Mohon tunggu...
Nadia Ananda Putri
Nadia Ananda Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Hobi saya menyanyi, bermain peran, menari. Saya memiliki ketertarikan mengenai pola pikir manusia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak Pintar Vs Anak Berbakat, Orang Tua : Kami Harus Apa?

28 Oktober 2022   13:45 Diperbarui: 28 Oktober 2022   13:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Halo, Sahabat Kompasiana di mana pun kalian berada!

Salam hangat dari Saya, semoga kalian selalu diberkahi kesehatan dan kebahagiaan.

Seringkali kita mendengar adanya pernyataan dari orang tua yang menekankan mereka selalu menginginkan dan telah mempersiapkan yang terbaik untuk anaknya. tidak dapat dipungkiri hal tersebut memang benar adanya dikarenakan tidak mungkin ada orang tua yang menginginkan anaknya mengalami suatu kegagalan. Tetapi, darimana mereka tahu bahwa segala yang mereka persiapkan itu adalah hal yang baik untuk anaknya? Bagaimana jika kenyataannya, keinginan dan apa yang mereka persiapkan malah menjadi momok menakutkan dan bumerang tersendiri bagi anaknya? Mari kita ulas bersama ya sahabat..

Pernahkah kalian mendengar istilah dari anak pintar dan anak berbakat? Mungkin istilah anak pintar ini lebih sering didengar karena kebanyakan orang tua sering mendambakan anaknya menjadi seseorang yang pintar. Lain halnya dengan anak berbakat, sangat jarang terdengar jika orang tua ingin anaknya menjadi orang yang penuh bakat. Hal ini dikarenakan dalam pandangan orang tua suatu kesuksesan hanya akan dapat diraih oleh orang-orang yang pintar saja. Maka dari itu muncul berbagai stigma dimana salah satunya adalah, “orang sukses itu ya yang bisa jadi profesor” atau sama halnya dengan “besok kalau kamu besar, jadi dokter yang hebat ya, nak”. Hingga mereka lupa, ada yang dinamakan kecerdasan lain dalam diri seseorang yang akrab disebut dengan bakat.

Howard gardner, seorang psikolog asal amerika berhasil menemukan suatu teori dimana beliau menyatakan bahwa ada sembilan jenis kecerdasan yang mungkin dimiliki oleh seorang individu. Di antaranya ada Logical-Mathematical, Bodily-Kinesthetic, Musical, Spasial, Linguistic, Intrapersonal, Interpersonal, Naturalis, Eksistensial. Dari teori inilah Saya berani menyatakan bahwa pemikiran orang tua mengenai anak pintar ini perlu adanya perbaikan.

Mengapa demikian? Banyak ditemukan anak-anak yang kurang mampu menguasai, mata pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Tetapi mereka memiliki kecakapan yang tinggi dalam hal lain. Seperti halnya, anak yang pandai main bola, anak yang pandai menari, bermain musik, bermain catur, ahli olahraga, bela diri, public speaking dan lain sebagainya. Apakah semua ini berarti dalam pandangan orang tua? Belum tentu. Nyatanya sebagian besar orang tua kurang peduli mengenai sisi lain yang dimiliki oleh anaknya, bahkan ada pula yang menentang hal tersebut karena dirasa tidak ada gunanya dan buang-buang waktu saja. Di mata mereka, yang perlu dilakukan oleh anak adalah belajar dan terus belajar, dimana disini konteksnya adalah belajar mata pelajaran.

Tanpa mereka sadari, hal tersebut berpengaruh besar dalam kehidupan seorang anak. Bagi beberapa anak, bakat yang dimilikinya adalah sesuatu yang membuatnya merasa istimewa dan mereka bangga akan hal itu. Mereka senang melakukannya, mereka nyaman dalam mempelajarinya, dan mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk menggapai prestasi yang sesuai dengan bakatnya. Syarat belajar yang baik dan menyenangkan sesuai teori belajar yang dikemukakan oleh Abraham Maslow telah dicapai dalam hal ini. Banyak anak yang sudah membuktikan selain dari matematika dan ipa mereka juga bisa meraih prestasi sesuai bidang masing-masing. Bahkan ada yang mencapai tingkat internasional hanya dengan berbekal bakat yang ada dalam diri mereka yang sudah berusaha dilatih dengan maksimal. Tapi tetap saja, pada akhirnya orang tua tetap menuntut sisi akademik untuk menjadi poin utama yang harus ditekuni.

Di sini mental seorang anak diuji. Harapan akan penghargaan mengenai prestasi yang telah dicapai sirna karena mengetahui bahwa pandangan anak dan orang tua berbeda. Untuk seseorang yang memiliki mental yang cukup kuat maka mungkin dia masih bisa sedikit bertahan, lain halnya dengan seseorang dengan hati yang lembut. Banyak kasus yang menyatakan bahwa adanya depresi pada diri seorang anak dikarenakan terus-terusan mendapat tekanan dan tuntutan dari orang tua mengenai prestasinya. Anak hanya butuh pengakuan, penghargaan, dan dukungan. Namun, jarang ada orang tua yang mau mendengarkan anaknya. Kata mereka, ini demi kebaikanmu.

Tapi kebaikan seperti apa yang membuat anaknya diam-diam menggoreskan benda tajam di tangan kecilnya? Kebaikan apa yang menciptakan kebiasaan insomnia akut pada seorang anak yang menghabiskan malamnya penuh dengan jeritan tangis dalam kamarnya? Pernahkah sebagai orang tua menanyakan kepada anak mengenai apa yang mereka inginkan? Apa yang mereka sukai? Dan apa yang mereka rasakan? Sebenarnya seorang anak hanya hanya butuh pertanyaan-pertanyaan sederhana itu dalam hidupnya. bukan hanya penghakiman dan tuntutan mengenai prestasi-prestasi yang bahkan tidak sesuai dengan keahlian mereka.

Lalu, kami sebagai orang tua harus apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun