Mohon tunggu...
Nanang E S
Nanang E S Mohon Tunggu... Guru - Orang yang tidak pernah puas untuk belajar

Penggiat literasi yang mempunyai mimpi besar untuk menemukan makna dalam hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Bibir dalam Dompet

25 Februari 2017   17:43 Diperbarui: 25 Februari 2017   17:56 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini kekasihku, maukah kau kuracuni manis bibirku (pinterest.com)

“Buka!” Ucap Tuan memerintahku untuk membukanya.

Lantas tanganku pelan-pelan membuka dompet yang berukuran besar dan tebal itu. Tak habis fikir, baru sekali aku memegang dompet Tuan. Ku buka pertama, terlihat foto istrinya dan sederet ATM yang entah berapa jumlahnya, tak sempat mengitungya.

“Lihat di dalamnya.” Perintahnya kembali. Setelah kubuka sontak aku kaget melihat apa isi dompet itu.

“Ini beneran Tuan?, atau hanya sekedar mainan anak-anak?”

“Itu asli, apa kau tak melihat sisinya tercecer darah yang mengering. Coba kau cium kau akan mencium bau amis. Itu bearti itu sungguhan” Jelas Tuan Meyakinkanku.

“Tapi, darimana Tuan mendapatkan ini?” Tanganku menjadi gemetar setelah melihat dompet itu yang ternyata berisi sobekan bibir manusia yang lengkap dengan pewarna bibir di kulitnya. Sisi-sisi dompet itu juga terlihat bercak darah yang sudah mengering. Sampai saat pertama ku buka, bau amis seketika menyengat hidungku.

“Aku merobeknya dari bibir istriku. Malam kemarin, saat aku menelponmu dan lama aku tinggal, kau pasti tau apa yang terjdi dari suara teleponku malam itu. Malam itu kami bertengkar, sampai akhirnya taganku lepas control meraih vas bunga di sampingku dan kulemparkan kepada istriku yang saat itu marah-marah memaksaku untuk membelikan rumah baru di samping taman kota. Kamu tau sendiri bagaimana sifat istriku saat meminta sesuatu. Saat itu juga harus ada. Rumah di samping taman kota. Ku kira ia telah gila, mana mungkin ada lahan kosong di samping taman kota. Coba kau ingat di sana sudah dibangun gedung-gedung pemerintahan, dan mana boleh gedung itu saya beli. Sudah kujelaskan malam itu, tapi tetap saja istriku memaki-makiku, suami tak syang istri, suami tak bertanggung jawab, sampai ia mengancam menceraikanku dan mencari suami pejabat agar ia bisa tinggal di gedung pemerintahan di samping taman kota. Saking jengkelnya, vas bunga itu mengenai pelipisnya. Seketika ia pingsan, dari balik matanya keluar banyak darah. Aku semakin gugup dan entah mau berbuat apa. Jika aku bawa ke rumah sakit, setelah sembuh ia pasti akan bercerita kejadian malam itu kepada banyak orang. Jelas ia akan mengolok-olokku dan memperkuat alasan untuk menggugat perceraian.” Jelas Tuan panjang lebar, yang membuatku diam tidak percaya dengan apa yang diceritakannya.

“Lalu sekarang istri Tuan dibawa kemana?” Tanyaku dengan wajah pucat mendegar cerita itu.

“Setelah kejadian malam itu, aku sangat menyesalinya sampai sekarang. Bibirnya aku keringkan dan kutaruh di dompet itu. Biar setiap hari aku bisa menciuminya sedikit mengurangi rasa rindu. Hatinya aku keringkan dan kumasukkan ke dalam kotak kaca. Aku abadikan, sebagai saksi aku akan menyimpan hatinya dengan baik. Matanya aku taruh berdampingan dengan hatinya. Karena hati dan matanyalah yang membuatku jatuh cinta padanya. Telinganya aku gunakan sebagai gantungan kunci mobil dan kunci kamar. Sedangkan tubuhnya yang lain aku tanam bersama kenagan dan penyesalan dalam tanah di bawah ranjangku.” Tuan bercerita sambil meneteskan air mata.

“Maksud Tuan. Tuan menguburnya di bawah ranjang?” Tanyaku dengan tangan yang semakin gemetar. Awalnya aku tak yakin dengan ceritanya. Sampai ia mengantarkanku ke dalam kamarnya. Tepat disamping tempat tidurrnya terlihat sebuah hati yang mengering dan sepasang kelopak mata. Bibirku kaku, dan tubuhku semakin gemetar. Tuan terlihat tenang, hanya saja mukanya pucat. Kemudian ia menggeser ranjangnya ke belakang. Tepat dihadapanku bekas cor-coran nampak bercampur percikan darah di sekelilingnya.

“Kau orang satu-satunya yang aku ceritakan mengenai hal ini. Untuk itu ini, telepon polisi dan bilang apa adanya seperti apa yang kau lihat malam ini, serta seperti apa yang aku ceritakan padamu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun