Mohon tunggu...
Nadien Ayu Ananda
Nadien Ayu Ananda Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa UIN Jakarta

Nadien Ayu merupakan Mahasiswa aktif Sosiologi UIN Jakarta 2019

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

17 November 2019   14:50 Diperbarui: 17 November 2019   15:03 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ulasan Buku
Pada kesempatan kali ini, resensator akan memfokuskan bahasan pada bab pertama dalam buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas" karya Neng Dara Affiah dengan tema Islam dan Kepemimpinan Perempuan. Pada bab ini, terdapat beberapa sub-bab yang mengisinya antara lain Islam dan Kepemimpinan Perempuan; Kepemimpinan Perempuan dan Otonomi Diri; Kepemimpinan Perempuan: Andai Megawati Jadi Presiden; Kepemimpinan Perempuan dan Kualitas Diri; Politik, Etika, dan Perempuan: Sebuah Pertanyaan; Otonomi Daerah dan Perempuan, dan terakhir; Kartini yang Terkuburkan.

Pada sub-bab pertama yaitu Islam dan Kepemimpinan Perempuan, buku tersebut berusaha menyampaikan bahwa salah satu keutamaan ajaran Islam adalah memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial (kasta), ras, dan jenis kelamin.
Dalam buku ini, dijelaskan ada tiga perempuan yang disayangi, dihormati, dan disantuni Nabi sepanjang hidupnya. Tiga perempuan itu ialah Khadijah, Aisyah, dan Fatimah. Padahal pada masa itu, perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak utuh, dikerdilkan, dan diremehkan. Nabi memberikan perempuan kesempatan yang sama dengan laki-laki, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada pernyataan ini dapat kita lihat penulis ingin kita mengetahui bahwa Nabi sangat feminis sekali.


Buku ini menjelaskan pula bahwa tidak ada ayat maupun hadis dalam Al-Qur'an yang menentang perempuan untuk menjadi pemimpin. Karena dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin (Qs. Al-baqarah: 30). Pemimpin di sini memiliki makna dan cakupan yang sangat luas. Ia bisa menajdi pemimpim pemerintahan, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan pemimppin untuk diri sendiri. Sebagaimana hadis Nabi: "Masing-masing kamu adalah pemimpin. Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya" (Hadis Riwayat Ibn Abbas).
Terdapat beberapa perbedaan dalam penafsiran "Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab atas perempuan" (An-Nisa: 34) oleh beberapa penafsir. Sehingga menyatakan bahwa lelaki adalah pemimpin atas perempuan. Menjadikan laki-laki lebih superior dan perempuan menjadi inferior. Ada banyaknya pro kontra terhadap ayat tersebut. Namun penulis buku menjelaskan serta meluruskan kesalah pahaman atas penafsiran tersebut dengan penjelasan yang ringan dan mudah dipahami. Bahwa nyatanya dalam Islam, perempuan dapat dan layak untuk menjadi pemimpin.


Dalam Islam, tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin. Namun, banyak faktor yang menyumbat potensi kepemimpinan perempuan ini, di antaranya adalah pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran Islam. Tantangan lainnya adalah ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki. Alam bawah sadar kolektif masyarakat patriarki egonya tabu tunduk di bawah kekuasaan perempuan, karena internalisasi nilai bahwa laki-laki sebagai manusia utama, perempuan sebagai pelengkap. Narasi agama kerap dimanipulasi dan menjadi tameng kepentingan ego penafsirnya.


Selanjutnya ada kepemimpinan perempuan dan otonomi diri. Dalam Islam, ganjalan terkuat seputar kemunculan pemimpin perempuan adalah ganjalan teologis. Ada kendala perempuan menjadi pemimpin. Kendala itu brasal dari konsep "qawwam" yang sudah disebutkan di atas. Padahal, sebuah kata akan bergeser maknanya seiring dengan konteks ruang dan waktu. Bagi penulis buku ini, yang jauh lebih penting diperdebatkan adalah bukan ayatnya, tetapi alam bawah sadar kolektif masyarakat laki-laki, yang agaknya, egonya tabu tunduk di bawah kekuasaan perempuan. Ini persoalan ego, bukan ayat. Ayat bisa dimanipulasi menjadi tameng kepentingan ego penafsirnya.
Sejak kecil, pola pendidikan watak kepemimpinan, perempuan atau laki-laki sebaiknya tidak dibedakan. Anak perempuan dan laki-laki berhak mengakses apa saja sepanjang mampu membuat diri mereka berkembang. Setelah mereka mampu memilih, berikan mereka kebebasan memilih sesuai pilihan hatinya. Biarkan mereka jatuh bangun dengan pilihannya, karena dalam proses itu, akan muncul pendewasaan hidup dan "otonomi" diri.


Kepemimpinan perempuan: andai Megawati jadi presiden ini membahas analisis mengenai fenomena kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden yang dilakukan oleh Onghokham. Ong menganalisis bahwa kerinduan masyarakat kepada figur pengayom tampaknya akibat dari kejenuhan terhadap pola penerapan kepemimpinan bapakisme yang terlampau mengedepankan sikap otoritarian, hierarkis, penakluk dan represif yang diterapkan sebelumnya. Kejenuhan tersebut kemudian melahirkan kerinduan akan kepemimpinan yang mendengarkan detak hati rakyat, melindungi, dan memberikan keteduan. Figur tersebut ada pada figur Megawati Soekarnoputri. Penulis mengedepankan aspek feminisitas dalam kepemimpinan, semata-mata agar ada keseimbangan nilai dalam penerapan mekanisme kekuasaan.


Dalam sub-bab kepemimpinan perempuan dan kualitas diri, penulis memiliki argumen bahwa pada era millennium baru, tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama sudah relatif baik, para ulama telah banyak mengkaji ulang teks kitab suci untuk sebuah kontekstualisasi. Namun, untuk kepentingan politik sesaat, politisi mengedepankan "justifikasi" berdasar ayat yang justru amat bertentangan dengan semangat kelahiran sebuah agama atau kemunculan kitab suci yang sangat menjunjung kesetaraan manusia. Apakah tidak terlalu murah sebuah ayat suci ditafsirkan untuk kepentingan politik dan golongan tertentu? Barangkali distop saja perdebatan kepemimpinan perempuan atas dasar diskriminasi gender dan isu agama, tapi mulailah dengan standar kemampuan dan kualitas diri.


Pada sub-bab politik, etika dan perempuan: sebuah pertanyaan, penulis berusaha menjawab sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi pembahasan pada sub-bab ini. Mengapa perempuan hanya sedikit yang duduk di bangku DPR? Apakah karena dunia politik merupakan wilayah yang keras dan kotor yang tidak disentuh oleh dunia perempuan?

Penulis menjelaskan politik "kotor" ketika para politisi mencampur adukkan kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi atau golongannya, sehingga berlakulah penghalalan segala cara, termasuk politik uang, pemaksaan, keculasan, dan sejenisnya. Penulis kemudian membawa kita berkilas balik pada sejarah. Ketika Hatta dan Sjahrir merupakan pemain politik yang pandai namun juga kecerdikan strateginya sebagai seorang cendekia. Kedua tokoh ini yang ingin disampaikan oleh penulis sebagai acuan politisi yang beretika.

Kini, saat situasi negara sedang gamang, carut-marut persoalan bangsa tak dapat dielakkan, ibu-ibu mengeluhkan melambungnya harga, sedang bapak-bapak berebut posisi di partai, maka rakyat mencari-cari model kepemimpinan yang cocok untuk membawa bangsa ini, dan rasanya kita merindukan kepemimpinan yang memiliki watak yang distereotipkan sebagai seorang ibu sejati, yang mendengarkan keluhan suara anak-anak manusia, mengayomi, memberikan teduhan, tulus dan bersikap tegas, dan tentu saja memiliki akhlak yang baik.


Otonomi daerah dan perempuan menjadi topik pembahasan selanjutnya oleh penulis. Penulis menjelaskan bagaimana lahirnya otonomi daerah, menjelaskan peluang, peran serta fungsi otonomi daerah dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya, serta bagaimana otonomi daerah dapat memberikan peluang kepada masyarakat yang ada di daerah untuk mengurus dirinya tentang apa yang mereka mau dan apa yang mereka tuju. Dengan kata lain, "Jika Anda menginginkan sesuatu, usahakan oleh dirimu keinginan itu."
Dalam kaitannya dengan perempuan, selama ini potensi dan kreativitas perempuan, terutama di berbagai daerah belum sepenuhnya diberdayakan. Berbagai ruang musyawarah masyarakat hampir sepenuhnya diisi oleh laki-laki. Masjid, balai desa, balai kecamatan, balai perkumpulan pemuda, gedung dewan perwakilan rakyat daerah, dan berbagai arena publik lainnya. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 Tahun 1999, potensi dan kreativitas perempuan harus kita gali bersama dan dapat menyongsong kemajuan agama, daerah, dan bangsa kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun