Mohon tunggu...
Najwa Filzah Faiza
Najwa Filzah Faiza Mohon Tunggu... Mahasiswa rantau di Kota Pahlawan

Suka nulis, travelling, baca novel fiksi, juga tidak ketinggalan scrolling medsos

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Puncak Watu Bengkah yang Bikin Senyum Merekah

14 September 2025   09:35 Diperbarui: 14 September 2025   09:35 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Watu Bengkah yang Bikin Senyum Merekah. Sumber: Dokumentasi Penulis

Konon katanya, hidup itu harus seimbang. Belajar iya, kerja tetap jalan, dan yang nggak kalah penting liburan tak boleh terlupakan. Belakangan ini, banyak postingan berseliweran tentang konsep work-life balance, yakni keseimbangan antara pekerjaan/kesibukan dan kehidupan personal. Sederhananya, konsep work-life balance ini memungkinkan kita sebagai manusia mampu bertahan hidup di tengah banyaknya tuntunan dan tekanan, namun tetap dengan batas normal dan diimbangi istirahat yang sepadan. Agar kita nggak jadi manusia "robot" yang dipaksa beraktivitas tanpa henti dan gampang merasa berdosa ketika istirahat sekejap saja.

Pernahkah merasa bahwa hidup terasa terlalu ramai dan bising, Kawan? Bukan hanya perkara suara kendaraan atau notifikasi sosial media yang tak kunjung reda, tapi juga keramaian yang bersumber dari isi kepala sendiri, deadline yang menghajar tanpa ampun, dan ekspektasi yang tak pernah redup. Duhh, rasanya kayak lagi ada di tengah-tengah pasar malam yang penuh dengan sorak sorai pengunjung, teriakan anak-anak yang naik wahana, hingga suara para penjual yang saling bersahutan.

Kalau iya, tenangg. Kalian nggak sendirian. Banyak dari kita yang diam-diam pernah berharap ada yang namanya tombol mute di dunia ini. Bukan karena pengen kabur selamanya, tapi karena ingin jeda sejenak dari hiruk pikuk dunia yang tak ada habisnya. 

Sayangnya, tidak semua keinginan kita akan menjadi kenyataan, termasuk tentang keinginan punya tombol mute. Kata Bondan Prakoso, "Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah terwujud, ya sudahlah" Eitss, bukan berarti kita diperbolehkan untuk mudah menyerah lho, yaa. Justru karena tidak semua mimpi bisa terwujud, maka kita harus giat mencari opsi lain yang masih bisa ditempuh. Bukankah pepatah bilang: banyak jalan menuju Roma?

Hilang untuk Healing

Karena di dunia ini tidak ada tombol mute atau pause yang bisa dipencet kapan pun, maka kita sebagai manusia punya pilihan untuk berhenti sejenak dari rutinitas harian yang melelahkan. Istilah kerennya sih hilang untuk healing. Menghilang sebentar untuk menenangkan isi kepala. 

Eh, tapii ingat rules-nya yaaa, menenangkan isi kepala sendiri, bukan isi kepala orang lain. Tentunya keputusan "menghilang" ini dapat direalisasikan setelah menuntaskan segala jenis tanggung jawab lho, ya. Kalau tanggung jawab belum diselesaikan, itu namanya lari dari kenyataan. Aduhaii, jangan yaa kak yaaa.

Hilang untuk healing ini sering dianggap sebagai salah satu cara untuk meredam kebisingan yang berlarian di dalam pikiran. Beberapa orang memilih untuk menghilang alias liburan yang bisa jadi sarana reset isi kepala. 

Ada yang memilih ke cafe & resto impian untuk mencoba kuliner dengan rasa yang unik, ada yang memilih staycation ke hotel biar bisa rebahan seharian tanpa gangguan, ada yang menikmati suasana piknik di kebun raya bersama keluarga tercinta, ada yang shopping ke berbagai pusat perbelanjaan untuk menikmati hasil jerih payah setelah bekerja, dan ada pula yang melirik wisata alam sebagai opsi mencari ketenangan.

Sebelum ditanya jenis healing apa yang selalu ku pilih, aku akan langsung menjawabnya. Meskipun nggak ada yang nanya, tetap ku tulis juga sih, haha!

Aku adalah tipe yang terakhir. Hilang untuk healing ke alam sebagai bentuk pelarian. Mulai dari pantai, goa, air terjun, taman hijau di tengah kota, hingga museum atau bangunan bersejarah yang masih bersinggungan dengan alam tak jarang juga menjadi tujuan utama. Nah, ada lagi satu destinasi yang belum pernah ku nikmati secara seksama, yakni gunung. Memang sudah pernah berkunjung ke Gunung Kelud, namun hanya menikmati pemandangannya dari bawah tanpa merasakan keindahan di puncak gunung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun