Mohon tunggu...
Nanda Rakha
Nanda Rakha Mohon Tunggu... Mahasiswa PKN STAN

Saya hanya ingin apa yang saya tulis bisa bermanfaat, untuk saya dan kalian semua.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menguak Potensi Ditengah Tarif 19 Persen: Mampukah Kita?

31 Juli 2025   20:47 Diperbarui: 31 Juli 2025   21:34 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, ternyata asumsi saya salah. 

Menurut Rizal Mallarangeng dalam freedom institute podcast, dalam mekanisme tarif impor ini, yang membayar 19 persen justru adalah importir Amerika Serikat bukan eksportir Indonesia. Artinya, jika perusahaan Amerika Serikat ingin mengambil bahan baku dari Indonesia, tembaga misalnya, maka mereka harus menanggung besaran tarif tersebut. Apakah produsen (perusahaan) akan menanggung 100 persen dari besaran tarif? Faktanya tidak. Dalam realitas ekonomi, produsen akan selalu membagi "beban" mereka dengan konsumen lewat kenaikan harga. Sehingga ini memperkuat analisis saya di awal bahwa mungkin inflasi bisa saja terjadi di Amerika Serikat akibat harga bahan baku yang semakin mahal, atau dalam ekonomi dikenal dengan istilah cost-push inflation (biaya produksi yang tinggi mendorong kenaikan harga secara serentak).

Menerka logika ekonomi dibalik penurunan tarif

Menurut Woo Wing Thye, dari University of California Davis, Indonesia adalah salah satu negara yang diuntungkan akibat kesepakatan ini. Saya cukup sepakat dengan pernyataan Prof. Woo. Indonesia adalah salah satu negara yang dikenai tarif paling rendah diantara negara lain, terutama di ASEAN. Padahal, Indonesia baru saja diakui sebagai anggota penuh dalam BRICS.

"There are winners and losers in this trade negotiations---and Indonesia is surely on the winning side"---Woo Wing Thye.

Lebih lanjut Prof. Woo juga menganggap bahwa Indonesia merupakan negara yang dianggap penting bagi Presiden Trump dalam geopolitik dan ekonomi Amerika Serikat, terutama di wilayah ASEAN. Mengapa bisa dikatakan penting? Ada begitu banyak alasan yang (mungkin) bisa menjelaskan hal tersebut. Salah satu alasan yang (mungkin) bisa menjadi jawaban adalah mengenai ketersediaan faktor produksi dan permintaan domestik yang cukup tinggi atas produk impor Indonesia.

Eli Heckscher dan Bertil Ohlin, dua ekonom Swedia abad 20, cukup membantu saya dalam menemukan jawaban atas pertanyaan besar tersebut. Mereka mengembangkan sebuah konsep yang menjelaskan mengapa kesepakatan dagang antar dua negara bisa terjadi. Dasar dari konsep ini adalah teori keunggulan komparatif ala David Ricardo. Keunggulan komparatif berarti suatu negara memiliki keunggulan secara relatif dibandingkan negara lain, begitu juga sebaliknya, negara lain juga memiliki keunggulan secara relatif di aspek lain dibandingkan negara tersebut. Sehingga terciptalah perdagangan di antara kedua negara tersebut.

"Lantas, dalam bentuk apa keunggulan tersebut?"

Heckscher-Ohlin percaya bahwa bentuk dari keunggulan tersebut berasal dari ketersediaan faktor produksi di tiap negara yang berikatan---itu sebabnya konsep ini dikenal dengan istilah factor-endowment trade theory. Dalam proses produksi, kita tentu membutuhkan yang namanya faktor produksi (modal dan pekerja). Namun, ketersediaan faktor produksi di setiap negara berbeda-beda. Negara maju, mayoritas memiliki ketersediaan modal yang melimpah sehingga sektor padat modal menjadi sangat menjamur di negara maju akibat biaya produksi yang relatif lebih murah daripada sektor padat karya. Inilah keunggulan komparatif mereka dibandingkan negara berkembang. Namun, negara berkembang juga memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara maju. Negara berkembang memiliki ketersediaan pekerja yang sangat banyak---bahkan seringkali surplus, sehingga sektor padat karya menjadi pilihan yang menarik bagi para pengusaha daripada sektor padat modal akibat biaya yang relatif lebih murah. Dari sana, kedua negara akan mulai terspesialisasi dan mulai melakukan perdagangan. Negara maju akan mengimpor barang-barang padat karya seperti tekstil dari negara berkembang sedangkan negara berkembang mengimpor barang-barang padat modal seperti otomotif dan energi dari negara maju.

"Mengapa Indonesia dianggap penting?"

Menurut data dari Trading Economics, salah satu produk impor Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat adalah produk padat karya seperti tekstil dan juga sepatu. Ini menjadi masuk akal karena permintaan domestik Amerika Serikat terhadap pakaian dan sepatu cukup tinggi. Menurut fashionunited.com, masyarakat Amerika Serikat rata-rata rela menggelontorkan 3,5 persen dari total pengeluaran mereka untuk membeli pakaian dan sepatu.

Karena di Amerika Serikat jumlah pekerja di sektor industri pakaian dan sepatu sangatlah terbatas membuat upah mereka cukup tinggi dibanding pekerja di Indonesia. Itu membuat sektor industri sepatu tidak bisa tumbuh subur disana karena biaya faktor produksi yang sangat tinggi. Sebaliknya, jika Eli Heckscher ataupun Bertil Ohlin ditanyai oleh seorang pengusaha Amerika kemanakah mereka sebaiknya melabuhkan pabrik-pabrik tekstil atau sepatu mereka? Maka, saya bisa menjamin Heckscher-Ohlin akan merekomendasikan Indonesia sebagai salah satu tempat yang cocok. Mengapa demikian? Sederhana : pekerjanya banyak dan murah. Konsep ini mungkin juga bisa menjelaskan mengapa raksasa apparels dan sepatu dunia seperti Nike dan Adidas membangun pabriknya di Indonesia.

"Apa yang terjadi jika Indonesia dikenakan tarif impor yang tinggi?"

Maka, harga tekstil dan sepatu dari Indonesia menjadi sangat tinggi dan membuat harga pakaian dan sepatu di Amerika meningkat signifikan, which is inflation. Itu baru pada sektor tekstil dan sepatu. Bagaimana dengan sektor bahan baku elektronik seperti kabel dan tembaga yang mendominasi ekspor Indonesia dengan proporsi paling tinggi, yaitu 12,5 miliar dari total nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat?

Bisa dipastikan yang terkena imbasnya bukan hanya pakaian dan sepatu namun juga barang-barang elektronik. Yang menjadi permasalahan adalah barang-barang tadi merupakan tergolong barang sekunder (atau bahkan primer) disana, sehingga inflasi yang terjadi mungkin akan menggoyahkan tingkat konsumsi dan perekonomian Amerika Serikat. Selain alasan di atas, ukuran pasar Indonesia yang sangat besar dengan 280 juta jiwa juga merupakan alasan yang sangat mendukung bagaimana Indonesia menjadi sangat penting bagi perekonomian AS. Maka tidak mengherankan jika hasil kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat juga mengandung komitmen pembelian produk-produk Amerika Serikat.

"Apakah Presiden Trump melunak???"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun