Mohon tunggu...
Nanang E S
Nanang E S Mohon Tunggu... Guru - Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

Penggiat literasi yang mempunyai mimpi besar untuk menemukan makna dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fakta Baru Mengenai Nongkrong di Warung

23 Agustus 2017   22:24 Diperbarui: 24 Agustus 2017   06:10 2370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Suasana marung literat, guyon sambil nggarap tugas negara.

Bagi setiap orang pasti mempunyai cara tersendiri untuk menikmati hidupnya, ada yang cukup membaca buku, menulis, ternak burung, memandikan kucing atau anjing kesayangan, mendengarkan musik atau pergi ke warung. Khusus bagi yang suka ke warung (seperti saya), mari kita bahas bersama.

Bagi penikmat warung, warung sudah menjadi tempat penting untuk menenangkan diri. Maaf, sampai-sampai serupa tempat ibadah. Wajib untuk dikujungi setiap hari. Namun bagi yang tidak terbiasa marung, ketika mendengar warung mereka dengan cepat memikiran sesuatu yang negatif, macam; perkumpulan orang yang tidak jelas, tempat berkumpulnya hal-hal negatif, macam pisuhan; dancukan dan saudarannya, juga perlakuan aneh. Bahkan salah satu dosen saya, yang fanatik "anti warung" menyimpulkan dengan cepat bahwa mereka yang suka ke warung sudah dipastikan tidak baik. Buh, saya kaget, berati saya salah satu sosok yang tidak baik.

Namun tidak bagi guru spiritual saya, bisa berbanding berbalik. Ia sangat suka sekali ke warung, bahkan memaknainya sebagai pengajian jiwa. Sampai-sampai saat ini tengah merancang sebuah buku, hasil tour the warung, berupa pitutur luhur Jawa yang sengaja dirangkum dari obrolan-obrolan santai di warung.

Memang jika boleh jujur bagi yang sudah ngaji dunia perwarungan, maka akan memunculkan pengertian lain. Bagi saya serupa tempat ibadah, tepatnya ibadah sosial sebab di situ sering saya bertemu dengan syeh-nya pelaku kehidupan, seperti para sesepuh dan lainnya. Ini terkesan aneh tapi benar adannya, sebab warung tempat bagi siapa saja.

Bagi orang mlarat (miskin) bisa masuk warung, bagi orang kelas menengah bisa ke warung, apalagi bagi orang kaya sangat boleh sekali ke warung. Pokoknya siapa saja bisa ke warung. Serupa episentrum, inilah yang selanjutnya orang-orang yang memiliki berbagai latar belakang, pengetahuan, status, dan sebagainnya akan berkumpul menjadi satu. Dan tidak jarang akan memunculkan diskusi kecil yang menarik dan membuat kita lebih waras.

Seperti pengalaman beberapa waktu lalu, saat marung di salah satu warung di Ponorogo. Ditemani tiga orang sahabat kami ngobrol ngalor ngidul. Banyak hal bermunculan yang kemudian menjadi bahan pembicaraan --tapi maaf ini bukan rasan-rasan--, tepatnya diskusi. Sampai-sampai warung kecil; ankgringan tepatnya, atau kalau di Solo hik namannya, sedangkan di Semarang biasa disebut kucingan, berubah seperti ruang diskusi yang sangat menarik. Lebih menarik dari diskusi di kantor DPR yang sering gelut (bertengkar) seperti adik saya sewaktu duduk di bangku TK, bahkan tidak jarang sampai mutung (ngambek) dan tidak mau diskusi.

Meski santai, diskusi "warungan" saya rasa lebih mendalam, meski dibumbui guyonan, nyeruput kopi, nyeruput es parem yang nikmat, juga suasana yang santai. Pembahasannya lebih mendalam ke konteks sosial langsung. Tidak hanya diterawang, dan kenyataannya hanya dalam bentuk teks saja.

Foto: Marung bersama suhu literasi, di warung Mbok Nem Tonatan Ponorogo.
Foto: Marung bersama suhu literasi, di warung Mbok Nem Tonatan Ponorogo.
Bahkan diskusi di warung itu serupa menilik kehidupan, di sambung beberapa sesepuh, tukang bengkel, sales, tukang becak, tukang ojek, pengangguran, satpam, petani dan pengusaha kucing, pokoknya lengkap. Mereka membuat isi diskusi lebih berwarna. Dimulai dari obrolan mengenai harga garam yang sempat menjadi perbincangan yang alot.

Bu Supi penjual warung yang awalnya ora ngglape (tidak memperhatikan) obrolan kami dan hanya sibuk melayani pembelinya tiba-tia nyambung, "Yo mas moso rego uyah ae nekek gulu" (Iya Mas masa harga garam saja mahal sekali---nekek gulu---pemataforan dari mahalnya harga garam), sahutnya dengan serius. Aku kaget, dan berpikir "wah ini diskusi yang sangat menarik".

Bagi penjual warungan, seperti Bu Supi, garam sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bagaimana tidak, mau bikin pecel kalau tidak menggunakan garam tidak enak, buat lodeh kalau tidak pakai garam tidak enak, buat soto kalau tidak ada garam juga tidak enak, mau buat sayur ayam kalau tidak ada garam juga tidak enak. Pokokonya hidup Bu Supi kalau tidak ada garam tidak enak. Sebab garam seperti mantra yang mempengaruhi pembeli untuk kembali ke warungnya.

"Sak umur-umur ya ijek iki rego uyah larang banget" (Seumur hidup baru kali ini harga garam begitu mahal), lanjut Bu Supi, seperti mendapatkan ruang untuk melampiaskan protesnya. Dari arah kanan, Pak Umar sesepuh setempat menambahi diskusi kami, "Iyo Mas, mbiyen uyah kenek tak gawe campuran rabuk neng kebun, sakiki wes gak iso, regane ora kuat" (Iya Mas, dulu garam bisa saya buat campuran pupuk di kebun, sekarang sudah tidak bisa, hargannya sangat mahal), sahutnya. Dari depan, Supeno seorang satpam sontak menambal "terah ya cuk kok, marai mumet wong cilek" (memang cuk kok, bikin pusing orang kecil), sedikit erotis memang ucapannya, tetapi renyah dan tidak sedikit bikin orang lain tertawa.

Terlebih lagi ditimpali dengan sahutnya Pak Terjo tukang becak yang nampak kelelahan, "Yo opo gunane negoro merdeka nek rakyate bendino mikir urip ae ijek susah koyok ngene, wes lekas ayem, rego pangan diundakne," (ya apa gunanya negara merdeka kalau rakyatnya setiap hari mikir hidup saja susah seperti ini, sudah mulai nyaman, harga makanan dinaikkan), jelasnya kemudian nyruput kopi cingkirnya.

 Diskusi itu menjadi lebih menarik, sahut bersahut sampai menjalar ke topik lainnya, salah satunya mengenai Pajak. Barangkali tidak kalah ngeri jika membahas mengenai pajak, sebab praktiknya dikeluhkan oleh masyarakat. Jika dirunut lebih jauh ke dalam hati masyarakat, sontak mereka menolak keras-keras, "lemah-lemahku dewe, tak open-openi dewe, la kok ijek dipajeki, larang sisan" (tanah-tanahku sendiri, saya hidup-hidupi sendiri, la kok dipajeki, terlebih pajaknya mahal), protes Pak Umar yang sepertinya memang gemes dengan keadaan saat ini.

Bukan apa-apa, naiknya tarif pajak dan naiknya harga pokok tidak seindah naik gaji kok. Bisa menjadi musibah bagi mereka. Terlebih masyarakat menengah ke bawah. Barangkali keadaan demikian persis seperti beberapa lirik puisi Ahmadun Yosi Herfanda, demikian; //aku masih tertatih/ di bawah patung kemerdekaan yang letih// dan di akhir dengan tegasnya //karena, itu maaf, saat engkau/ menyapaku, merdeka?/ dengan rasa sembilu/ aku masih menjawab, belum// sebab paradoks dan ironi tumbuh subur di deretan kehidupan sosial saat ini.

"Terus kedah pripun nek sampun ngoten niki Pak",(terus harus bagaimana kalau sudah seperti ini Pak?), sahutku. "Ya piye maneh mas, kudu narimo, paleng yo wes dalane seng kuoso, anggap wae amal nglakoni lelampahane ing ndonyo Mas, penting akur karo dulur lan tonggo" (bagaimana lagi Mas, harus menerima, mungkin sudah jalannnya yang Kuasa, anggap saja amal menjalani perjalanan di dunia Mas, penting baik dengan saudara dan tetangga) begitu mentes (mantep) sahut Pak Umar, seorang mekanik motor. Penjelasan Pak Umar ini jika dirunut lebih lebih jauh serupa pereda hati yang jengkel. Jika disampaikan ke tempat lebih tinggi (pemerintah), mewakili protes ketidakadilan yang semakin tumbuh subur.

Foto: Suasana santai saat ngopi bersama Mas Iskandar (Presiden Kompasiana) dan Pak Tejo (Ketua Adat Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo)
Foto: Suasana santai saat ngopi bersama Mas Iskandar (Presiden Kompasiana) dan Pak Tejo (Ketua Adat Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo)
Selain pengalaman di Trenggalek,  pengalaman warung yang menarik juga saya dapatkan beberapa waktu lalu. Saat njamu presidennya kompasiana Mas Iskandar, ditemani rekan-rekan kompasianer ponorogo; Mas Nanang Diyanto, Mas Aziz, Mas Agus, juga Pak Tejo (pendiri Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo).

Kami ngobrol di sebuah warung. Ini agak moderen, sang pemilik sudah menamainnya sebagai cafe, namun saya masih meyebutnya sebagai warung. Pertemuan itu mengundang diskusi panjang kali lebar kali lebar. Mulai dari sejarah Ponorogo, kebudayaan Ponorogo, tentang konflik sosial, tentang akademika, teori. Apa saja pokonya di bahas. Meski pertemuan berlangsung malam, diskusi warungan itu terasa masih sore, begitu alot. Menyatukan sudut pandang keilmuan menjadi satu kesimpulan yang menarik. 

Foto: Suasana asik saat marung di coffee pustaka Malang.
Foto: Suasana asik saat marung di coffee pustaka Malang.
Selain itu juga saat marung di Malang, tepatnya di coffee pustaka. Itu menjadi pengalaman yang menarik, sebab saya bisa bertemu dengan para suhu, ada Masuki M Astro (redaktur di salah satu media masa nasional), Pak Romel (SMK Salahuddin Malang), Mas Arif (aktivis pendidikan di Malang), Pak Gatot (dosen UM), Pak Tejo (Pendiri Sekolah Literasi Gratis) dan beberapa aktifis literasi. Semua berumpul membawa pemikiran yang sangat luar biasa. Ditemani kopi, kentang goreng, roti dan tidak lupa rokok.

Obrolan lahir ngalor ngidul. Begitu banyak materi menarik yang bermunculan dan menjadi bahan pembahasan bersama, (i) soal relitas sosial yang menjadi keluhan bersama, (ii) soal pemerintahan yang menjadi ironis bersama, (iii) soal ide-ide gila dari orang-orang gila (ngawur tapi pinter) yang jeluntrungnya lebih menyuburkan tatanan sosial, (iv) juga mengenai sejarah perjuangan yang mulai mereduksi di jaman ini, dan masih banyak yang lain.

Itulah suasana warung yang perannya bisa sebagai terapi kehidupan. Sebab banyak teman, kalau lagi susah, di warung kita masih menjumpai orang yang lebih susah. Ini yang kemudian membuat lebih bersyukur. Kalau sedang senang, di warung kita bisa menjumpai orang-orang yang kurang senang, itulah kemudian sewajibnya kita melebihkan untuk bersyukur, terlebih bisa berbagi kesenangan.  

Sampai-sampai melalui diskusi sederhana warungan, ada pesan penting yang dapat dipetik dan kemudian dijadikan pelajaran berharga dalam kehidupan ini. Barangkali ungkapan Pak Umar di akhir menjadi kata kunci yang menarik untuk dijabarkan. Dalam pandangan Jawa yang disampaikan Pak Umar masuk dalam salah satu hasta sila,yakni sikap narima(menerima), menerima jalan kehidupan yang diberikan Sang Kuasa.

Melalui permasalah yang ada saat ini, contoh kecilnya masalah pajak, dan harga pangan yang naik, sikap narima barangkali bisa menjadi alat kerelaan untuk ikhlas menerima. Meski dalam konteks kehidupan sosialnya keadaan demikian disinyalir ditompangi kepentingan-kepentingan tertentu.

Namun sekali lagi, ajaran menerima juga dirasa penting untuk meyakinkan diri bahwa ini sebagai jalan Tuhan untuk memberikan kebaikan. Masalah kepentingan-kepentingan, sepenuhnya telah menjadi kepasrahan manusia kepada Sang Kuasa untuk memilih mana yang semestinya diberi kebaikan dan mana yang semestinya diberikan peringatan, seperti istilah adik saya "ben doso dewe (biar dosa sendiri)".

Perjalanan warungan tidak selamanya negatif. Selain hargannya yang murah, menunya juga tidak kalah enak, warung juga bisa memunculkan hal-hal yang positif. Meski bercampur bahasa macam; dancukan, dan lainnya, namun jika diramesi dengan ilmu sosial yang objektif, mengandung makna strategis dan bermakna. Tidak semua dancuk berefek negatif, seperti di Ponorogo, Trenggalek, terlebih Surabaya, cukini bisa semacam keakraban yang lebih merekatkan, juga ekspresi dancukannya bisa menjadi guyonan yang menarik. Bahkan bagi Sujiwo Tejo, dancuk bisa menjadi dirinya, yakni presiden jancukers, yang selalu menjadi sebuah kerinduan, dan makna mendalam.

Bagi saya tour the warung selalu memberikan pengalaman baru, seperti saat marung di Trenggalek saya mendapatkan ilmu narimo. Setelah dipikir-pikir, dan didalami, sedalam-dalamnya sikap narima sangat penting dalam mewujudkan kehidupan sejati. Dan ini jarang kita temukan di restoran-restoran, diskotik, mall, dan sebagainnya. Sebab di dalamnya tidak ada pelajaran sederhana, seperti kita empati terhadap situasi mlarat/ miskin, tidak punya apa-apa, ikut merasakan naiknya harga garam, juga parahnya harga pajak.

Di dalamnya selalu disuguhkan sesuatu yang serba mewah, bahkan orang (maaf) yang aslinya miskin sok-sokan menampakkan ketercukupannya. Aktivitas-aktivitas seperti itu yang kadang bisa melupakan untuk memikirkan hal-hal kecil dibaliknya. Sekaligus menjadi salah satu alasan saya kenapa sering tour the warung. Sebab ibarat makanan komposisinya lengkap. Kita tidak saja disuguhkan rasa manis, rasa daging, tapi juga rasa-rasa lain yang unik.    

Mari, sesekali alihkan tourmu untuk pergi ke warung. Sampai menyelam ruang diskusi sederhana. Tour untuk kesenangan sesaat saja itu sudah biasa. Tapi alangkah indahnya kita mendapatkan kenikmatan perjalanan dengan kaum warungan, yang hikmahnya bisa menjadi semacam ilmu sepiritual. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun