Mohon tunggu...
Najwa Audrey
Najwa Audrey Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ironi Penegakan Hukum di Indonesia: Caplok Elit dan Toleransi terhadap Koruptor

21 Desember 2023   13:14 Diperbarui: 21 Desember 2023   13:14 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penegakan hukum yang kuat merupakan cerminan dari supremasi konstitusi dan keadilan dalam sebuah negara hukum. Namun, yang terlihat dalam wajah peradilan di Indonesia justru ketidakadilan sistematis di mana pejabat publik dan elit politik kerap kali mendapatkan perlakuan istimewa saat terjerat kasus hukum dengan berbagai keringanan, sementara rakyat kecil sering mendapat perlakuan represif oleh para penegak hukum. Ironi lain, para koruptor seringkali mendapatkan toleransi. Kondisi pro-penguasa dan anti-rakyat ini sangat memprihatinkan dan menjadi cambuk keras bagi upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia. Caplok elit dapat dimaknai sebagai kondisi di mana elit politik dan pejabat publik mendominasi dan mengendalikan sistem hukum dan lembaga penegak hukum agar bekerja melayani kepentingan mereka. Akibatnya, penindakan terhadap pejabat-pejabat yang melakukan tindak pidana menjadi lumpuh dan inkonsisten. Sementara itu, lembaga penegak hukum cenderung bersikap represif dan otoriter kepada masyarakat sipil dan warga negara yang tak memiliki kekuasaan. Kondisi ini sangatlah jelas merusak sendi-sendi dari prinsip equality before the law yang sejatinya tidak memandang status sosial seseorang dalam proses hukum.

Supremasi hukum merupakan pengakuan dan penghormatan terhadap superioritas hukum sebagai aturan main dalam berkehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat (Bunga, 2021). Sugiono & MD (2000) mengemukakan empat eleman penting dalam negara hukum yang menandai tegaknya supremasi hukum, yaitu:

  • Pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya harus senantiasa berlandaskan atas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Negara menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar warga negara.
  • Kekuasaan negara dibagi secara jelas, adil, dan konsisten antar lembaga-lembaga negara.
  • Badan peradilan menyediakan perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintahan.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan proses mempraktikan atau menerapkan hukum sesuai peraturan dan konstitusi yang berlaku dalam rangka menciptakan kedamaian dan keadilan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Aparat penegak hukum di Indonesia diantaranya kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, dan advokat. Penegakan hukum sangat bergantung pada integritas, kesadaran, dan profesionalisme penegak hukum itu sendiri dalam menjalankan tugasnya. Penegakan supremasi hukum penting untuk menciptakan sistem ketatanegaraan yang stabil dan demokratis di mana rule of law dan prinsip check and balances berjalan dengan baik.

Di Indonesia sendiri, penegakan hukum masih terjebak dalam ironi. Indonesia terkenal akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang berlimpah. Namun, ironisnya Indonesia juga kaya akan koruptor. Hal ini dibuktikan dengan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang pada tahun 2022 lalu hanya mendapatkan skor 34 dengan peringkat ke 110 dari total 180 negara dan skor tersebut turun 4 poin dibandingkan tahun sebelumnya (BPHN, 2023). Penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi mengindikasikan semakin buruknya penegakan hukum di Indonesia khususnya terkait penanganan kasus korupsi di Indonesia. Korupsi memang sudah lama mengakar di Indonesia. Reformasi yang terjadi tidak serta merta membuat negeri ini bebas dari korupsi namun, tindakan korupsi malah semakin kompleks dan pelik. Tercatat dalam 10 tahun terakhir, jumlah kerugian negara akibat korupsi berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencapai Rp 238,14 triliun dan di tahun 2022 sendiri jumlah kerugian akibat korupsi mencapai Rp 48,79 triliun (Pratiwi, 2023).  Tren caplok elit di Indonesia membuat kasus korupsi tidak ditangani dengan semestinya karena hukum dikuasai oleh sekelompok elit dan dijadikan sebagai alat untuk membela diri. Maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dan politisi tak terlepas dari lemahnya penegakan hukum yang ada. Pejabat dan politisi yang terkena korupsi kerap kali mendapatkan perlakuan istimewa dan jarang sekali yang berujung pada vonis dengan hukuman berat. Disisi lain, penindakan kasus pidana terhadap rakyat yang tidak punya kekuasaan cenderung berlebihan bahkan represif. Contoh kasus korupsi dengan hukuman yang ringan terjadi pada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yaitu Edhy Prabowo yang terkena kasus suap sebesar Rp 1,12 miliar dan Rp 24,62 miliar tekait proses pemberian izin budi daya lobster dan ekspor benih kepada eksportir pada tahun 2020 lalu. Atas tindakan tersebut Edhy Prabowo hanya mendapatkan vonis selama 5 tahun penjara dari yang mulanya 9 tahun penjara. Tidak hanya sampai disitu, Edhy Prabowo juga mendapatkan remisi sebanyak 7 bulan 15 hari karena “berperilaku baik” dan bebas lebih awal. Jika ditotal Edhy hanya menjalani hukuman sebanyak 21 bulan.

Toleransi berlebihan terhadap koruptor akan makin menumbuh suburkan perilaku korup di negeri ini. Praktik toleransi terhadap koruptor dapat terlihat dari keringanan pidana yang diberikan, remisi berlebihan, substansi putusan yang ringan, hingga pembebasan melalui grasi dan amnesti sebelum masa tuntas. Pejabat korupsi kerap kali dimanjakan dengan diskon hukuman selayaknya yang diterima Edhy Prabowo yang semakin menurunkan efek jera. Kondisi ini semakin mempertanyakan bagaimana komitmen antikorupsi dari lembaga kekuasaan kehakiman itu sendiri. Disisi lain, terdapat upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi terhadap Undnag-Undang KPK melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK yang terlihat salah satunya dari rumusan Pasal 3 yang menempatkan KPK di bawah kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, KPK tidak lagi menjadi lembaga independen yang terbebas dari pengaruh kekuasaan, berbeda dengan sebelum dilakukannya revisi. Pelemahan  KPK melalui revisi Undang-Undang dapat dimaknai sebagai upaya “caplok” elit politik dan penguasa agar KPK tidak lagi menganggu kepentingan mereka. Selain itu, toleransi terhadap koruptor yang masih melekat di Indonesia turut memperlemah upaya pemberantasan korupsi yang digalakkan oleh KPK. Revisi UU KPK yang kontraproduktif ini justru akan semakin memperparah ironi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selain korupsi, ironi lain yang terjadi adalah penegakan hukum yang tidak konsisten dan masih memihak kepada kelompok elit. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Setiadi  (2012) bahwa masih banyak permasalahan yang terjadi di kelembagaan hukum seperti kurangnya independensi lembaga hukum, terutama lembaga penegak hukum yang berakibat pada terabaikannya impartialitas atau ketidakberpihakan dalam banyak putusan lembaga yudikatif dan membuat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum serta goyahnya sistem hukum. Selain itu, akuntabilitas lembaga hukum juga tidak dilakukan dengan jelas, baik terkait kepada siapa atau lembaga mana mereka harus mempertanggungjawabkan maupun seperti apa tata cara pertanggungjwaban yang harus dilakukan dan hal ini memberikan kesan tidak adanya transparansi dalam proses penegakan hukum. Dan terakhir, terdapat indikasi mengenai kurangnya integritas dari para penyelenggara negara yang sangat memprihatinkan. Kurangnya independensi lembaga hukum dapat terlihat dari kasus yang baru-baru ini viral yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi karena keputusan kontroversialnya terkait usia minimal dan persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dengan menyetujui seseorang yang belum genap berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu. Hal ini menjadi kontroversial karena keputusan tersebut didorong dengan adanya konflik kepentingan, keberpihakan dan nepotisme dari ketua MK sendiri yaitu Anwar Usman yang merupakan paman dari salah satu calon wakil Presiden Indonesia tahun 2024 yaitu Gibran Rakabuming Raka. Keputusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi membuat independensi Mahkamah Konstitusi dan integritas hakim konstitusi dipertanyakan yang berujung pada semakin buruknya citra dan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi  sebagai lembaga  kekuasaan kehakiman dan bahkan Mahkamah Konstitusi mendapatkan julukan sebagai Mahkamah Keluarga.

Adanya caplok elit dan toleransi terhadap koruptor menujukkan lemahnya supremasi hukum dan law enforcement terhadap pejabat dan elit politik yang merupakan ironi nyata dari sistem yang gagal menegakkan keadilan. Kondisi ini sangat merugikan negara dan jika dibiarkan terus menerus akan menganggu iklim investasi, menurunkan kepercayaan publik dan kualitas demokrasi Indonesia. Negara yang memiliki angka Indeks Persepsi Korupsi yang rendah akan membuat investasi asing menurun karena negara yang korup akan  membuat tingginya biaya ekonomi akibat suap dan pungli yang terjadi. Jika korupsi tidak ditangani dengan serius, maka terdapat kemungkinan yang besar para investor asing menarik kembali investasinya dan tidak mau lagi berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan sangat merugikan negara karena penanaman modal asing akan memunculkan lapangan pekerjaan, peningkatan SDM dan pertukaran teknologi. Selain itu, penegakan hukum dan toleransi terhadap korupsi juga dapat membuat masyarakat tidak percaya lagi kepada pemerintah. Pejabat dan politisi yang korup  memperlihatkan bahwa mereka menyalahgunakan kekuasaanya untuk kepentingan pribadi dan bukan memimpin untuk mensejahterakan dan memakmurakan rakyatnya. Hukum yang tidak memihak secara adil dan hanya dijadikan alat oleh penguasa membuat semakin lemahnya kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum. Tidak adanya pemerintah yang dihormati dan dipercaya oleh rakyatnya akan membuat peningkatan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum.

Penegakan hukum yang lemah pun akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas demokrasi Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Susilo Bambang Yudhoyo. SBY mengemukakan bahwa ada tiga pilar penting yang menentukan kekuatan demokrasi di Indonesia yaitu kebebasan, perlindungan  HAM, dan penegakan hukum (Kurniawan, 2015). Dari ketiganya penegakan hukum belum maksimal dan belum optimal. Banyak ungkapan masyarakat yang mencerminkan buruknya sistem peradilan dan penegakan hukum seperti istilah hukum bisa “dibeli”, kepanjangan KUHP yang dijadikan “Kasih Uang Habis Perkara”, atau pepatah hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas yang bermakna hukum hanya mampu menghukum rakyat kecil saja, bukan orang kaya dan berkuasa seperti fenomena caplok elit. Contohnya saja terjadi pada kasus Rachel Vennya yang melakukan pelanggaraan karantina COVID-19 dan hanya mendapatkan hukuman percobaan 4 bulan penjara, begitupun dengan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, dimana Bharada E yang merupakan eksekutor pembunuhan hanya mendapatkan vonis 1,5 tahun penjara. Walaupun Bharada E merupakan justice collaborator, namun tidak mengubah fakta bahwa Bharada E membunuh Brigadir J dan seharusnya tetap mendapatkan vonis yang berat. Disisi lain, ketidakadilan dihadapan hukum terhadap rakyat kecil dapat terlihat dari kasus Nenek Asyani yang didakwa mencuri 7 batang kayu miliki Perhutani dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari kurungan. Kondisi ini tentu menjadi contoh ironis dari tidak terlaksananya prinsip equality before the law yang tidak memandang status sosial dihadapan hukum. Kondisi penegakan hukum yang buram seperti ini sangat merugikan kekuatan demokrasi di Indonesia karena ciri penting negara demokrasi salah satunya yaitu terwujudnya negara hukum yang memberikan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Oleh kerena itu, jika sistem hukum dan penegakannya lemah maka tidak akan ada supremasi hukum dan demokrasi Indonesia juga akan mudah rusak dan melemah.

 Dari permasalahan yang terjadi maka diperlukannya upaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yang diantaranya melakukan peningkatan kualitas SDM aparat penegak hukum, baik melalui pendidikan maupun sertifikasi profesi serta menerapkan pendidikan karakter sejak dini untuk membangun integritas sehingga terbentuk generasi penegak hukum yang berintegritas dan profesional. Selain itu, perlu adanya penataan ulang perangkat hukum agar sinkron dan tidak tumpang tindih. Upaya lain yang perlu dilakukan ialah memberikan kepastian hukum dan menindak tegas pelanggaraan hukum tanpa pandang bulu serta memberantas KKN dan judicial corruption secara intensif dan berkelanjutan. Terakhir dan yang paling penting adalah melakukan reformasi sistem peradilan dan reformasi hukum progresif  seperti memperkuat independensi lembaga peradilan dan jajaran penegak hukum agar lembaga peradilan bekerja secara profesional tanpa adanya intervensi kepentingan pihak manapun sehingga dapat mendorong terwujudnya supremasi hukum di Indonesia.

Referensi

BPHN. (2023). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun Lagi, Penegakan Hukum Tipikor Perlu Dikaji Ulang? https://bphn.go.id/publikasi/berita/2023031603084646/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-turun-lagi-penegakan-hukum-tipikor-perlu-dikaji-ulang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun