Siapa Kamu di Luar Peranmu?Seringkali orang mengenal kita bukan dari siapa kita sebenarnya, tapi dari peran yang kita jalani: ibu dari si A, istri dari si B, anak dari si C. Nama kita melekat pada identitas yang diberikan oleh hubungan dan peran itu. Tapi, apa lagi sebenarnya yang kita miliki? Siapa kita ketika label-label itu hilang?
Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri:
Siapa aku jika suatu hari nanti, semua peran yang melekat di namaku hilang?
Bagi banyak laki-laki, identitas seringkali terpatri pada peran sebagai provider, pencari nafkah, pelindung keluarga, penopang rumah tangga. Bagi banyak perempuan, identitas kerap melekat pada peran sebagai istri, ibu, anak, atau pendamping.
Namun, peran-peran itu bisa berubah, bahkan lenyap tanpa kita minta.
Seorang laki-laki mungkin kehilangan pekerjaannya, lalu merasa kehilangan jati dirinya sebagai provider. Seorang perempuan mungkin melepas status istri, anak-anaknya tumbuh dewasa, dan keluarganya tak lagi memerlukan perhatiannya seperti dulu.
Lalu... siapa kita ketika semua itu pergi?
Apakah kita tetap berdiri sebagai diri yang utuh, atau justru runtuh karena selama ini hidup hanya berputar di orbit peran tersebut?
Inilah alasan mengapa kita, laki-laki maupun perempuan, perlu membangun identitas yang lebih dari sekadar peran. Kita perlu mimpi, tujuan, dan jiwa yang tetap menyala, bahkan ketika status dan keadaan berubah.
Mencintai dan mengabdi pada orang yang kita sayangi bukanlah salah. Namun, jangan sampai hidup kita habis untuk mimpi orang lain, sementara mimpi kita sendiri terpendam dalam diam.
Tidak apa-apa terlihat egois sesekali, jika itu berarti menjaga jiwa dan arah hidup kita. Karena suatu hari nanti, ketika semua peran hilang, satu-satunya yang akan tetap menemani kita sejak awal hingga akhir hanyalah... diri kita sendiri.
Namun, dalam menjaga diri itu, kita sering dihadapkan pada orang-orang yang sulit menghargai batasan, seperti seseorang yang selalu menempel dan ikut campur tanpa diminta. Aku pernah merasakan bagaimana kehadiran yang tak diundang itu bisa membuat ruang pribadi terasa sesak, seperti udara yang penuh dengan bayangan yang sulit diusir.
Mereka mungkin tak menyadari bahwa kelekatan yang berlebihan bukanlah bentuk kasih sayang sejati, melainkan cermin ketakutan dan kebutuhan mereka sendiri. Dari pengalaman itu aku belajar bahwa menjaga batas bukan hanya soal menolak orang lain, tapi lebih pada memberi ruang agar jiwa kita dan mereka bisa bernapas bebas.