Mantap, kita bikin versinya yang lebih detail, lebih hidup, dan gaya bahasanya lebih "menggigit" tapi tetap ilmiah. Aku akan tambahkan narasi yang lebih kuat, contoh konkret, dan alur pembahasan yang lebih menggugah.
Bayangkan jika Al-Qur'an hanya dibaca seperti prasasti kuno---dimuliakan, tetapi tak menyentuh realita. Dibaca dengan suara indah, namun tak menjawab keresahan manusia modern. Lalu, bagaimana bisa firman Tuhan yang abadi terasa asing di tengah dunia yang terus berubah?
Inilah titik temu yang ditawarkan oleh tafsir kontemporer: menjembatani teks suci yang diturunkan 14 abad lalu dengan realitas abad ke-21. Tafsir ini bukan sekadar 'menafsir ulang', tapi membangun dialog antara wahyu dan waktu.
Tafsir Klasik vs. Tafsir Kontemporer: Apa Bedanya?
Tafsir klasik seperti milik al-Tabari, al-Qurtubi, atau Ibn Katsir, tak diragukan lagi kejeniusannya. Mereka membuka jalan awal dalam memahami struktur kebahasaan, asbb al-nuzl (sebab turunnya ayat), dan penjelasan hadis. Namun, sebagian besar tafsir klasik berhenti pada konteks Arab abad ke-7.
Di sisi lain, tafsir kontemporer tidak puas hanya dengan menjelaskan makna literal. Ia bertanya: "Apa makna ayat ini hari ini?" Ia menyelami nilai-nilai universal Al-Qur'an untuk menjawab isu-isu seperti keadilan gender, krisis lingkungan, hak asasi manusia, bahkan LGBT.
Ketika Ayat tentang Laki-laki Dipertanyakan
Salah satu ayat yang sering jadi polemik adalah QS. An-Nisa: 34, tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Banyak yang menjadikannya legitimasi bagi patriarki. Tapi apakah Al-Qur'an memang pro-diskriminasi?
Ahmad Nurrohim, Lc., M.Pd.I, dosen tafsir di UMS, mencoba menantang cara pandang itu dalam artikelnya "Contemporary Interpretation Approach in the Culture of Patriarchal Analysis..." (2023). Ia menyoroti bahwa ayat tersebut harus dilihat dalam struktur masyarakat Arab masa itu---bukan sebagai legitimasi absolut untuk semua zaman. Nurrohim meminjam pendekatan hermeneutik untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai Al-Qur'an justru membuka ruang kesetaraan, bukan dominasi.
Menjawab LGBT dengan Nur, Bukan Murka
Masalah lain yang kerap muncul dalam perdebatan tafsir kontemporer adalah isu LGBT. Dalam artikelnya yang lain, "The Qur'anic Perspective on the Role of Parenting in Alleviating LGBT" (2022), Nurrohim tidak buru-buru menghukumi. Ia justru meneliti bagaimana pola asuh, pendidikan spiritual, dan relasi keluarga dalam Al-Qur'an bisa menjadi pendekatan preventif. Solusi yang ditawarkan tidak bersifat menghardik, tapi memeluk dan membimbing. Ini tafsir yang menyentuh sisi manusia, bukan hanya sisi hukum.
Dua Gerak Hermeneutik: Gagasan Besar Fazlur Rahman
Pendekatan Nurrohim sejalan dengan double movement milik Fazlur Rahman: pertama, memahami konteks ayat di masa Nabi; kedua, mengangkat nilai-nilainya untuk menjawab persoalan masa kini (Rahman, 1982). Inilah yang membuat tafsir menjadi "hidup"---tidak hanya mengkaji sejarah ayat, tapi juga menghidupkannya kembali.
Kritik dan Tantangan: Tafsir atau Tafsir-suka-suka?
Tentu saja, tafsir kontemporer tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menyebutnya terlalu liberal, terlalu sosiologis, bahkan menjauh dari 'manhaj salaf'. Tapi penting dipahami: tafsir kontemporer bukan "tafsir suka-suka." Ia tetap menjunjung kaidah ushul tafsir, hanya saja dengan keberanian menautkan teks dengan konteks.
Menurut Amina Wadud, seorang penafsir Al-Qur'an dari perspektif gender, Al-Qur'an tidak pernah bertentangan dengan prinsip keadilan, bahkan bila tafsir lama kadang tampak demikian (Wadud, 1999). Jadi, yang perlu ditinjau bukan teksnya, tapi cara bacanya.
Penutup: Al-Qur'an Tak Butuh Dibela, Tapi Dihidupkan
Tafsir kontemporer bukan upaya mengganti makna wahyu, tapi menerjemahkan pesan langit ke dalam bahasa bumi. Bukan mencabut teks dari akar ilahinya, tapi menanamkannya dalam tanah zaman.
Al-Qur'an diturunkan bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk mencerahkan.
Referensi:
1. Nurrohim, Ahmad. (2023). Contemporary Interpretation Approach in the Culture of Patriarchal Analysis in Surah An-Nisa Verse 34.
2. Nurrohim, Ahmad. (2022). The Qur'anic Perspective on the Role of Parenting in Alleviating LGBT: An Analytical Study.
3. Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
4. Wadud, Amina. (1999). Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective. Oxford University Press.
5. Arkoun, Mohammed. (2006). The Unthought in Contemporary Islamic Thought. London: Saqi Books.
6. Khaled Abou El Fadl. (2005). The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Books. Rowman & Littlefield.
7. Hidayat, Komaruddin. (2007). Psikologi Agama. Jakarta: Paramadina.
-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI