Mohon tunggu...
Nandang Darana
Nandang Darana Mohon Tunggu... Pegiat di Ruang Belajar Masyarakat

Hobi menulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Aku, Engkau, dan Jalan Pulang

11 Agustus 2025   06:07 Diperbarui: 11 Agustus 2025   06:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ChatGPT Image 11 Agu 2025, 06.02.30

Pagi itu aku berdiri di depan sebuah pintu. Catnya telah mengelupas, kayunya retak-retak, dan engselnya berdecit setiap kali angin lewat.
Pintu ini pernah kau tunjukkan kepadaku bertahun-tahun lalu, pada hari pertama aku datang sebagai seorang pencari.

"Aku tak bisa memberimu kunci," katamu saat itu, "tapi aku bisa mengajarimu cara menemukan pintu yang tepat."

Aku tak sepenuhnya mengerti maksudmu, hingga bertahun-tahun kemudian, ketika pintu itu tak lagi berada di dunia biasa.

Pertama kali aku datang padamu, aku hanya membawa gelisah yang tak bisa kutafsirkan. Orang-orang memanggilmu Kyai, tapi di majelis engkau lebih sering menyebut dirimu khadim, pelayan. Kau duduk di tikar pandan yang sederhana, sementara aku duduk di hadapanmu dengan hati berdebar.

"Kalau kau ingin tahu arah pulang," katamu, "mulailah dengan melupakan peta. Hafalkan saja langkah-langkahnya."

Hari-hari berikutnya penuh dengan hal kecil: menyapu halaman, menimba air, menyiapkan teh, mengulang zikir hingga nafas menjadi saksi. Aku tak sadar bahwa semua itu adalah langkah-langkah yang kau maksud.

Kau jarang menjelaskan dengan kata panjang. Kadang hanya tersenyum, kadang menatap tajam, seakan mengukur jarak antara kata dan hatiku. Dan perlahan aku belajar bahwa jalan pulang itu bukanlah garis lurus, melainkan lingkaran yang berulang, sampai aku benar-benar mengerti arti satu putaran penuh.

Bertahun-tahun setelahnya, aku berdiri di tempat ini lagi. Kau sudah lama meninggalkan majelis dunia. Tapi di hadapan pintu ini, aku merasakanmu berdiri di seberang. Dari celah-celahnya mengalir bau tanah basah yang pernah kau tapaki, gema pasar yang pernah kita lewati, dan bisik wirid yang tak pernah berhenti.

Aku menyentuh gagang pintu. Hangat, seakan masih menyimpan panas telapak tanganmu. Waktu meluruh. Aku melihatmu berjalan di tanah yang memercikkan cahaya pada setiap pijakan. Cahaya itu---nur---bukan dari matahari, melainkan dari sumber yang lebih awal dari penciptaan.

Aku melangkah masuk. Di dalamnya, zaman-zaman duduk berdampingan: masa mudamu saat pertama kali menuntunku, masa ketika engkau mengajarkan sabar dengan diam, dan masa terakhir kita bersua di majelis, ketika engkau berkata, "Jalan pulang itu satu, tapi jalannya panjang bagi yang tidak mengenali pintunya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun