Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Suka Memberi Sebelum Menerima? Belajar dari Behavioral Science

16 Mei 2021   13:38 Diperbarui: 18 Mei 2021   22:27 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemberian. Sumber: Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels

Pernah tidak kita memberi hadiah atau bantuan kepada orang karena kita ingin dia juga membantu kita? Atau pernah tidak kita mengundang seseorang ke acara yang kita buat karena mereka juga mengundang kita ke acara mereka?

Jika kita pernah melakukannya, berarti secara sadar atau tidak sadar kita telah menerapkan satu prinsip dari behavioral science yaitu Reciprocity. Prinsip dasarnya adalah setelah mereka melihat kita memberi mereka hadiah atau melakukan tindakan kebaikan terhadap mereka, kemungkinan besar mereka akan membalas dengan hal yang sama.

Saya juga pernah melakukannya. Wajar dan Manusiawi. Menurut saya ini adalah sebuah hubungan timbal balik, yang berbicara tentang kebutuhan (dan kecenderungan) manusia untuk ingin memberikan sesuatu kembali ketika sesuatu diterima.

Apa Sih Itu Reciprocity?

Kata kunci adalah Reciprocity adalah tindakan positif yang saling berbalasan. Jadi prinsip ini merupakan salah satu norma sosial dalam menanggapi tindakan positif dengan tindakan positif lainnya. Itulah mengapa kita sering merasa berhutang budi ketika seseorang membantu kita (dalam hal positif tentunya).

Robert Cialdini dalam bukunya yang berjudul Influence: Pyschology of Persuasion memasukkan prinsip ini di antara enam prinsip lain yang berkontribusi pada kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain.

Jadi memang ada science dibalik prinsip ini. Bagi saya ini sekaligus pembenaran secara pribadi untuk selalu berusaha memberi terlebih dahulu sebelum menerima.

Dalam penelitian Robert Cialdini salah satu hasilnya adalah 42% konsumen cenderung akan melakukan pembelian ketika mereka saat memasuki toko mendapatkan sepotong coklat gratis.

Saya menutup definisi reciprocity ini dengan satu kesimpulan "Kita harus mau memberi untuk mendapatkan."

Bagaimana Konsep Reciprocity ini Dalam Dunia Nyata? Kenapa Reciprocity Penting?

Jika diterapkan dengan benar, konsep ini dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan referensi, advokasi, dan bahkan sumber revenue. 

Contoh-contoh prinsip reciprocity ini sangat mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. 

Salah satu contohnya adalah Amazon. Saya mengambil contoh Amazon ini karena saya terbiasa membeli buku melalui kindle di Amazon. Salah satu cara Amazon menerapkan reciprocity untuk mendorong penjualan di toko Kindle-nya adalah dengan konsumen dapat mengintip konten pembelian potensial menggunakan fitur "Look Inside!". 

Contohnya dapat dilihat di bawah ini:

Fitur Look Inside Amazon. Sumber: Dok. Pribadi
Fitur Look Inside Amazon. Sumber: Dok. Pribadi
Nah ini saya pernah mengalaminya. Jadi saat itu saya ingin satu buku best seller melalui Amazon, tapi saya perlu tahu dulu isinya seperti apa. Akhirnya saya memakai feature Look Inside ini agar saya mendapat gambaran yang pas. Hasilnya saya tertarik dan membeli.

Jadi Amazon memberikan "hadiah" terlebih dahulu ke konsumen agar mereka tahu bagian-bagian apa saja yang ada di buku yang akan mereka beli dan bagaimana isinya. Cara ini akan memancing otak dan psikologis konsumen untuk tahu lebih banyak dan akhirnya membeli.

Kenapa Bisa? Jawabannya adalah karena Amazon dengan "sukarela" memberi saya hadiah gratis dengan mengizinkan saya membaca sebagian dari bukunya, saya jadi merasa berhutang budi. Dengan kata lain, secara tidak sadar saya lebih cenderung membeli item ini karena saya ingin membalas "budi".

Menarik bukan? Nah contoh lain yang lebih simpel misalnya dalam lingkungan kerja, seorang salesman memberikan free gift kepada konsumen potensial, berharap itu akan membuat mereka membalas budi dengan membeli sesuatu. Contoh lainnya, seorang pemimpin menawarkan perhatian dan bimbingan kepada anggotanya dengan harapan menerima imbalan kesetiaan dan kepatuhan.

Contoh lain misalnya Grammarly, aplikasi untuk mengecek grammar secara daring. Bentuk lain reciprocity yang saya ambil contohnya untuk grammarly adalah model freemium, di mana konsumen dapat menggunakan versi aplikasi yang gratis, tetapi terbatas, dan dapat membayar untuk versi "lengkap". Grammarly, menggunakan model ini dengan sempurna.

Perhatikan gambar di bawah ini:

Tangkapan Layar Grammarly. Sumber: Dok. Pribadi
Tangkapan Layar Grammarly. Sumber: Dok. Pribadi
Paket Dasar grammarly bertindak sebagai strategi free sample bagi penggunanya, yang kemudian dapat memilih untuk meningkatkan fitur-fitur jika mereka menginginkan fitur kenyamanan dan kemampuan tambahan.

Jadi, reciprocity ini bisa dibilang sebuah cara manipulasi? Bagi saya pribadi, ini adalah sebuah paradoks. Di era sekarang sepertinya orang-orang sangat mementingkan prinsip authencity, keaslian dan kemurnian. Namun demikian, business is business. You have to get something, don't you?

Reciprocity Sebagai Sebuah Paradoks

Seperti yang saya katakan diatas bahwa reciprocity itu memang sebuah paradoks. 

Tapi begini deh, sekarang mari kita jujur; Jauh di lubuk hati, kita semua tahu bahwa bisnis, tidak peduli betapa caranya sangat altruistik, tetap saja bisnis. Saya juga paham kenapa dalam proses lobi-lobi bisnis, memberi sebelum menerima merupakan hal yang sangat wajar.

Saya juga paham kenapa Amazon,Grammarly, dan yang lain-lain punya caranya masing-masing untuk menggunakan reciprocity. 

Yang terpenting adalah reciprocity bisa menjadi alat persuasi yang ampuh jika diterapkan secara etis pada konsumen.

Jenis-Jenis Reciprocity

Untuk lebih mudah memahami reciprocity, perhatikan gambar di bawah ini:

Ilustrasi Reciprocity. Sumber: Dok. Pribadi
Ilustrasi Reciprocity. Sumber: Dok. Pribadi
Gambar yang kiri menjelaskan reciprocity yang tidak berbalas atau tidak mengharapkan balasan.  Reciprocity ini sering kali melibatkan pertukaran antara keluarga atau teman. Tidak ada harapan akan balas budi; sebaliknya, kita hanya melakukan sesuatu untuk orang lain berdasarkan asumsi bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama untuk mereka.

Kemudian gambar yang tengah merupakan pola yang saya yakin hampir setiap dari kita akan berharap kebaikan atau pemberian akan berbalas hal yang sama. Dalam beberapa kondisi malahan berharap lebih.

Biasanya gambar yang di posisi tengah ini juga melibatkan hitung-hitungan yang sifatnya ekonomis antara nilai pertukaran dan harapan bahwa bantuan akan dikembalikan dalam jangka waktu yang ditentukan. 

Gambar terakhir di posisi kanan menjelaskan tentang pola yang ruwet. Iya, ruwet. Kenapa ruwet? Karena melibatkan banyak faktor. Ada faktor salah satu pihak mengharapkan berlebihan atau juga faktor-faktor pribadi. Gambar yang tengah ini juga biasanya melibatkan pertukaran yang sifatnya negatif.

Jadi gambar mana yang harus kita pilih? Bagi saya yang terpenting kita tahu menempatkan diri. Kapan harus mengharapkan balasan dan kapan kita harus mengikhlaskan. 

Yang terpenting jangan sampai kita terjatuh ke reciprocity yang ruwet dan negatif untuk diri kita sendiri ataupun orang-orang disekitar kita.

Kesimpulan Akhir

Dari uraian diatas memperlihatkan bahwa reciprocity bagaikan pedang bermata dua. Kita bisa menggunakannya untuk mengembangkan bisnis dan jaringan kita atau sebaliknya kita malahan terhanyut untuk melakukannya dengan tujuan yang negatif.

Semuanya terpulang kembali ke diri kita masing-masing. Yang jelas menurut saya reciprocity juga memungkinkan kita membantu orang lain menyelesaikan hal-hal yang tidak dapat mereka lakukan sendiri. Kerelaan menjadi kunci utama dalam hal ini.

Untuk mempertimbangkan bagaimana kita dapat menerapkan reciprocity, tanyakan pada diri kita:

1. Bentuk reciprocity apa yang cocok untuk kita?

2. Momen apa yang paling cocok untuk kita melakukan reciprocity?

3. Apa tujuan akhir dari reciprocity yang kita lakukan?

Tiga pertanyaan diatas akan memandu kita dalam mengaplikasikan reciprocity ini benar-benar menjadi bagian dari behavioral science yang bermanfaat secara positif baik untuk bisnis ataupun diri kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun