomi.
Saya jadi teringat quotes Winston Churcill yang pernah dibawakan oleh dosen saya sebelum kelas dimulai :
"Orang pesimistis melihat kesulitan dalam setiap kesempatan. Orang optimistis melihat peluang dalam setiap kesulitan."
Bagaimana dengan Indonesia? Optimistis? Atau justru pesimistis?
Negara perlu bersiap
Tuhan terlalu cerdik dalam menciptakan dunia ini, semua terasa berjalan dalam takaran yang tidak berlebihan. Di balik hal yang paling menyakitkan sekalipun, akan selalu tersimpan secerca hikmah dan harapan. Dan di balik hal yang paling menyenangkan sekalipun, akan selalu terselip sekelumit risiko dan kekhawatiran.
Begitu pula dengan isu penurunan tarif ini. Meskipun tarif telah diturunkan oleh Presiden Trump, tetap saja akan selalu terkandung risiko yang mungkin harus segera dimitigasi oleh Indonesia. Salah satu yang paling jelas dalam benak saya adalah dampak pada neraca perdagangan Indonesia. Karena penurunannya tidak sampai nol persen, surplus perdagangan Indonesia mungkin akan tertekan. Saya tidak yakin apakah akan menjadi defisit perdagangan, namun yang jelas akan terjadi penurunan surplus akibat ekspor yang menurun. Tekanan ini kemudian akan berimplikasi pada tergerusnya cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Kemudian, Indonesia harus bersiap dengan arus barang Amerika Serikat yang datang jauh lebih banyak daripada sebelumnya, terutama pada produk pertanian seperti gandum dan kedelai. Kita yang menjadi konsumen setia mie instan atau tempe mungkin akan bergembira karena kemungkinan harga bisa menjadi lebih murah dengan kualitas yang lebih baik. Namun, bagi para petani kedelai, mereka harus menghadapi kompetisi produk yang semakin ketat dan berat. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhatikan para pihak yang terdampak dari kebijakan proteksi Amerika Serikat ini.
Terlepas dari setuju atau tidak dari hasil kesepakatan Indonesia-AS ini, langkah pemerintah patut untuk diapresiasi. Kesepakatan ini mungkin tidak bisa menyenangkan semua pihak. Karena kembali lagi, dalam konteks perdagangan internasional akan selalu ada yang diuntungkan dan dirugikan. Tapi setidaknya, Indonesia masih mempertahankan pangsa pasarnya di Amerika Serikat. Mengingat Amerika Serikat adalah tujuan ekspor kedua terbesar Indonesia setelah Tiongkok. Amerika Serikat memegang porsi ekspor sekitar 10 persen dari total ekspor Indonesia, jika tadi di awal saya menyebutkan bahwa porsi perdagangan internasional Indonesia adalah sekitar 25 persen dari total PDB, artinya ekspor ke Amerika berkontribusi sekitar 2,5 persen dari total PDB Indonesia. Dari hasil negosiasi ini setidaknya penurunan PDB bisa diredam.
Yang menarik justru ada pada efek jangka menengah. Implikasi dari efek substitusi (yang sudah saya jelaskan sebelumnya) berpotensi membawa arus investasi datang ke Indonesia. Potensi ini tentu menjadi sinyal positif dalam upaya akselerasi ekonomi Indonesia. Tentu kesempatan ini tidak boleh di sia-siakan. Pemerintah harus bisa memastikan iklim investasi berjalan dengan baik dan menyambut para investor dengan pelukan hangat bak kawan lama. Akan tetapi perlu diingat bahwa kesepakatan ini merupakan bentuk syarat perlu (necessary condition) bukan syarat cukup (sufficient condition) dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Syarat cukupnya terletak pada upaya dan komitmen Indonesia dalam memanfaatkan kesempatan ini. Negara perlu bersiap. Bersiap untuk menghadapi segala risiko sekaligus menyambut kesempatan pembangunan untuk Indonesia yang lebih baik lagi.
Dani Rodrik dari Harvard University pernah berkata :
"tragedi pembangunan bukan karena kita tak tahu apa yang mesti dilakukan, melainkan karena kita gagal melakukan apa yang sebenarnya telah kita ketahui akan berhasil."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI