Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Majunya Teknologi Tanpa Pemahaman, Malah Memanipulasi Karakter dan Menghambat Potensi Diri

25 Juli 2021   13:29 Diperbarui: 27 Juli 2021   11:20 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemajuan teknologi, namun malah memanipulasi karakter dan menghambat potensi diri | Foto: Scott Webb/Unplash

Mengikuti webinar Kraton Jogja yang menghadirkan narasumber Prof. Koentjoro, Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gajah Mada, seperti menjawab pertanyaan saya, tentang apakah kemajuan teknologi memajukan pola pikir dan perilaku manusia atau malah memundurkan?

Pertanyaan ini muncul dikarenakan semakin banyak orang yang mengalami stres, tindak kriminalitas semakin banyak, rasa menghakimi orang lain semakin besar, kata-kata yang terlontar di media sosial seringkali tidak ada tata krama, kurangnya pemahaman betapa bahayanya pencurian data, dan seterusnya.

Sang profesor tidak menjelaskan tentang apa yang ingin saya tulis di sini, namun apa yang beliau sampaikan mendorong saya menyusun puzzle demi puzzle jawaban atas pertanyaan yang saya pikirkan. 

"Ketika kita menimba ilmu, haruslah kita olah pikir, dirasai, dilakoni", itulah sepenggal kalimat Prof. Koentjoro, termasuk "Saat kita menerima informasi, jangan yang lama dibuang, tapi dikumpulkan, dipahami, kemudian baru disimpulkan".

Teknologi yang semakin maju, serta membuka mata kita untuk melihat dunia luar, termasuk budayanya, menurut saya, membuat kita menjadi seperti orang lain. Bahkan standar berwawasan, pintar, dan terdepan haruslah mengikuti negara luar, khususnya negara Barat.

Saya akui bahwa banyak ilmu pengetahuan yang berasal dari negara Barat, namun sepertinya tidak pas kalau kita mendapatkan pengetahuan tersebut secara telek-melek, tanpa dipahami dulu karakter dan potensi diri yang sebenarnya.

Ilustrasi pembangunan properti yang tidak disesuaikan dengan keadaan alam di Indonesia | Foto: Tobias Bjørkli on Pexels.com
Ilustrasi pembangunan properti yang tidak disesuaikan dengan keadaan alam di Indonesia | Foto: Tobias Bjørkli on Pexels.com

Misalkan pengetahuan tentang pembangunan properti.

Negara kita memiliki kekayaan alam yang berlimpah, seperti sumber air yang berlimpah, kekayaan alam hijau yang berlimpah, bahkan saking rimbunnya, negara kita, di Kalimantan Barat dinobatkan sebagai paru-paru dunia pada tahun 2007.

Namun kekurangannya negara kita yang ternyata terletak pada tiga lempeng utama dunia, yakni lempengan Australia, lempengan Eurasia, dan lempeng Pasifik, sehingga negara ini rawan terjadi gempa bumi. 

Kondisi topografis Indonesia, yakni memiliki lereng yang kemiringan yang curam cenderung mengakibatkan banjir dan berpotensi tanah longsor.

Pembangunan properti masa dulu selalu dikatakan lebih kuat, bahkan ketika ada gempa bumi, kecil sekali kemungkinan bangunan bisa runtuh dan hancur. 

Seperti, pembangunan arsitektur yang berada di Yogyakarta, usianya sudah ratusan tahun. Menurut pengakuan Abdi Dalem yang menjaga Pemakaman Raja Mataram disebelah Masjid Kotagede, bangunan di sana sama sekali tidak rusak, malah sangat mengikuti arus gempa bumi. 

Kekuatan kayunya dan cara membangunnya sampai dipelajari dan diteliti oleh orang Jepang, yang negaranya juga sama seperti kita, rawan gempa bumi. 

Namun sungguh disayangkan karena ketika ada pihak dari Indonesia telah memiliki pengetahuan tentang pembangunan properti, sepertinya pengukuran dan daya tahannya tidak disesuaikan dengan kondisi alam kita yang rentan gempa bumi, banjir dan tanah longsor. Malah perhitungannya disesuaikan dengan standar Eropa atau Amerika Serikat, yang negaranya rentan angin tornado dan angin topan.

Akibatnya semakin kesini, rumah tinggal ataupun apartemen cenderung mudah roboh ketika "tersenggol" oleh gempa bumi. Kebanjiran, dan tidak sedikit pula yang kehilangan rumah akibat tanah longsor.

Demi mendapatkan keuntungan materi pun, properti yang saat itu sempat naik daun untuk dijadikan investasi, alam hijau kita pun tergerus. Sungai pun diuruk demi mendapatkan lahan untuk pengadaan pembangunan. 

Pembangunan gedung tinggi terus diadakan, tanpa memperhitungkan penyedotan air tanah yang menyebabkan permukaan tanah kita akan menurun dan akan menyebabkan intensitas bencana banjir semakin banyak, belum lagi negara ini sudah mulai memiliki potensi kekurangan air bersih.

Pengetahuan teknologi yang didapat hanya didasari oleh olah pikir semata, tanpa dirasai atau dimaknai terlebih dahulu, akhirnya malah cenderung membunuh karakter alam negeri kita, serta potensi negeri ini untuk terus memiliki kekayaan alam yang subur.

Akhirnya kecenderungannya adalah mengutamakan perekonomian, sebagai standar kemakmuran dan kesuksesan, tanpa menyeimbangkan diri dengan hati nurani, dengan memikirkan kepentingan orang banyak di masa mendatang.

Ilustrasi standar kecantikan wanita menerima kulit kecokelatan seperti yang disukai orang bule | Foto: Armin Rimoldi via Pexels.com
Ilustrasi standar kecantikan wanita menerima kulit kecokelatan seperti yang disukai orang bule | Foto: Armin Rimoldi via Pexels.com
Kemudian standar kecantikan wanita, di mana kalau tidak menerima diri memiliki kulit kecokelatan (sawo matang) seperti orang Barat (berkulit putih) berarti kurang berwawasan.

Sebagai wanita, tentu saya ingin mengikuti standar kecantikan, hingga mencari banyak informasi supaya mendapatkan standar kecantikan wanita pada umumnya. 

Dalam pencarian tersebut saya malah mendapatkan literatur (saya lupa judul buku dan artikelnya) yang menjelaskan mengapa ada standar kecantikan, kemudian mengapa standar kecantikan orang kulit putih di negara Barat dengan orang yang tinggal di negara tropis itu bisa berbeda.

Ternyata standar kecantikan tersebut ada hubungannya dengan perilaku kelas sosial. 

Sangatlah lumrah dan manusiawi ternyata, kalau manusia itu akan cenderung meng-copy apa yang dilakukan oleh orang kaya. Apalagi standar kesuksesan dan kemakmuran, serta kebahagiaan kita didunia ini berupa materi. 

Di negara Barat, dulunya yang merupakan orang kaya adalah orang berkulit putih. Hanya orang-orang kaya inilah yang mampu pergi ke luar negeri, salah satunya negara tropis. 

Kulit kecokelatan sehabis berkunjung ke negara tropis dianggap sebagai gengsinya orang kaya. Untuk itu, tidak aneh kalau orang Barat berkulit putih menginginkan warna kulit yang kecokelatan, bahkan menciptakan mesin tanning sebagai pengganti berjemur di negara tropis.

Berbeda dengan negara tropis, yang dulunya memiliki kecenderungan bekerja dibawah terik matahari. Sulit bagi orang yang tinggal di negara tropis untuk menghindari sinar matahari, kecuali berada didalam rumah saja. Tidak heran, kulit kita yang tinggal di negara tropis cenderung cokelat dan hitam.

Nah, biasanya yang seringkali berada di rumah saja, atau tidak terlalu bekerja banyak diluar rumah adalah orang kaya atau bisa juga para bangsawan. Dengan kurangnya terkena paparan sinar matahari, maka kulit para orang kaya negara tropis ini cenderung putih atau kuning langsat.

Jadi tidak heran, kalau ada stigma tentang standar kecantikan wanita haruslah berkulit putih atau kuning langsat, apalagi standar tersebut sudah didoktrin secara turun-temurun, ditambah dengan adanya iklan produk kecantikan yang membentuk mindset dan imajinasi bahwa cantik itu harus seperti ini.

Hal ini tidak terjadi di Indonesia saja, tapi terjadi di negara lainnya, termasuk negara Barat, cuma cara pandangnya berbeda dikarenakan perbedaan perilaku status sosial.

Dengan begitu, memang sebagai wanita Indonesia, kita perlu mendobrak standar kecantikan yang sudah lalu, karena zaman globalisasi ini sudah membuka mata dan pikiran kita bahwa masing-masing wanita memiliki kecantikannya sendiri. 

Namun bagi orang yang masih memiliki standar kecantikan yang lama, bukan berarti orang tersebut tidak berwawasan, karena di sana ada latar belakang sejarah dan budaya yang mengiringi standar tersebut. 

Penjelasan dari literatur tersebut membuka pikiran saya bahwa informasi, pada masa globalisasi ini, yang dengan mudah kita dapatkan dari luar negeri, atau mungkin bisa saja kita berteman dengan orang Barat, atau bisa juga kita pernah tinggal di sana dalam beberapa waktu, kalau tidak kita pahami dulu dengan melihat sejarah dan budayanya pada masing-masing negara, kita akan terjebak untuk mengikuti standar negara lain yang terlihat lebih maju dan kekinian. 

Padahal bisa jadi standar negara luar, tidak sama dengan budaya dan nilai-nilai negeri kita. Kampanye untuk mencintai diri sendiri, dengan bangga dengan kulit wanita Indonesia yang cenderung kecokelatan, malah seperti memberikan standar baru bahwa yang cantik dan berwawasan itu kalau bangga dengan kulit kecokelatan seperti orang Barat yang berkulit putih.

Tidak menutup kemungkinan nantinya malah untuk mendapatkan kulit kecokelatan, akhirnya para wanita malah ingin membeli produk-produk dari luar negeri, agar memiliki standar kecantikan yang sama dengan negara luar.

Hmm.. bukankah hal tersebut seperti memanipulasi karakter kita dan malah menghambat potensi diri?

Mungkin akan lebih baik kampanye mencintai dan bangga pada diri sendiri bukanlah membandingkan standar kecantikan kita dengan negara lain, namun meningkatkan literasi, pemahamaan diri sendiri, serta membantu para wanita ini untuk melihat potensi alam negeri kita sebagai produk perawatan diri.

Dengan begitu pengetahuan yang kita dapatkan dari teknologi, dipahami terlebih dahulu, disesuaikan dengan karakter dan potensi kita, beserta lingkungan kita, baru kemudian bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ilustrasi miskomunikasi karena perbedaan pemahaman bahasa | Foto : Linkedin.com
Ilustrasi miskomunikasi karena perbedaan pemahaman bahasa | Foto : Linkedin.com

Bisa menguasai bahasa asing dengan lancar berarti pintar dan maju, sedangkan banyak orang Indonesia dipelosok sana yang tidak mendapatkan materi pelajarannya.

Menguasai bahasa asing dulunya merupakan sesuatu yang lumrah, terutama saat jalur sutera dibuka. Banyak orang asing, seperti India, Arab, dan China, serta orang Eropa yang datang berdagang di Nusantara.

Penguasaan bahasa asing digunakan untuk bisa bertahan hidup, apalagi saat masa penjajahan berlangsung. Terjadi kesenjangan sosial antara penjajah, bangsawan, saudagar dengan rakyat kecil yang hanya bisa nerimo nasib. 

Mulailah terjadi standarisasi bahwa menguasai bahasa asing berarti pintar dan maju, sedangkan orang yang hanya memahami bahasa daerah ataupun Melayu (bahasa yang ada pada masa itu) dianggap rendah.

Kemerdekaan Indonesia diraih dan penggunaan Bahasa Indonesia semakin digalakkan agar kita bisa bersatu padu dan tidak lagi mudah diadu-domba oleh negeri asing. Namun sayangnya penguasaan bahasa Indonesia ini masihlah belum merata, ditambah lagi pendidikan kita hingga kini masihlah timpang.

Zaman globalisasi, ditambah teknologi yang canggih seperti membuka mata dan pikiran kita semakin luas. Informasi yang didapat semakin banyak, bahkan membuat kita lebih mudah belajar bahasa asing. 

Sekolah-sekolah bertaraf internasional pun bertebaran di mana-mana, namun sekali lagi, sayangnya belum merata ke seluruh Indonesia, terutama dalam segi kualitas.

Perlu kita sadari bahwa Indonesia merupakan negara yang masih berkembang. Kita memiliki ragam bahasa yang berbeda-beda, dengan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Alangkah sayangnya apabila Bahasa Indonesia malah ditinggalkan, karena dianggap tidak pintar dan maju kalau menguasai bahasa tersebut.

Yang merasa sudah masuk dalam kata standar kecerdasan dengan menguasai bahasa asing, malah terus meroket dengan teknologinya, tanpa menyadari bahwa ada orang Indonesia didaerah lain yang bisa jadi belum memahami bahasa asing. 

Misalkan saja seperti pemilihan istilah social distancing pada awal Covid-19 masuk ke Indonesia. Memang secara internasional istilah tersebut bisa dipahami, bagi orang yang memahami bahasa asing pastinya mengerti istilah tersebut. 

Namun, bagi orang yang belum menerima pendidikan Bahasa Inggris atau mungkin baru mulai mempelajarinya, bukankah mereka bingung, "apa itu social distancing?". 

Kemudian beredarlah foto dan video banyak orang yang tidak menjaga jarak sama sekali di sosial media. Penilaian, kecaman, dan penghakiman dari warganet yang melihat, tanpa memahami terlebih dahulu apakah mereka memahami kebijakan pemerintah atau tidak, terus dilontarkan, misalnya dengan menulis komentar, "Oh, Gosh! Kenapa mereka don't want to matuhi kebijakan government sih, dasar warga +62", akhirnya terjadilah kesenjangan pemahaman bahasa.

Yang dihakimi merasa tidak salah karena tidak memahami, yang menghakimi merasa aneh terhadap perilaku orang yang tidak menaati peraturan.

Bila penggunaan dan pemahaman bahasa terus mengalami kesenjangan, tidak menutup kemungkinan antar orang Indonesia akan saling tidak mengerti satu sama lain. Bahkan anggapan pintar dan bodoh akan semakin kentara, memperlebar jurang simpati dan empati antar orang Indonesia secara sosial dan ekonomi.

Saat ini terjadi, tidak menutup kemungkinan pula, kita akan mudah terjebak dalam bayang-bayang masuk kedalam penjajahan negara maju, karena kita secara tidak langsung ingin menjadi negara maju, dengan meng-copy ucapan dan perilaku mereka, tanpa benar-benar memahami karakter dan potensi diri kita yang sebenarnya.

Andai kemajuan teknologi ini kita pakai dengan mempelajari bagaimana cara negara A bisa maju, kemudian kita memahaminya, dan menggunakan teknologi tersebut dengan membantu teman-teman kita, warga +62, untuk mendapatkan akses pendidikan lebih mudah, atau misalkan membuat aplikasi supaya mereka yang disana juga gampang belajar bahasa asing secara gratis, tentu kita bisa sama-sama menjadi negara yang setidaknya melangkah maju bersama.

Tidak berusaha menghegemonikan diri dengan negara lain yang karakter dan potensinya berbeda dengan negeri dan bangsa kita.

Dari poin-poin ini saya baru memahami bahwa kemajuan teknologi sangat baik, selama kita memahami ilmu dan cara memakainya, seperti penggunaan media sosial. Apa tujuan media sosial itu sebenarnya, bagaimana berinteraksi di media sosial, apa yang menyebabkan media sosial menjadi candu, dan seterusnya.

Setelah itu barulah kita menyesuaikan dengan karakter dan potensi diri kita, bukan membuat diri kita menjadi copy-an negara luar, yang bisa jadi kita terlihat maju dan berwawasan, namun ternyata belum tentu menguntungkan diri kita sendiri. 

Seperti contoh menyukai warna kulit kecokelatan (warna kulit orang Indonesia pada umumnya), supaya masuk dalam standar cantik dan berwawasan ala orang Indonesia, namun standarnya harus kecoklatan seperti orang bule. 

Lalu perilaku selanjutnya, malah membeli produk-produk dari luar negeri agar terlihat eksotik. Produk dalam negeri dianggap kurang bisa menampilkan kulit yang eksotik seperti yang disukai orang bule. (Ini hanya contoh saja, jangan diambil hati, ya..)

Saya sangat belajar dari cara Prof. Koentjoro, ketika mendapatkan ilmu pengetahuan seyogiyanya dipikirkan terlebih dahulu, dipahami baik-baik, baru kemudian dilakukan.

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun