Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Majunya Teknologi Tanpa Pemahaman, Malah Memanipulasi Karakter dan Menghambat Potensi Diri

25 Juli 2021   13:29 Diperbarui: 27 Juli 2021   11:20 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemajuan teknologi, namun malah memanipulasi karakter dan menghambat potensi diri | Foto: Scott Webb/Unplash

Kondisi topografis Indonesia, yakni memiliki lereng yang kemiringan yang curam cenderung mengakibatkan banjir dan berpotensi tanah longsor.

Pembangunan properti masa dulu selalu dikatakan lebih kuat, bahkan ketika ada gempa bumi, kecil sekali kemungkinan bangunan bisa runtuh dan hancur. 

Seperti, pembangunan arsitektur yang berada di Yogyakarta, usianya sudah ratusan tahun. Menurut pengakuan Abdi Dalem yang menjaga Pemakaman Raja Mataram disebelah Masjid Kotagede, bangunan di sana sama sekali tidak rusak, malah sangat mengikuti arus gempa bumi. 

Kekuatan kayunya dan cara membangunnya sampai dipelajari dan diteliti oleh orang Jepang, yang negaranya juga sama seperti kita, rawan gempa bumi. 

Namun sungguh disayangkan karena ketika ada pihak dari Indonesia telah memiliki pengetahuan tentang pembangunan properti, sepertinya pengukuran dan daya tahannya tidak disesuaikan dengan kondisi alam kita yang rentan gempa bumi, banjir dan tanah longsor. Malah perhitungannya disesuaikan dengan standar Eropa atau Amerika Serikat, yang negaranya rentan angin tornado dan angin topan.

Akibatnya semakin kesini, rumah tinggal ataupun apartemen cenderung mudah roboh ketika "tersenggol" oleh gempa bumi. Kebanjiran, dan tidak sedikit pula yang kehilangan rumah akibat tanah longsor.

Demi mendapatkan keuntungan materi pun, properti yang saat itu sempat naik daun untuk dijadikan investasi, alam hijau kita pun tergerus. Sungai pun diuruk demi mendapatkan lahan untuk pengadaan pembangunan. 

Pembangunan gedung tinggi terus diadakan, tanpa memperhitungkan penyedotan air tanah yang menyebabkan permukaan tanah kita akan menurun dan akan menyebabkan intensitas bencana banjir semakin banyak, belum lagi negara ini sudah mulai memiliki potensi kekurangan air bersih.

Pengetahuan teknologi yang didapat hanya didasari oleh olah pikir semata, tanpa dirasai atau dimaknai terlebih dahulu, akhirnya malah cenderung membunuh karakter alam negeri kita, serta potensi negeri ini untuk terus memiliki kekayaan alam yang subur.

Akhirnya kecenderungannya adalah mengutamakan perekonomian, sebagai standar kemakmuran dan kesuksesan, tanpa menyeimbangkan diri dengan hati nurani, dengan memikirkan kepentingan orang banyak di masa mendatang.

Ilustrasi standar kecantikan wanita menerima kulit kecokelatan seperti yang disukai orang bule | Foto: Armin Rimoldi via Pexels.com
Ilustrasi standar kecantikan wanita menerima kulit kecokelatan seperti yang disukai orang bule | Foto: Armin Rimoldi via Pexels.com
Kemudian standar kecantikan wanita, di mana kalau tidak menerima diri memiliki kulit kecokelatan (sawo matang) seperti orang Barat (berkulit putih) berarti kurang berwawasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun