Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cek, Apakah Kita Pemicu Toxic Relationship dalam Berpasangan?

24 November 2020   15:01 Diperbarui: 3 Januari 2021   11:31 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Toxic Relationship | Sumber Time.com

Istilah toxic relationship tidak hanya berlaku bagi pasangan saja, akan tetapi bisa jadi berlaku sebagai orangtua, anak, sahabat, tim, ataupun sebagai warga. 

Menurut Psikoterapis Dr. Sheri Jacobson, toxic relationship adalah hubungan yang menyebabkan diri kita ataupun orang lain terluka secara mental atau bahkan fisik.

Apabila kita membicarakan tentang hubungan asmara, ciri-ciri pasangan yang punya potensi untuk menciptakan toxic relationship, adalah sering mencela dan meremehkan pasangan, temparemen buruk, memicu rasa bersalah dalam diri pasangan (guilt-inducer), deflektor (yakni menyalahkan pasangan dalam setiap masalah), terlalu menurut, terlalu mengontrol, suka memanfaatkan pasangan dan terlalu posesif. 

Nah, apakah Anda memiliki salah satu ciri-ciri pasangan yang toxic? Hehe. Kalau saya punya, yakni temparemen buruk, terlalu mengontrol dan posesif. Dulunya.... 

Nah, sebagai orang yang pernah menjadi sosok yang melakukan toxic relationship, mungkin saya bisa menguraikan mengapa saya berlaku seperti itu terhadap orang-orang yang saya kasihi. 

Tulisan ini bermaksud agar Anda tidak mengalami toxic relationship, karena bisa jadi pasangan kita tidak sadar bahwa dirinya berlaku toxic akibat dipikir pasangan menerima saja diperlakukan demikian.

# Menerima celaan dan sikap meremehkan dari pasangan, untuk menghindari perdebatan
Tentu berbeda sikap mengkritik dan mencela. Mengkritik menunjukkan di mana letak kekurangan kita, dan kemudian memberikan solusi bagaimana memperbaikinya. Sedangkan mencela, menurut saya, pasangan lebih fokus untuk menjabarkan letak kekurangan kita, dan sama sekali tidak membantu kita untuk memperbaiki diri.

Karena rasa cinta, bisa jadi kita memakluminya, dan bahkan mengatakan bahwa diri kita memang seperti yang dikatakannya. Sikap seperti ini sangat BIG NO NO dilakukan. 

Secara gamblang, saya katakan bahwa ini adalah awal Anda mendorong pasangan untuk mencela dan meremehkan diri Anda lebih banyak lagi.

Kita memang tidak perlu berdebat dengan pasangan, cukup menegurnya saja atau kalau pasangan semakin mencela, diamkan saja dulu selama beberapa hari sehingga ia bisa memikirkan apa yang diucapkannya kira-kira pantas atau tidak dilontarkannya.

Kalau pasangan benar menyayangi dan mencintai kita, ia tidak akan segera lari kok dari hubungan. Ia pasti akan kembali lagi dan bisa jadi menanyakan letak kesalahannya. 

Jelaskan apa yang kita mau, seperti boleh mengkritik, tapi tidak perlu mencela. Dengan begitu, ia akan memahami sikap yang harus ditunjukkannya dalam memberikkan kritik, tanpa membuat kita merasa tidak nyaman.

# Menerima dan memaklumi temparemen buruk pasangan
Dalam Tirto.id, dijelaskan bahwa pasangan menjadi sosok yang santai dan menyenangkan di depan orang lain, sedangkan di depan kita sebagai pasangan, malah emosinya mudah tersulut dengan masalah sepele atau masalah yang tidak jelas penyebabnya.

Itulah yang saya lakukan terhadap pasangan. Karena merasa pasangan adalah orang yang paling dekat dan akan selalu memahami apa yang akan saya lakukan. 

Ketika saya mengalami perubahan emosi, saya tidak akan pernah menunjukkannya pada orang lain, tapi saat bersama dengan pasangan, saya akan meluapkannya untuk melegakan hati. Sehingga permasalahan sepele saja bisa jadi luapan emosi yang begitu besar gelombangnya.

Nah, sebagai pasangan, saya sarankan Anda jangan duduk saja mendengarkan apa yang dikatakan dan diocehkan luapan emosi pasangan. 

Minta pasangan Anda untuk duduk bersama, atau bilang, "saya bukan samsak emosimu". Kemudian beri pasangan Anda waktu untuk menenangkan dirinya. 

Setelah itu jelaskanlah, bahwa pasangan Anda boleh mengekspresikan rasa marah, tapi dalam bentuk cerita, bukannya malah meluapkan emosi berupa kemurkaan.

Apabila itu masih terjadi juga, diamkan dirinya selama beberapa hari, misal tiga hari. Biarkan dia tenang, dan mengintropeksi diri bahwa Anda adalah pasangan atau partner-nya yang juga memiliki perasaan dan ingin dihargai. 

Jujur saja sebagai orang yang memiliki temparemen buruk pada pasangan, tidak mudah bagi saya untuk berubah. 

Saya sempat berpikir kalau pasangan saya tidak menerima diri saya apa adanya. Namun, setelah saya membaca buku The Great Marriage, yang ditulis oleh Deny Hen, saya baru memahami tindakan saya terhadap pasangan sangat salah.

Tapi berkat kesabaran pasangan saya saat ini, walaupun dengan cara sering didiamkan (HEHE) dan dinasihati, akhirnya saya mulai banyak berubah dan bisa mengontrol emosi didepan pasangan.

Jadi saran saya untuk Anda yang sangat mencintai pasangan yang bertemparemen buruk, sabarlah menghadapinya, tapi berikan batas bahwa Anda bukan samsak emosinya. Jangan menerima sikap buruknya begitu saja.

# Selalu menerima dan memaklumi ketika disalahkan oleh pasangan
Sikap ini bisa jadi diambil supaya menghindari konflik yang berkepanjangan atau bisa jadi malas berdebat. Atau bisa juga ingin menunjukkan bahwa Anda adalah pasangan yang baik dan perhatian. 

Jujur saja, sikap ini tidak akan memberikan image seperti itu dihadapannya, kecuali pasangan memiliki sikap yang suka merenungkan setiap kejadian. 

Menerima dan memaklumi ketika disalahkan pasangan malah memberikan peluang untuk selalu menyalahkan tindakan keliru yang dilakukannya. 

Jadi akan lebih baik, kita tidak perlu menerima begitu saja ketika disalahkan oleh pasangan. Kalau kita tidak mau berkonflik dengan pasangan, ketika ia mulai menyalahkan, kita bisa bilang padanya untuk berpikir jernih dulu sebelum menyalahkan. Apabila semakin nyerocos, akan ada baiknya kita langsung mendiamkannya saja, menutup ruang diskusi hingga ia berhenti menyalahkan.

Bila ia sudah berhenti menyalahkan, barulah kita berbicara dengan kepala dingin dengannya. 

# Membiarkan pasangan mengontrol diri kita
Awal jadian atau resmi menikah, bisa jadi pengontrolan akan dianggap sebagai sebuah perhatian. Bagaimana kalau pengontrolan pasangan semakin menjadi-jadi dan membuat kita sebenarnya merasa jengah?

Nah, karena saya pernah merasakannya sebagai pihak yang mengontrol, maka saya paham bisa jadi pasangan Anda tidak bermaksud berbuat semena-mena dengan mengontrol, tapi ada kebahagiaan ketika menyadari bahwa diri pengontrol ini menjadi prioritas. Bisa dikatakan, sikap kontrol yang dibiarkan begitu saja akhirnya berujung pada sikap melunjak. 

Pasangan yang mengontrol akan merasa dicintai dan disayang apabila seluruh keinginannya terpenuhi, dan ada rasa senang ketika menyadari Anda tidak bisa hidup tanpa dirinya. 

Mungkin Anda akan merasa pasangan seperti ini mengalami gangguan jiwa, tapi berdasarkan pengalaman, pihak pengontrol ini bisa jadi memiliki latar belakang keluarga yang terlalu dominan dalam hidupnya. 

Bisa jadi ia selalu dikontrol oleh orangtuanya, dan orangtuanya selalu mengatakan bahwa dirinya akan dianggap anak yang baik dan membanggakan bila menuruti semua kata orangtuanya. Atau bisa juga, ia memiliki role mode dalam keluarganya yang memiliki sikap dominan, hingga seluruh anggota keluarga harus menuruti kata-katanya, dan hal tersebut dianggap bagus oleh keluarganya, ketika ia menjadi pribadi yang dominan.

Bila Anda memiliki pasangan seperti ini, beri dia batasan mana yang perlu dikontrol olehnya, juga mana yang tidak. Berikanlah penjelasan bahwa hubungan akan lebih bahagia apabila kita sama-sama saling mendukung, bukan mengontrol semua hal.

Apabila ia tetap berusaha mengontrol diri Anda dan mulai mengancam akan memutuskan Anda apabila tidak menurutinya, maka perlakukanlah ia seperti Anda diperlakukan olehnya, kontrol balik dan ancam. 

Awalnya mungkin ia akan merasa kesal sekali karena ia tidak bisa mendominasi, tapi lambat laun, dengan Anda sambil bercanda, misal dengan mengatakan, "lho ga boleh sendirian dong kalau ngatur? Kan biar sama-sama saling perhatian",  ia akan mulai memahami sikapnya dalam mengontrol terlalu berlebihan.

Di sela-sela pengontrolannya, ada baiknya Anda turut menjelaskan padanya bahwa Anda sudah bukan lagi anak kecil  yang tidak memahami etika untuk berpasangan, akan lebih baik pengontrolan tersebut dilakukan sewajarnya saja, yang pastinya bertujuan untuk kebaikan bersama, bukan untuk kesenangan satu pihak saja.

# Menerima saja ketika pasangan melakukan kekerasan secara verbal ataupun nonverbal atas nama cinta
Saya pernah melihat teman yang rela saja dipukuli atau dikatai, entah itu dengan pacar ataupun pasangan. 

Bila saya bertanya, ada yang menjawab karena tidak mau kehilangan sosok tersebut, karena di luar dari kekerasan yang dialaminya, pasangannya sangat mengerti dirinya. 

Dan ada juga jawaban bahwa dirinya sudah terbiasa dipukul atau dikatai sejak kecil, jadi mungkin dirinya memang pantas diperlakukan seperti itu.

Kasihan, itulah yang saya rasakan terhadap mereka. (Biasanya kekerasan ini terjadi pada perempuan).

Saya pun sering mengobrol dengan mereka mengenai latar belakang keluarganya, saya pun mengambil garis penghubung bahwa mereka kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, terutama ayahnya.

Kehilangan figur ayah ini membuat mereka, secara tidak sadar, tidak memiliki standar bagaimana seharusnya dirinya diperlakukan dengan baik. 

Ketika bertemu dengan pasangan yang kurang lebih memenuhi dahaganya dalam mendapatkan kasih sayang dan dimengerti secara utuh, maka sang perempuan pun menerima saja kalau dirinya diperlakukan kasar.

Tapi bukan berarti kita sebagai pasangan tidak bisa bersikap. Contoh pengalaman yang langsung saya lihat sendiri dari salah satu teman saya. 

Ia selalu dikata-katai dan dipukul, bahkan diancam putus kalau tidak memenuhi semua keinginan pacarnya. Apabila teman saya itu tidak mau melakukannya, maka pacarnya akan mengatakan bahwa dirinya tidak dewasa, dan terlalu berpikiran sempit. 

Teman saya sebenarnya sama sekali tidak tahan pada perlakuan pacarnya, tapi karena takut tidak mendapatkan pria yang lebih baik lagi, maka ia pun menerima saja perlakuan pacarnya tersebut. Ia hanya bisa curhat sambil menangis pilu.

Sampai suatu hari, saya sama sekali tidak tahan melihat teman saya diperlakukan seperti itu, saya berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia pantas mendapatkan yang lebih baik, apalagi ia cantik dan pintar. Setiap hari saya sebutkan siapa saja pria yang sebenarnya suka sama dia, tapi sudah ditolaknya.

Sampai saya juga menyarankan kalau pacarnya minta putus, teman saya harus menyetujuinya. Kalau pacarnya benar menyayanginya, pasti pacarnya akan membujuk teman saya, dan kalau segala bentuk kekerasan tersebut hanya sebagai langkahnya untuk meninggalkan teman saya, lebih baik dilepaskan saja. Apa enaknya hubungan dijalani bila cinta hanya bertepuk sebelah tangan? Ya ga?

Eh, suatu hari kejadianlah pacarnya minta putus karena dianggap teman saya tidak mendengarkan perintahnya. Saking tidak tahannya, teman saya pun mengiyakan. Pacarnya kaget, dan kemudian malah baik-baikin. 

Dari sana teman saya pun mulai bisa mencegah pacarnya untuk berbuat semena-mena terhadapnya. Ketika pacarnya mulai memukulinya, maka ia tidak segan untuk mengambil sikap dengan tidak mau menemui pacarnya sama sekali. 

Cukup lama dirinya sulit ditemui oleh pacarnya, walau pacarnya mengatakan dirinya menyesal memperlakukan teman saya dengan tidak baik. Sejak itu, pacarnya tidak pernah berani lagi untuk berbuat semena-mena. 

Tapi sih akhirnya teman saya menemukan pasangan yang bisa memperlakukannya dengan baik. Dari pengalamannya tersebut, kini ia bisa mengambil sikap agar terhindar dari toxic relationship.

Pada kesimpulannya, sebenarnya tidak salah bagi kita untuk mengalah dan memaklumi sifat pasangan, tapi sikap tersebut sebaiknya ada batasnya agar pasangan bisa memahami bahwa kita adalah partner-nya bukan objek pelampiasan emosinya. 

Memang perlu kesabaran ekstra supaya pasangan yang sudah bersikap toxic mau berubah, namun tidak ada salahnya kita berani mengambil sikap ketika pasangan melakukan tindakan yang berlebihan. Biarkan pasangan tidak hanya mencintai, tapi juga menghormati pribadi kita.

Salam hangat dan semoga bermanfaat :)

Referensi :

Effendi, Ahmad. 19 April 2020. Ciri Pasangan yang bisa Memicu Toxic Relationship. Diakses dari Tirto.id tanggal 23 November 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun