Kabar gembira bagi para pencari kerja, dimana pasar tenaga kerja Indonesia mengalami perubahan signifikan. Salah satu perubahan paling progresif adalah mulai dihapusnya syarat batas usia dan penampilan fisik dari sejumlah lowongan pekerjaan.
Langkah ini menandai arah baru menuju dunia kerja yang lebih inklusif, meritokratis, dan berkeadilan. Namun, seperti setiap kebijakan besar lainnya, implementasi dan dampaknya perlu dikaji lebih dalam agar tidak hanya menjadi simbolik, tetapi benar-benar menghadirkan solusi nyata bagi jutaan pencari kerja di Indonesia.
Mengapa Batas Usia dan Good Looking Dulu Dianggap Penting?
Selama puluhan tahun, iklan lowongan kerja di Indonesia --- bahkan untuk posisi entry-level --- lazim mencantumkan syarat usia maksimal dan "berpenampilan menarik". Dalam praktiknya, kriteria ini menjadi senjata diskriminatif yang menyulitkan banyak pencari kerja, terutama mereka yang telah melewati usia 30 tahun atau memiliki keterbatasan fisik.
Kriteria tersebut muncul dari anggapan bahwa tenaga kerja muda lebih energik, mudah dilatih, dan adaptif terhadap perubahan. Penampilan fisik pun kerap dikaitkan dengan daya tarik pelayanan dan citra perusahaan, khususnya dalam industri hospitality, pemasaran, dan front office.
Namun, pendekatan ini kini dianggap ketinggalan zaman, terutama di tengah gempuran transformasi digital, perubahan gaya hidup, dan meningkatnya kesadaran publik terhadap kesetaraan dan keberagaman.
Kebijakan Resmi: Pemerintah Ambil Langkah Tegas
Belum lama ini awal 2024, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia secara resmi mengeluarkan surat edaran yang melarang pencantuman syarat batas usia dan penampilan dalam pengumuman lowongan kerja. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menyebut bahwa praktik diskriminatif semacam itu akan menjadi masa lalu.
Menurutnya, perusahaan wajib memberikan kesempatan kerja berdasarkan kompetensi dan pengalaman, bukan penampilan atau umur. Ini adalah bentuk konkret pelaksanaan asas non-diskriminasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga semangat dari Konvensi ILO.
Realita di Lapangan: Masih Banyak PR
Meski regulasi telah digulirkan, di lapangan tantangannya belum kecil. Banyak perusahaan, terutama sektor swasta menengah dan kecil, masih belum memahami atau bahkan mengabaikan ketentuan ini. Situs pencari kerja dan grup lowongan di media sosial masih dipenuhi pengumuman yang mencantumkan usia maksimal "27 tahun", "good looking", "berat badan ideal", dan kriteria subjektif lainnya.
Fenomena seperti yang terjadi dalam job fair di Cikarang---di mana ribuan pelamar mengantre dalam kondisi yang tidak manusiawi hingga menyebabkan insiden pingsan massal---menjadi simbol bahwa sistem rekrutmen kita masih jauh dari ideal. Banyak pencari kerja datang dengan harapan baru, hanya untuk pulang dengan kecewa karena diskriminasi yang tersembunyi dalam bentuk lain, seperti "pengalaman minimal 2 tahun" untuk posisi pemula.
Mengapa Inklusivitas Itu Penting?
Inklusivitas dalam dunia kerja bukan semata soal keadilan moral. Ada nilai ekonomis dan strategis yang besar di baliknya. Studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa tim yang terdiri dari anggota beragam usia dan latar belakang menghasilkan solusi yang lebih kreatif dan inovatif.