Mohon tunggu...
Nadiya Putri Rusjdi
Nadiya Putri Rusjdi Mohon Tunggu... @narichifleur

Saya adalah seorang event styling, floral stylist, sekaligus penulis reflektif. Lewat platform Narichifleur, saya menciptakan dekorasi bunga yang tak sekadar indah, tapi juga menyentuh sisi emosional manusia. Hobi saya menulis, menyusun rangkaian bunga, dan membangun ruang healing untuk perempuan yang ingin bangkit dengan cara yang lembut namun berdaya. Topik favorit saya meliputi: refleksi diri, kehidupan ibu tunggal, healing lewat seni dan simbolisme bunga, spiritualitas praktis, hingga self-design dengan teknologi. Saya percaya bahwa setiap cerita perempuan, sekecil apa pun, layak didengar. Kompasiana adalah ruang saya untuk berbagi serpihan proses, pelajaran, dan harapan agar siapa pun yang membaca tahu bahwa ia tidak sendirian. Mari berproses hingga mendapatkan hasil akhir kehidupan yang indah, sebagaimana merangkai bunga satu persatu, untuk kemudian menjadi satu rangkaian akhir yang indah.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Siapa Kamu di Luar Peranmu?

10 Agustus 2025   09:35 Diperbarui: 11 Agustus 2025   12:28 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto pribadi@narichi_space

Siapa Kamu di Luar Peranmu?Seringkali orang mengenal kita bukan dari siapa kita sebenarnya, tapi dari peran yang kita jalani: ibu dari si A, istri dari si B, anak dari si C. Nama kita melekat pada identitas yang diberikan oleh hubungan dan peran itu. Tapi, apa lagi sebenarnya yang kita miliki? Siapa kita ketika label-label itu hilang?

Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri:
Siapa aku jika suatu hari nanti, semua peran yang melekat di namaku hilang?

Bagi banyak laki-laki, identitas seringkali terpatri pada peran sebagai provider, pencari nafkah, pelindung keluarga, penopang rumah tangga. Bagi banyak perempuan, identitas kerap melekat pada peran sebagai istri, ibu, anak, atau pendamping.

Namun, peran-peran itu bisa berubah, bahkan lenyap tanpa kita minta.

Seorang laki-laki mungkin kehilangan pekerjaannya, lalu merasa kehilangan jati dirinya sebagai provider. Seorang perempuan mungkin melepas status istri, anak-anaknya tumbuh dewasa, dan keluarganya tak lagi memerlukan perhatiannya seperti dulu.

Lalu... siapa kita ketika semua itu pergi?
Apakah kita tetap berdiri sebagai diri yang utuh, atau justru runtuh karena selama ini hidup hanya berputar di orbit peran tersebut?

Inilah alasan mengapa kita, laki-laki maupun perempuan, perlu membangun identitas yang lebih dari sekadar peran. Kita perlu mimpi, tujuan, dan jiwa yang tetap menyala, bahkan ketika status dan keadaan berubah.

Mencintai dan mengabdi pada orang yang kita sayangi bukanlah salah. Namun, jangan sampai hidup kita habis untuk mimpi orang lain, sementara mimpi kita sendiri terpendam dalam diam.

Tidak apa-apa terlihat egois sesekali, jika itu berarti menjaga jiwa dan arah hidup kita. Karena suatu hari nanti, ketika semua peran hilang, satu-satunya yang akan tetap menemani kita sejak awal hingga akhir hanyalah... diri kita sendiri.

Namun, dalam menjaga diri itu, kita sering dihadapkan pada orang-orang yang sulit menghargai batasan, seperti seseorang yang selalu menempel dan ikut campur tanpa diminta. Aku pernah merasakan bagaimana kehadiran yang tak diundang itu bisa membuat ruang pribadi terasa sesak, seperti udara yang penuh dengan bayangan yang sulit diusir.

Mereka mungkin tak menyadari bahwa kelekatan yang berlebihan bukanlah bentuk kasih sayang sejati, melainkan cermin ketakutan dan kebutuhan mereka sendiri. Dari pengalaman itu aku belajar bahwa menjaga batas bukan hanya soal menolak orang lain, tapi lebih pada memberi ruang agar jiwa kita dan mereka bisa bernapas bebas.

Menjaga batas adalah langkah pertama untuk menemukan peran yang sejati, peran yang bukan hanya diturunkan atau diterima, tapi yang kita pilih dan jalani dengan penuh kesadaran. Mencari peran sendiri berarti menggali potensi, mimpi, dan panggilan yang membuat kita merasa hidup secara utuh dan bermakna.

Akankah kita bersedih saat peran dan hubungan yang selama ini melekat mulai mengendur atau bahkan hilang? Tentu saja, itu adalah reaksi manusiawi yang wajar. Namun, yang perlu kita sadari adalah, kesedihan itu bukan untuk mengikat kita pada masa lalu atau membuat kita kehilangan diri sendiri. Sedih itu ada agar kita bisa berproses, berdamai, dan akhirnya melepaskan dengan lapang hati. Karena yang seharusnya tidak terjadi yaitu kehilangan diri sendiri karena terlalu melekat pada peran, bukanlah sesuatu yang perlu dibiarkan terus terjadi.

Sejatinya, manusia itu adalah jiwa yang utuh, lebih dari sekadar peran, status, atau label yang melekat sementara. Kita adalah kesadaran yang terus berkembang, yang berhak menemukan makna dan kebahagiaan dari dalam diri sendiri, bukan dari pengakuan atau peran yang diberikan orang lain.

Pertanyaan untuk kita renungkan bersama:
Sudahkah aku mengenal siapa diriku di luar peran yang selama ini kujalani?
Apa peran sejati yang ingin aku jalani, yang lahir dari hati dan bukan dari tekanan luar?
Bagaimana aku menjaga batas agar jiwaku tetap bebas dan tumbuh?
Dan yang tak kalah penting, bagaimana aku belajar melepaskan dengan lapang hati saat kehadiranku tak lagi dibutuhkan, agar aku tidak terus menempel dan kehilangan diri sendiri?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun