Di sebuah ruang rapat parlemen, deretan kursi empuk sering kali menjadi saksi bisu bagaimana nasib bangsa ditentukan. Di sana, selama lebih dari satu dekade, sebuah rancangan undang-undang terus tertunda. Namanya RUU Perampasan Aset. Sejak 2008, ia berulang kali masuk Prolegnas, namun selalu tersisih, seolah tidak cukup penting untuk segera dibahas. Padahal, di luar gedung itu, rakyat setiap hari menonton berita tentang pejabat yang ditangkap karena korupsi, uang negara yang lenyap, dan janji-janji penegakan hukum yang tak kunjung ditepati.
Janji yang Selalu Tertunda
RUU Perampasan Aset sebenarnya bukan barang baru. Ia sudah ada sejak era awal reformasi, ketika gelombang antikorupsi begitu kuat. Namun, entah mengapa, setiap kali masuk daftar prioritas, ia kembali menguap tanpa jejak. Sementara itu, angka kerugian negara akibat korupsi terus membengkak hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.
Bagi publik, fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya diuntungkan jika RUU ini terus ditunda? Apakah rakyat yang menanggung dampak buruk korupsi, atau justru mereka yang takut kekayaannya tersentuh aturan baru ini?
Sinyal Dukungan dari Eksekutif
Situasi mulai berubah ketika Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyatakan dukungannya. Dalam perayaan Hari Buruh 1 Mei 2025, ia mengeluarkan pernyataan keras, "Gue tarik aja itu!" --- sebuah ekspresi yang mencerminkan kemarahan sekaligus tekad politik. Pernyataan ini disambut hangat oleh banyak pihak, termasuk mantan penyidik KPK Yudi Purnomo, yang menyebutnya sebagai sinyal positif untuk menghapus hambatan politis yang selama ini mengganjal (Detik, 2025).
Dukungan dari pucuk eksekutif jelas memberi momentum baru. Pertanyaannya, apakah DPR berani menangkap momentum ini, atau kembali mengulur waktu dengan alasan teknis dan politis?
Publik Masih Minim Pengetahuan, Tapi Siap Mendukung
Fakta menarik muncul dari survei Kompas pada Mei 2025. Hanya sekitar 23% publik yang benar-benar mengetahui RUU ini. Sebagian besar lainnya hanya pernah mendengar sekilas, bahkan ada yang sama sekali tidak tahu. Namun, begitu dijelaskan manfaat dan urgensinya, angka dukungan publik melonjak hingga 94,2% (TI Indonesia, 2025).
Artinya, rakyat sebenarnya siap mendukung, hanya saja informasi masih minim. Di sinilah media, akademisi, dan masyarakat sipil harus mengambil peran: menjelaskan bahwa perampasan aset bukanlah pelanggaran HAM, melainkan instrumen hukum modern yang sudah dipakai di banyak negara untuk melawan korupsi dan narkoba.
Bagaimana RUU Ini Bekerja?
RUU Perampasan Aset mengusung konsep in rem atau non-conviction based asset forfeiture. Artinya, negara bisa merampas aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau jelas-jelas terkait tindak pidana, tanpa harus menunggu vonis pidana final. Misalnya, jika seorang pejabat memiliki vila mewah yang nilainya jauh melampaui gajinya, negara bisa mengajukan gugatan perdata untuk menyita aset itu.
Lebih jauh, RUU ini juga melindungi hak pihak ketiga yang beritikad baik. Artinya, jika seseorang membeli aset tanpa mengetahui bahwa aset itu hasil kejahatan, ia tetap bisa membela diri di pengadilan. Dengan demikian, aturan ini tidak asal menyita, melainkan tetap berlandaskan prinsip keadilan dan transparansi hukum.
Mengapa Ini Sangat Penting?
Selama ini, banyak kasus korupsi berakhir ironis. Pelaku memang dihukum penjara, tapi begitu bebas, mereka masih bisa menikmati kekayaan hasil kejahatan. Masyarakat pun merasa seakan-akan negara hanya "menghukum tubuh", bukan menghukum kerakusan yang sudah merugikan banyak orang.
RUU Perampasan Aset hadir untuk mengubah situasi itu. Dengan aturan ini, koruptor tidak hanya kehilangan kebebasan, tapi juga kehilangan privilese menikmati uang rakyat. Lebih penting lagi, aset yang dirampas bisa dikembalikan ke kas negara untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan pembangunan.
Risiko yang Harus Diwaspadai
Meski membawa harapan besar, RUU ini tetap punya potensi risiko. Salah satunya adalah penyalahgunaan wewenang. Jika tak ada pengawasan ketat, aparat penegak hukum bisa saja menggunakan aturan ini untuk menekan lawan politik atau pihak tertentu. Karena itu, mekanisme pengawasan dan akuntabilitas harus diperkuat sejak awal.
Di sinilah peran DPR menjadi penting: bukan sekadar mengesahkan, tapi memastikan desain aturan benar-benar adil, transparan, dan tidak membuka celah penyalahgunaan.
Momentum yang Tak Boleh Hilang
Sejarah telah mencatat terlalu banyak penundaan. Kini, dengan dukungan politik dari presiden, perhatian publik yang mulai tumbuh, serta kebutuhan mendesak untuk menutup kebocoran uang negara, momentum ini tidak boleh dilewatkan.
Mengesahkan RUU Perampasan Aset berarti menunjukkan keberpihakan negara kepada rakyat. Bukan untuk memuaskan massa, seperti diingatkan dalam artikel Detik.com, melainkan untuk membuktikan bahwa hukum masih bisa menjadi alat keadilan.
Jika lagi-lagi gagal, jangan salahkan rakyat jika mereka kehilangan kepercayaan. Jangan salahkan publik jika sindiran "perampasan aset jalanan" terus menggema di media sosial.
Penutup
RUU Perampasan Aset adalah ujian bagi DPR dan pemerintah. Apakah mereka berani berdiri bersama rakyat melawan korupsi, atau memilih diam dan membiarkan status quo yang menguntungkan segelintir orang?
Jawabannya akan menentukan bukan hanya masa depan hukum, tapi juga arah demokrasi kita. Karena pada akhirnya, keadilan bukan soal siapa yang berkuasa, melainkan siapa yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Segera sahkan RUU Perampasan Aset. Karena menunda lagi sama saja membiarkan koruptor menang dua kali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI