Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sulitkah untuk Menghargai Keanekaragaman?

20 Agustus 2019   14:47 Diperbarui: 21 Agustus 2019   13:52 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada dua kejadian yang sedang populer saat ini, yakni ceramah Ustadz Abdul Somed yang berujung pada pelaporan karena menista agama dan tindakan rasial yang diterima oleh mahasiswa Papua di Malang, hingga menimbulkan aksi rusuh.

Untuk ceramah Ustadz sendiri, saya tidak berani berkomentar karena saya tidak mendapatkan videonya secara keseluruhan, hanya mendapatkan potongan video ceramahnya saja tentang arti Salib apabila sampai salah satu umat Islam merasa terus terbayang. Sedangkan untuk penyebab mahasiswa Papua sampai marah, saat ini  belum ada penyebab pastinya yang sampai menyulut kemarahan mereka.

Namun dari dua kejadian ini, jari saya tergelitik untuk membahas tentang keanekaragaman di Indonesia yang patut kita hargai, dan sudah ada dari zaman nenek moyang, yang dengan susah payah dipersatukan oleh para pahlawan dan pejuang Indonesia sampai kata Merdeka dikumandangkan. Untuk itu, sudah sepatutnya kita bangga pada keanekaragaman kita, bukan malah membuat perbedaan A B C, kemudian karena salah paham akhirnya berkembang menjadi permusuhan saudara.

Dimulai dari masa Orde Baru yang menimbulkan perbedaan perlakuan antara warga negara asli Indonesia dengan warga negara Indonesia beretnis keturunan Tionghoa. Kemudian, Pilkada tempo lalu yang banyak mengangkat isu agama untuk mengalahkan lawan politiknya, belum lagi adanya isu etnis juga dibawa-bawa. Pemilu kemarin juga hampir sempat memecah kebhinekaan kita.

Mungkin kita harus kembali mempelajari sejarah berdirinya bangsa ini, agar masing-masing dari kita semua menghargai apa yang dimiliki bangsa ini. Dan kita menghargai para saudara kita yang memiliki latar belakang budaya, suku, dan agama yang berbeda, seperti kita menghargai pasangan hidup kita apa adanya. 

Ada benarnya ketika Presiden Sukarno mengatakan dalam pidatonya "JAS Merah- Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah", karena dengan kita paham sejarah kita sendiri, kita akan lebih menghargai apa yang saat ini kita miliki, dan mempelajari agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Jangan sampai, karena kita meninggalkan sejarah, kita bisa tercerai-berai dan kembali "dijajah" oleh negara asing secara tidak langsung, baik itu dari segi politik, ekonomi maupun sumber daya.  

Kilas balik ke zaman nenek moyang kita, dari sejarah yang saya pelajari, nenek moyang kita, awalnya, belum memeluk agama sama sekali, dan bahkan bentuk agama saja mereka tidak tahu. Nenek moyang kita hanya meyakini bahwa ada yang berkuasa diluar dari kehidupan mereka. Dengan begitu, mereka merasa perlu menyembah sesuatu,  yang dulunya dikenal dengan nama animisme dan dinamisme. 

Hal ini menunjukkan manusia selalu ada keinginan untuk dekat dengan Penciptanya. 

Saat muncul berbagai kerajaan per wilayah Indonesia, dibukalah pelabuhan untuk berdagang. Banyak orang asing yang bisa bersinggah dan saling berdagang untuk  memenuhi kebutuhan hidup. Itulah tanda manusia memang makhluk sosial. Selagi berdagang, para pendatang pun sambil memperkenalkan dan menyebar agama yang telah mereka yakini. 

Agama yang pertama kali masuk ke Indonesia adalah Hindu. Dan dalam pelajaran sejarah, Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kutai tidak sendiri, ada kerajaan lain dari wilayah yang berbeda yang juga memeluk agama Hindu, dan masih banyak juga yang memeluk animisme dan dinamisme. Apakah itu berarti antar kerajaan tidak mau lagi yang namanya bekerja sama karena berbeda agama ataupun berbeda budaya?

Bisa jadi, karena yang mereka inginkan adalah kekuasaan, oleh karena itu kerajaan yang ada selalu timbul tenggelam digantikan kerajaan baru. Agama yang kemudian masuk ke Indonesia adalah Buddha, kemudian Islam. Agama-agama tersebut dianut oleh kerajaan-kerajaan yang ada sesuai dengan zamannya.

Tapi tidak semua kerajaan saling membasmi, ada juga antar kerajaan yang saling bekerja sama, bahkan mengikat diri sebagai saudara untuk ketenangan hidup dan kemakmuran masyarakatnya. Agama dan budaya yang berbeda tidak mereka hiraukan, sepanjang masyarakat hidup tenang dan damai.

Sampai akhirnya, negara asing masuk ke Indonesia, Portugis. Awal datang hanya untuk membeli rempah-rempah, lama-kelamaan kerakusannya membawa mereka untuk melakukan perpecahan antar kerajaan yang saling bekerja sama. Karena tidak pernah tertanam rasa persaudaraan yang dalam, dan mungkin terlalu banyak intrik di kepala para pemimpin kerajaan, akhirnya bisa terpecah belah.

Melihat kesuksesan bangsa Portugis, mulai banyak negara lain yang datang berkunjung dengan senyuman serigala untuk mengeruk seluruh sumber daya alam Indonesia melalui taktik memecah belah mereka. Belanda yang paling sukses memecah belah kerajaan-kerajaan besar di Indonesia, sampai dibuat kita, orang Indonesia, para empunya negara ini, derajatnya lebih rendah dari mereka. 

Kesuksesan para bangsa asing ini dalam memecah belah, karena adanya pengkhianatan beberapa orang setempat dengan iming-iming harta dan kekuasaan, ditambah dengan memang tidak adanya rasa persaudaraan dan percaya satu sama lain antar kerajaan di wilayah Indonesia. Para pemimpin kerajaan lebih senang mengandalkan diri pada bangsa asing, yang terlihat baik, padahal macam serigala berbulu domba.

Dimulai dari organisasi Budi Utomo, diikuti dengan berdirinya organisasi lainnya yang menyatukan orang-orang Indonesia untuk melawan penjajah. Namun tetap saja, penjajahlah yang menang, karena organisasi-organisasi tersebut masih menghimpun golongan tertentu saja, misalkan organisasi yang kumpulannya orang Jawa saja, atau agama Islam saja, atau cendekiawan saja. Belum sepenuhnya bersatu. 

Tahun 1928, sudah dimulai adanya rasa persatuan, yakni dibentuknya kongres pemuda kedua yang mengumandangkan Sumpah Pemuda, yang dihadiri oleh organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi dan Jong Celebes, serta beberapa pemuda Tionghoa. Kemudian ditutup dengan lagu Indonesia Raya  yang dimainkan dengan biola oleh WR. Supratman. 

Jadi, Sumpah Pemuda bukan dikumandangkan hanya oleh orang Arab dan keturunannya sebagaimana yang dipidatokan oleh salah satu pejabat demi mendapatkan kedudukan. Semua pemuda yang tergabung dalam organisasi di Indonesia ikut berpartisipasi.

Mulai saat itu banyak kongres yang dihadiri oleh orang Indonesia, mereka tidak lagi melihat kamu suku apa, ras apa, agama apa. Yang ada dalam hati dan pikiran mereka, secara garis besar adalah "Kami mau bebas dari penjajahan, Kami mau Merdeka. Kami Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Tanah Air. Tidak ada tempat bagi penjajah di negara Indonesia". 

Bergulirnya waktu semangat merdeka semakin berkobar, apalagi sejak Jepang datang ala Superhero disaat yang tepat, namun sangat disayangkan, kehadiran Jepang malah membuat rakyat Indonesia semakin tertindas dan menderita. Banyak orang yang mati dan para wanita diperkosa demi kekuasaan dan kepuasan ego mereka sendiri. Apakah para tentara Jepang saat itu menanyakan orang Indonesia dari suku apa, ras apa, agama apa, ketika mau dibunuh? Apakah para tentara Jepang menanyakan para wanitanya etnis dan agama apa ketika mau diperkosa?

Pokok e orang Indonesia, hantam bae...!

Semua orang yang merasa bagian dari bangsa Indonesia bersatu, melawan para penjajah dengan berbagai cara, menghimpun organisasi, berorasi, bergerilya, baku hantam sampai titik darah penghabisan, hanya untuk negara kita merdeka, demi rakyat kita bebas dari penderitaan dan perbudakan para penjajah. Ketika berperang dan bergerilya membela hak asasi negaranya, tidak ada yang saling membedakan agama ataupun rasnya. Semua bersatu. 

Ketika negara kita sudah terbentuk dan kata merdeka dikumandangkan, negara kita sudahlah menjadi Indonesia dengan keanekaragaman suku bangsa, ras dan agama. Bahkan Pancasila di sila pertama yang tadinya berisi tentang Islam, direvisi kembali mengingat masyarakat Indonesia yang ikut berjuang tidak hanya yang beragama Islam saja, tetapi ada empat agama lainnya yang turut serta menjadi bagian dari Indonesia. Karena itu ditetapkan sila pertama Pancasila adalah KeTuhanan yang Maha Esa.

Semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, berarti berbeda-beda tetapi tetap satu, diambil dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, peninggalan kerajaan Majapahit digunakan, sebagai lambang bahwa negara kita memang memiliki keanekaragaman, namun memiliki kesatuan dan saling menghargai satu sama lain.

Kita sebagai generasi penerus para pahlawan dan pejuang yang sudah mengorbankan hidup dan nyawanya demi kebebasan yang sekarang kita rasakan, sudah sepatutnya meneruskan dan menghargai perjuangan mereka, dengan saling bersatu. Tidak ada rasialisme lagi antar suku, agama ataupun etnis, menurut saya. 

Belakangan isu-isu tentang RAS semakin bergulir, banyak orang yang semakin mudah tersulut, apalagi ada pihak-pihak yang ikut mengompori, sehingga rasa emosi semakin meluap-luap. Apalagi komentar-komentar di media sosial semakin membuat emosi jiwa, sampai terbawa ke kehidupan nyata.

Perlu kita sendiri menyadari bahwa semua orang yang tinggal di Indonesia adalah saudara. Kita bisa menghargai orang asing ke Indonesia, apalagi bule, yang jelas-jelas berbeda dari kita, kenapa kita sendiri tidak bisa menghargai saudara sendiri yang setanah air dan sebangsa? Dengan menganggap semua orang yang lahir dan besar di Indonesia adalah saudara, mencegah kita untuk terhasut pada hal-hal yang berbau perpecahan bangsa, seperti A paling benar, bahwa B paling benar, dan lewat dari itu semua adalah salah, maka musuhi saja.

Sulitkah bagi kita untuk menghargai saudara sendiri? Setiap manusia memiliki caranya masing-masing untuk mendekatkan diri pada Penciptanya, oleh karena itu diciptakanlah akal budi dan hati nurani. Manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, asalkan tidak keluar jalur dari apa yang sudah ditetapkan pada aturan yang dibuat oleh Tuhan melalui kitab suci pada masing-masing agama.

Sulitkah bagi kita untuk menghargai saudara kita sendiri, yang diciptakan dengan ras dan suku yang berbeda? Padahal ketika kita menginjakkan kaki ke negara orang, kata "orang Indonesia" lah yang disebut, bukan hanya suku Jawa, Madura, Batak, Ambon, Betawi atau suku di Indonesia lainnya. Kita semua adalah orang Indonesia. 

Apakah kita akan menyadari kata "saudara satu bangsa dan satu tanah air" ketika kita kembali dijajah dan kembali berjuang untuk mendapatkan "kemerdekaan"? 

Ini hanyalah opini saya pribadi yang sangat terkagum-kagum pada para pahlawan dan pejuang yang mengucurkan keringat dan darah habis-habisan demi kebebasan dan kebahagiaan yang kini saya dan Anda rasakan tinggal di tanah pertiwi Indonesia. Walaupun sekarang ekonomi lagi kembang kempis, setidaknya kita masih bisa makan dan tidur di negara sendiri, tanpa takut sewaktu-waktu dibunuh, dicambuk ataupun disuruh kerja paksa untuk kemakmuran negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun