Mohon tunggu...
Nadia Putri Sarah Pardede
Nadia Putri Sarah Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris

Sedang dalam proses menjadikan nulis sebagai kewajiban.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seribu Peran Ibu

4 Desember 2020   00:38 Diperbarui: 4 Desember 2020   00:45 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Sosok lembut, baik hati dan selalu berhasil menjadi pelipur lara dikala lelah melanda. Namanya Ibu. Entah mengapa mendengar suara tapak kakinya yang baru pulang dari bepergian saja hati ini sudah sangat senang. Aku dan adikku biasanya berebutan membukakan pintu buat Ibu. Ada atau tidaknya makanan yang dia bawa tidaklah penting, yang penting dia sudah pulang. Meskipun biasanya Ibu akan selalu membawa makanan dari tempat yang dikunjunginya tanpa diminta, misalnya buah-buahan atau kue-kue kering. Jika Ibu baru pulang dari suatu tempat, biasanya kami mengobrol ringan dulu di ruang tengah. Nah, inilah bagian favoritku. Aku bisa menumpahkan seluruh keluh kesahku pada Ibu. Jika ada penghargaan untuk nominasi pendengar curahan hati terbaik, aku rasa Ibu pemenangnya. Aku juga sering menceritakan hal-hal yang bahkan pada sahabatku sendiri pun belum pernah kuceritakan. Contohnya tentang segala impian-impian gilaku yang mustahil untuk diwujudkan, Ibu juga tidak pernah mencibir sedikit pun. Pokoknya tempat curhat ternyaman deh!

            Masa kecilku juga terasa menyenangkan. Ibu yang telaten menjaga dan merawat kami, dibantu Bapak yang selalu menyisihkan gajinya untuk membeli makanan bergizi bagi kami. Yang paling kuingat dari sosok Ibu adalah beliau selalu menciptakan lagu spesial untuk anak-anaknya yang selalu dinyanyikannya saat kami masih kecil. Dulu, Ibu suka sekali makan buah nangka saat sedang mengandung aku. Tidak heran akhirnya aku pun sangat menyukai buah nangka.

            Aku bisa bilang bahwa Ibu Sekolah Pertamaku. Dari beliaulah aku belajar banyak hal. Kesabarannya melebihi seorang guru. Tak pernah bosan dia menjawab pertanyaan yang sama dariku saat aku berusia 4 tahun:

"Ibu... Lihat! Tangan kananku sudah berhasil menggapai telinga kiriku. Aku sudah bisa masuk SD dong!" teriakku sombong sambil mematut diri di depan cermin saat Ibu sedang memasak di dapur. Entah mengapa dulu standar anak yang sudah boleh masuk SD adalah anak yang sudah bisa menggapai telinganya dengan tangan yang berbeda sisi, menggelikan tapi aku dulu percaya itu. Ibu yang melihatku berjinjit di depan cermin hanya tersenyum dan menjawab seadanya:

"Tunggu kakakmu naik ke kelas 5 dulu ya! Baru kamu boleh masuk SD" jawab Ibu sambil melanjutkan aktivitasnya di dapur. Aku mengangguk senang kala itu.

kompass-5fc92063d541df6dc75d0d22.jpg
kompass-5fc92063d541df6dc75d0d22.jpg
           Yah, begitulah Ibu. Penyabar, entah sudah berapa kali aku menanyakan hal tersebut dan dia menjawab dengan sabar seolah-olah itu pertama kalinya aku menanyakan hal itu. Sangat berbeda denganku yang terkadang jenuh menjawab pertanyaan Ibu tentang bagaimana mengunggah video tanaman bunganya ke akun Facebook miliknya. Saat dia menanyakan pertanyaan yang sama, terkadang aku menjawabnya dengan ketus dan bernada tinggi. Lalu kujelaskan lagi dengan muka masam. Setiap kali aku menjawab Ibu dengan nada tinggi, saat itu pula aku menyesali perbuatanku itu. Ya, satu-satunya hal yang aku benci tentang Ibu adalah saat aku melawannya. Aku terkadang mengutuk diriku sendiri saat egoku menang. Ibu tidak pernah membalas amarahku, dia memilih diam dan memberikan waktu untuk aku memikirkan kesalahanku.

            Tidak pernah berhenti aku mengagumi sosok Ibu. Dia yang sering mengesampingkan kepentingannya sendiri demi kepentingan anaknya. Jika aku dengan penuh percaya diri mencurahkan seluruh kesedihanku padanya, dia memilih untuk memendam kesedihannya sendiri. Sebesar apapun beban dan masalah yang dihadapinya, dia akan mengatasinya sendirian. Dia tidak mau anak-anaknya merasa terbebani. Jika aku mengetahui masalah itu dengan sendirinya, aku akan memprotes Ibu habis-habisan karena tidak menceritakannya padaku.

            Aku masih ingat saat aku sudah kelas 4 SD, sekolah kami mengadakan Natal. Nah, kebetulan aku ada penampilan vokal solo kala itu. Aku bercerita pada Ibu tentang hal itu 2 hari sebelum Natal sekolah dilaksanakan. Dibelikannya aku gaun merah muda yang indah. Entah darimana Ibu mendapatkan uang untuk membeli gaun seindah itu, padahal seingatku kondisi keuangan kami sangat minim saat itu. Pada saat hari H pun, Ibu datang walaupun sebenarnya dia memiliki acara lain tetapi dia memutuskan untuk menghadiri Natal sekolahku saja. Senangnya aku saat penampilanku akan dimulai, Ibu pindah tempat duduk ke kursi paling depan agar aku tidak gugup saat menyanyi. Melihat senyuman Ibu yang sampai sekarang masih menjadi senyum favoritku, rasa percaya diriku pun meningkat dan aku bisa bernyanyi dengan luwes dan santai.

abcd-5fc920e4d541df16ca767942.jpg
abcd-5fc920e4d541df16ca767942.jpg
           Ibu yang mengajarkanku untuk tidak bersikap seenaknya di dunia luar. Masih membekas dipikiranku saat aku berkelahi dengan teman sepermainanku saat berumur 10 tahun. Ibu datang dengan tergopoh-gopoh ke tempat bermainku. Dilihatnya lutut dan tanganku berdarah akibat adu jotos dengan lawanku. Alih-alih memarahi lawanku, dia justru menjewer telingaku yang membuat teman-teman lain puas menertawakanku. Aku sangat kesal saat itu, mengapa aku yang dimarahi padahal jelas-jelas lawanku yang memulai perkelahian terlebih dahulu. Lalu kemudian aku tersadar, Ibu bukannya membenciku. Dia hanya ingin mengajarkan aku untuk pintar memilih teman dan hati-hati dalam bertindak. Sejak saat itu, aku lebih selektif memilih teman dan kebiasaan itu terbawa sampai sekarang.

            Jika setiap kami anak-anak Ibu melakukan kesalahan, contohnya mencuri uang atau berkelahi dengan adik atau kakak, biasanya kami dimasukkan dan dikunci  di sebuah ruangan. Kamar gelap kami biasa menyebutnya, tempat itu digunakan sebagai ruang penyimpanan benda-benda yang sudah tidak terpakai. Di ruangan yang segelap namanya itu, kami akan dikurung sampai kami benar-benar menyesali perbuatan kami. Aku bahkan sering sampai ketiduran di sana karena kelelahan menangis. Kamar gelap mengajarkan kami untuk berhati-hati dalam bertindak dan bersikap. Sesudah menyesali perbuatan kami, Ibu akan membuka pintu kamar gelap dan akhirnya kami diperbolehkan keluar, setelahnya Ibu akan mengelus-elus kepala kami sebagai bahasa cinta bahwa sebenarnya dia terpaksa mengurung kami di kamar gelap agar kami kapok.

            Dia yang mengajarkanku bagaimana caranya bahagia di tengah kesederhanaan. Jika bersama Ibu, ubi goreng dan secangkir teh manis pun terasa mewah. Jatuh hati aku dengan kesederhanaan Ibu. Jika gaji dari mengajar privatku sudah kuterima, kubelikan dia sebatang cokelat kesukaannya. Berseri-seri wajahnya menerima cokelat itu, bagai menerima emas ekspresinya. Melihat wajah bahagianya, terbayar sudah semua rasa lelahku.

            Jika Natal telah tiba, kami biasanya membuat kue-kue Natal sendiri. Mulai dari nastar, kastengel, putri salju dan sebagainya. Disitulah momen Natal begitu terasa. Aku dan kakakku bertugas membentuk kue Natal dengan bentuk yang menarik dan variatif. Ibu bertugas membuat adonan dan mengawasi oven agar kue yang sedang dipanggang tidak gosong. Adikku siap siaga jika ada bahan-bahan kue yang kurang, Ibu akan menyuruhnya membeli ke warung terdekat. Jika kue Natal sudah matang sempurna, kami akan berlomba untuk mencicipinya. Ya, walaupun rasanya tetap sama dan enak dari tahun ke tahun.

            Namun, Ibu punya kebiasaan unik setelah semua kue Natal selesai dibuat. Ibu memisahkan kue yang kondisinya bagus dengan kue yang gagal karena gosong atau bentuknya yang rusak. Untuk kue yang kondisinya bagus disimpan dalam stoples yang bagus dan cantik. Sedangkan untuk kue yang kondisinya jelek disimpan dalam plastik bening biasa. Yang lebih mengherankan adalah kami hanya boleh memakan kue yang kondisinya jelek saja. Jujur saja, aku yang dalam bentuk anak kecil kala itu protes sama Ibu.

"Sudah capek-capek buatnya eh malah kebagian yang gagal produksi" kataku galak.

"Kalau kamu bertamu ke rumah orang dan disuguhkan camilan gosong, apa tanggapanmu?" tanya Ibu.

"Oh nggak mungkin ada tuan rumah yang seperti itu, Bu. Kalau sampai ada pasti menyebalkan sekali" jawabku penuh percaya diri.

"Nah, Ibu juga nggak mau jadi salah satu dari tuan rumah menyebalkan seperti yang kamu sebutkan tadi" jawab Ibu sambil tersenyum penuh makna.

            Tertegun aku mendengar jawaban Ibu. Lalu kumakan kue Natal dengan kondisi jelek tadi. Rasanya sama-sama enak kok, aku bergumam. Seperti itulah Ibu, sering sekali memberikan pelajaran hidup melalui hal-hal kecil. Pelajaran yang kudapat dari kue Natal tersebut adalah aku harus bisa memperlakukan seseorang sebagaimana aku ingin diperlakukan. Sering sekali aku menuntut orang berlaku baik padaku, tanpa memikirkan apakah aku sudah memperlakukannya dengan baik atau belum.

aaaaaa-5fc92164d541df0bb31cdb23.jpg
aaaaaa-5fc92164d541df0bb31cdb23.jpg
            Ibu juga yang mengajarkanku untuk tetap bertahan di setiap badai kehidupan. Aku sangat heran dengan sikap Ibu yang selalu positif saat masalah menyerangnya bertubi-tubi. Tidak pernah disalahkannya sang Pencipta jika beban yang dipikulnya kelewat berat. Dianggapnya masalah itu sebagai obat yang membuatnya kuat dan setia. Melihat Ibu yang selalu bersikap positif seperti itu membuatku mencoba meneladaninya. Benar saja, selalu ada pelangi sehabis hujan.

            Aku percaya bahwa rumah adalah tempat terbaik untuk pulang. Jika perkuliahan membuat kepala penat jarang sekali aku ikut nongkrong dengan teman. Aku sering memutuskan untuk langsung pulang ke rumah saja. Membuka pintu dan melihat Ibu yang sedang memasak bubur kacang hijau di dapur bagaikan obat penghilang stress paling mujarab. Hanya melihat ekspresiku saja, Ibu bisa tahu bahwa aku sedang menghadapi sebuah masalah. Aku tipe orang yang tidak terlalu mau menunjukkan rasa sedih di depan banyak orang bahkan pada sahabatku sendiri. Tapi beda dengan Ibu, kepadanya kutumpahkan seluruh isi hatiku. Dia hanya mendengarkan dan merespon seadanya.

"sudahlah nggak apa-apa kok, kan masih ada lain waktu" katanya sambil menatapku lembut. Itu lebih dari cukup, suasana hatiku membaik lagi hanya karena kata-kata sesederhana itu.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        

            Ibu, jika suatu saat nanti pun aku bisa membeli semua yang kau mau, kupastikan itu tidak akan setimpal dengan apa yang telah kau berikan padaku. Kasih sayangmu mahal. Meskipun tidak pernah kau tuntut apa-apa kepada anak-anakmu, justru itu yang membuat tekadku bulat untuk membahagiakanmu, membahagiakan Bapak. Walaupun saat ini hal yang bisa kulakukan adalah sesering mungkin membuat bibirmu meyunggingkan senyuman. Sampai bertemu di fase paling bahagia, malaikat tak bersayapku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun