Mohon tunggu...
Nadia Putri Sarah Pardede
Nadia Putri Sarah Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris

Sedang dalam proses menjadikan nulis sebagai kewajiban.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seribu Peran Ibu

4 Desember 2020   00:38 Diperbarui: 4 Desember 2020   00:45 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Jika Natal telah tiba, kami biasanya membuat kue-kue Natal sendiri. Mulai dari nastar, kastengel, putri salju dan sebagainya. Disitulah momen Natal begitu terasa. Aku dan kakakku bertugas membentuk kue Natal dengan bentuk yang menarik dan variatif. Ibu bertugas membuat adonan dan mengawasi oven agar kue yang sedang dipanggang tidak gosong. Adikku siap siaga jika ada bahan-bahan kue yang kurang, Ibu akan menyuruhnya membeli ke warung terdekat. Jika kue Natal sudah matang sempurna, kami akan berlomba untuk mencicipinya. Ya, walaupun rasanya tetap sama dan enak dari tahun ke tahun.

            Namun, Ibu punya kebiasaan unik setelah semua kue Natal selesai dibuat. Ibu memisahkan kue yang kondisinya bagus dengan kue yang gagal karena gosong atau bentuknya yang rusak. Untuk kue yang kondisinya bagus disimpan dalam stoples yang bagus dan cantik. Sedangkan untuk kue yang kondisinya jelek disimpan dalam plastik bening biasa. Yang lebih mengherankan adalah kami hanya boleh memakan kue yang kondisinya jelek saja. Jujur saja, aku yang dalam bentuk anak kecil kala itu protes sama Ibu.

"Sudah capek-capek buatnya eh malah kebagian yang gagal produksi" kataku galak.

"Kalau kamu bertamu ke rumah orang dan disuguhkan camilan gosong, apa tanggapanmu?" tanya Ibu.

"Oh nggak mungkin ada tuan rumah yang seperti itu, Bu. Kalau sampai ada pasti menyebalkan sekali" jawabku penuh percaya diri.

"Nah, Ibu juga nggak mau jadi salah satu dari tuan rumah menyebalkan seperti yang kamu sebutkan tadi" jawab Ibu sambil tersenyum penuh makna.

            Tertegun aku mendengar jawaban Ibu. Lalu kumakan kue Natal dengan kondisi jelek tadi. Rasanya sama-sama enak kok, aku bergumam. Seperti itulah Ibu, sering sekali memberikan pelajaran hidup melalui hal-hal kecil. Pelajaran yang kudapat dari kue Natal tersebut adalah aku harus bisa memperlakukan seseorang sebagaimana aku ingin diperlakukan. Sering sekali aku menuntut orang berlaku baik padaku, tanpa memikirkan apakah aku sudah memperlakukannya dengan baik atau belum.

aaaaaa-5fc92164d541df0bb31cdb23.jpg
aaaaaa-5fc92164d541df0bb31cdb23.jpg
            Ibu juga yang mengajarkanku untuk tetap bertahan di setiap badai kehidupan. Aku sangat heran dengan sikap Ibu yang selalu positif saat masalah menyerangnya bertubi-tubi. Tidak pernah disalahkannya sang Pencipta jika beban yang dipikulnya kelewat berat. Dianggapnya masalah itu sebagai obat yang membuatnya kuat dan setia. Melihat Ibu yang selalu bersikap positif seperti itu membuatku mencoba meneladaninya. Benar saja, selalu ada pelangi sehabis hujan.

            Aku percaya bahwa rumah adalah tempat terbaik untuk pulang. Jika perkuliahan membuat kepala penat jarang sekali aku ikut nongkrong dengan teman. Aku sering memutuskan untuk langsung pulang ke rumah saja. Membuka pintu dan melihat Ibu yang sedang memasak bubur kacang hijau di dapur bagaikan obat penghilang stress paling mujarab. Hanya melihat ekspresiku saja, Ibu bisa tahu bahwa aku sedang menghadapi sebuah masalah. Aku tipe orang yang tidak terlalu mau menunjukkan rasa sedih di depan banyak orang bahkan pada sahabatku sendiri. Tapi beda dengan Ibu, kepadanya kutumpahkan seluruh isi hatiku. Dia hanya mendengarkan dan merespon seadanya.

"sudahlah nggak apa-apa kok, kan masih ada lain waktu" katanya sambil menatapku lembut. Itu lebih dari cukup, suasana hatiku membaik lagi hanya karena kata-kata sesederhana itu.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        

            Ibu, jika suatu saat nanti pun aku bisa membeli semua yang kau mau, kupastikan itu tidak akan setimpal dengan apa yang telah kau berikan padaku. Kasih sayangmu mahal. Meskipun tidak pernah kau tuntut apa-apa kepada anak-anakmu, justru itu yang membuat tekadku bulat untuk membahagiakanmu, membahagiakan Bapak. Walaupun saat ini hal yang bisa kulakukan adalah sesering mungkin membuat bibirmu meyunggingkan senyuman. Sampai bertemu di fase paling bahagia, malaikat tak bersayapku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun