Mohon tunggu...
Siti Muawanah
Siti Muawanah Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Psikolog Klinis di Jakarta, berpraktik di Rumah Sakit dan secara online, anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Asertif, Cara Penyelesaian Konflik yang Melegakan

12 Oktober 2020   13:17 Diperbarui: 28 Mei 2021   14:38 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua orang saling berbicara/sumber gambar: dreamstime.com

"Aku sebenarnya enggak suka kerja kantoran gini, tapi ibu nyuruhnya begitu. Aku gak berani ngebantah ibu, takut ibu sakit hati"

"Suami saya kayaknya gak ngertiin saya deh. Gak paham gitu istrinya kerepotan, malah asyik aja main games atau bercanda-canda sama anak."

"Kesel deh sama si A.. Masa' dia sering banget main ambil aja snack di meja kerja gue, gak sopan ih. Pengen gue labrak tapi nanti urusan jadi panjang. Males tapi kesel juga. Gimana dong?"

Apakah anda familiar dengan kalimat-kalimat di atas? Pernah mengalami atau sedang mengalami kebingungan serupa saat ini? Ya, adanya konflik dalam hubungan sosial adalah suatu yang wajar dan dialami oleh banyak orang. 

Dalam hubungan dengan keluarga, teman, atau pasangan, adanya perbedaan nilai dan kebiasaan pada masing-masing individu dapat berpotensi menimbulkan konflik dalam relasi sosial yang dijalani. Jika konflik tersebut terus-menerus terjadi tanpa penyelesaian yang baik, dapat memunculkan ketidaknyamanan dan dampak negatif pada diri sendiri dan relasi tersebut.

Salah satu kunci utama yang dibutuhkan dalam penyelesaian konflik dalam relasi sosial ialah komunikasi. Komunikasi merupakan sarana yang membuat masing-masing pihak dapat saling mengungkapkan pikiran dan perasaannya dan saling memahami satu sama lain. Akan tetapi, tidak semua cara komunikasi dapat menghasilkan saling pengertian tadi. 


Seringkali, cara komunikasi yang salah justru membuat masalah semakin besar. Dalam artikel "Happy couples: How to keep your relationship healthy" (2020), penelitian menunjukkan bahwa cara berkomunikasi dengan pasangan adalah hal yang penting. 

Baca juga: Pentingnya Sikap Asertif Bagi Wanita Milenial

Gaya komunikasi yang negatif dapat berdampak negatif dalam relasi tersebut. Ketidaksesuaian/ketidaksetujuan merupakan hal yang lumrah dalam suatu hubungan, namun beberapa gaya komunikasi bersifat destruktif. Penggunaan strategi yang konstruktif merupakan cara yang lebih sehat untuk menghadapi konflik (APA, 2020).

Cara komunikasi yang sehat dapat dilakukan melalui Komunikasi Asertif.

Yaitu mengekspresikan perasaan dan mengungkapkan hak dengan tetap menghormati perasaan dan hak orang lain. Komunikasi asertif dilakukan secara langsung, terbuka, dan jujur, secara tepat mengungkapkan kebutuhan/harapan seseorang kepada orang lain. 

Orang yang menguasai kemampuan asertif, secara nyata, dapat menurunkan tingkat konflik interpersonal dalam hidup mereka (Scott, 2016). Menjadi asertif berarti kita menghargai diri kita sendiri (dengan berusaha mempertahankan hak kita serta mengekspresikan pikiran dan perasaan terkait hal tersebut kepada orang lain) dan juga menghargai orang lain (dengan menyampaikan hak kita dengan cara yang tidak menyakiti orang lain). 

Hal ini memungkinkan kita untuk dapat menemukan penyelesaian konflik dengan orang lain sehingga tekanan dan sumber stres dalam hidup kita bisa semakin berkurang.

Adams (1995 dalam Sinaga, 2016) menyebutkan bahwa kemampuan asertif yang dimiliki seseorang berdampak positif pada relasinya dengan orang lain, karena dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan harapan sehingga orang lain lebih mudah memahami dan bekerjasama menyesuaikan dengan harapan tersebut. 

Kemampuan asertif juga membuat seseorang menjadi lebih terbuka dan jujur sehingga membuka jalan orang lain untuk bersikap terbuka pula kepadanya sehingga prasangka negatif dan keretakan hubungan dengan orang-orang terdekat dapat dicegah. 

Dalam studi Fariba Pourjalia dan Maryam Zarnaghash (2010) ditemukan bahwa terdapat hubungan antara asertifitas dan kesehatan mental serta pentingnya menjadi asertif dalam menjaga kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi tingkat asertifitas, semakin baik kesehatan mental, dan sebaliknya.

Asertif versus Agresif - Pasif - Pasif Agresif

Paterson (2000) menyebutkan setidaknya tiga gaya komunikasi lainnya yaitu Komunikasi Agresif, Pasif, dan Pasif Agresif. Dengan memahami perbedaan gaya komunikasi, anda dapat terbantu untuk memahami komunikasi asertif lebih jelas sehingga lebih mudah menerapkannya kehidupan sehari-hari. 

Anda juga dapat mengevaluasi kembali, gaya komunikasi apa yang lebih sering anda gunakan kepada orang lain? 

Dengan memahami diri anda terlebih dahulu, anda dapat lebih menyadari dampak dari gaya komunikasi yang sering anda gunakan dan melakukan perubahan gaya komunikasi yang anda rasa perlu lakukan menjadi cara yang lebih sehat.

Komunikasi Pasif yaitu komunikasi yang menghindari konflik. Orang dengan gaya komunikasi ini cenderung akan menuruti/mengikuti apa yang diminta oleh orang lain kepadanya, sulit untuk menolak meski ia tidak suka melakukannya, cenderung mengikuti apa yang dilakukan/dipilih orang kebanyakan, dan enggan menyatakan pikiran/pendapatnya sendiri kepada orang lain. 

Gaya komunikasi ini berpotensi memicu stres dan perasaan tak berdaya dalam diri seseorang karena seringkali merasakan tekanan dari orang lain namun tidak berani untuk berterus terang.

Baca juga: "Syndrome Good Girl" dan Komunikasi Asertif, Apakah Berkaitan?

Komunikasi Agresif adalah sisi berlawanan dari komunikasi pasif. Alih-alih menuruti orang lain, orang dengan gaya komunikasi agresif cenderung berkeinginan agar orang lain menuruti mereka. 

Untuk mencapainya, orang dengan gaya komunikasi agresif dapat melakukan cara-cara yang keras untuk membuat orang lain menurutinya. Kita dapat menyadari gaya komunikasi agresif ini dari perilaku kurang menyenangkan, kasar, penuh kekerasan, dan memaksakan kehendak yang ditampilkan seseorang saat terlibat konflik dengan orang lain. 

Gaya komunikasi ini cenderung tidak dapat membantu menyelesaikan konflik karena justru akan memancing respon negatif dari orang lain. Akan sulit mengajak orang lain memahami dan berempati dengan diri kita saat perilaku kita justru memancing kemarahan mereka.

Komunikasi Pasif-Agresif, seperti namanya, merupakan kombinasi dari gaya pasif dan agresif. Orang dengan gaya komunikasi pasif-agresif merasakan kemarahan dalam konfliknya dengan orang lain sekaligus merasakan ketakutan untuk menyampaikan hak dan mengekspresikan perasaan secara langsung. 

Ketika menggunakan gaya komunikasi ini, seseorang menyamarkan tindakan agresifnya dengan cara yang tidak langsung sehingga dapat menghindari tanggung jawab atas agresifitasnya.

 Misalnya: suami merasa kesal dengan kecerewetan istrinya. Lalu dengan sengaja, ia sering pulang terlambat dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya sebagai balasan atas perilaku istrinya tersebut. 

Gaya komunikasi ini menyulitkan orang lain untuk memahami apa yang sebenarnya kita alami dan rasakan, karena tidak secara langsung diungkapkan. Perilaku pasif-agresif ini juga cenderung memicu konflik semakin membesar.

Lalu, bagaimana caranya melatih kemampuan komunikasi Asertif? 

Perlu kita ingat, asertifitas bukan merupakan strategi agar suatu hal sesuai dengan keinginan/cara kita. Asertifitas ialah kemampuan kita memahami bahwa kita bertanggung jawab atas perilaku kita sendiri dan memutuskan apa yang akan dan tidak akan dilakukan. 

Gaya asertif juga meliputi pemahaman bahwa orang lain bertanggung jawab atas perilaku mereka sendiri dan kita tidak berusaha mengambil kontrol atas diri/perilaku mereka. Kebanyakan dari kita tumbuh besar tanpa contoh bagaimana berperilaku asertif di lingkungan sosial. Akan tetapi, kemampuan ini adalah sesuatu yang dapat dipelajari (Paterson, 2000).

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk berlatih komunikasi Asertif:

  • Nyatakan secara faktual apa yang anda tidak sukai. Dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kita pada orang lain, kita perlu fokus pada perilaku yang kita harapkan berubah dari orang tersebut. Nyatakan deskripsi perilaku yang telah dilakukan, bukan menggunakan label/sebutan negatif atau kata-kata yang mengandung penilaian/tuduhan. Dalam perilaku asertif, sangat penting untuk tidak berasumsi sendiri mengenai alasan orang lain melakukan suatu hal.

Contoh Situasi: Beberapa kali, suami telat pulang ke rumah tanpa memberitahu terlebih dahulu.

Komunikasi yang kurang tepat: "Kamu kenapa pulang telat terus dan telepon aku gak diangkat? Kamu sengaja ya?"

Komunikasi asertif: "Jam pulang kantor kamu jam 19.00 bukan? Ada apa kamu akhir-akhir ini pulangnya jam 23.00?"

  • Jangan menghakimi atau melebih-lebihkan. Ketika menyatakan apa yang tidak kita sukai dari perilaku orang lain dan saat menjelaskan dampak yang kita rasakan atas perilaku tersebut, kita perlu menghindari kalimat yang melebih-lebihkan/dramatis dan kalimat yang menghakimi. Cukup deskripsi saja.

Baca juga: Menjadi Percaya Diri, Menarik, dan Disukai Banyak Orang dengan Komunikasi Asertif

Contoh

Kurang tepat: "kamu selalu begitu (melebih-lebihkan). Kayaknya emang kamu udah gak peduli lagi sama keluarga ya (menghakimi)"

Asertif: "Beberapa kali ketika pulang telat, kamu gak angkat telpon aku. Si adek nanyain papanya terus, aku juga jadi khawatir".

  • Gunakan body language (gestur tubuh) yang tepat. Tunjukkan sikap percaya diri dan tenang, misalnya dengan menjalin kontak mata saat berbicara, duduk dengan posisi yang nyaman, dan menggunakan nada suara yang jelas dan tenang.
  • Gunakan "I-message" Ungkapkan perasaan dimulai dengan apa yang anda rasakan terhadap perilaku tersebut. Mudahnya, mulai kalimat dengan kata "saya/aku...". Cara ini memungkinkan lawan bicara lebih mudah berempati kepada apa yang terjadi dalam diri kita terkait perilakunya tanpa membuatnya merasa dituduh/disalahkan. Dua kalimat dengan maksud yang sama dapat terasa berbeda. Sebagai contoh, coba rasakan perbedaannya:

"Kamu jangan cuekin telpon aku dong, diangkat teleponnya" versus "Aku lebih merasa tenang kalo kamu angkat telepon aku". 

Beberapa formulasi I-message yang dapat digunakan: 

"Saya merasa ....... saat anda ...." 

"Saya harap ....... " 

"Saya rasanya akan lebih nyaman kalau kamu ...."

  • Cari win-win solution. Tujuan komunikasi asertif ialah menemukan solusi dari masalah/konflik yang sedang terjadi. Diskusikan bersama orang yang bersangkutan mengenai cara yang dapat dilakukan agar masing-masing pihak dapat terpenuhi haknya dengan sesuai. Win-win solution seringkali berupa jalan tengah, dimana masing-masing pihak saling berkompromi dan menyesuaikan harapannya dengan harapan dari pihak lain.

Komunikasi asertif dapat membantu kita untuk menyelesaikan konflik hingga menemukan jalan keluar bersama tanpa memicu munculnya konflik baru. Dengan demikian, sumber stres dalam keseharian kita menjadi berkurang dan kita dapat fokus untuk mengembangkan potensi diri kita.

Mulai saat ini, yuk belajar mengenali gaya komunikasi diri kita sendiri dan berlatih gaya komunikasi yang lebih baik. Memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Dengan konsisten melakukannya dalam keseharian, kita akan semakin mahir dan terbiasa.

"Masa depan itu tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini." - Mahatma Gandi

Referensi 

APA. (2020). Happy couples: How to keep your relationship healthy.

https://www.apa.org/topics/healthy-relationships

Paterson, Randy J. (2000). The Assertiveness Workbook: How to Express Your Ideas and Stand Up for Yourself at Work and in Relationships. California: New Harbinger Publications,Inc.

Pourjali, F., & Zarnaghash, M. (2010). Relationship between assertiveness and the power of saying no with mental health among undergraduate student. Procedia Social and Behavioral Sciences 9.137-141.

Scott,Elizabeth.(2018). Reduce Stress With Increased Assertiveness |VerywellMind. https://www.verywellmind.com/reduce-stress-with-increased-assertiveness-3144971

Scott, Elizabeth. (2020). Learn Assertive Communication In 5 Simple Steps| VerywellMind. https://www.verywellmind.com/learn-assertive-communication-in-five-simple-steps-3144969

Sinaga, Yohanna A. (2016). Hubungan antara Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying di Jejaring Sosial pada Remaja. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun