Dua Gerak Hermeneutik: Gagasan Besar Fazlur Rahman
Pendekatan Nurrohim sejalan dengan double movement milik Fazlur Rahman: pertama, memahami konteks ayat di masa Nabi; kedua, mengangkat nilai-nilainya untuk menjawab persoalan masa kini (Rahman, 1982). Inilah yang membuat tafsir menjadi "hidup"---tidak hanya mengkaji sejarah ayat, tapi juga menghidupkannya kembali.
Kritik dan Tantangan: Tafsir atau Tafsir-suka-suka?
Tentu saja, tafsir kontemporer tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menyebutnya terlalu liberal, terlalu sosiologis, bahkan menjauh dari 'manhaj salaf'. Tapi penting dipahami: tafsir kontemporer bukan "tafsir suka-suka." Ia tetap menjunjung kaidah ushul tafsir, hanya saja dengan keberanian menautkan teks dengan konteks.
Menurut Amina Wadud, seorang penafsir Al-Qur'an dari perspektif gender, Al-Qur'an tidak pernah bertentangan dengan prinsip keadilan, bahkan bila tafsir lama kadang tampak demikian (Wadud, 1999). Jadi, yang perlu ditinjau bukan teksnya, tapi cara bacanya.
Penutup: Al-Qur'an Tak Butuh Dibela, Tapi Dihidupkan
Tafsir kontemporer bukan upaya mengganti makna wahyu, tapi menerjemahkan pesan langit ke dalam bahasa bumi. Bukan mencabut teks dari akar ilahinya, tapi menanamkannya dalam tanah zaman.
Al-Qur'an diturunkan bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk mencerahkan.
Referensi:
1. Nurrohim, Ahmad. (2023). Contemporary Interpretation Approach in the Culture of Patriarchal Analysis in Surah An-Nisa Verse 34.
2. Nurrohim, Ahmad. (2022). The Qur'anic Perspective on the Role of Parenting in Alleviating LGBT: An Analytical Study.