"Ih seriusan lah. Udah siap siap dengerin kuliah malem dari Sdri. Deriana Pramestri nih. Berapa SKS pun siap akuh."
"Tuh tuh roti bakar nya udah siap." Deri mengalihkan pandangan pada mas mas roti bakar. Dita pun mengekor kearah pandangan Deri.
"Belum Der. Baru juga dua. Kita kan pesen lima."
Dita kembali mengarahkan badannya pada Deri, menanti kalimat selanjutnya yang meluncur dari mulut gadis itu. Sementara yang di tatap justru sibuk membenarkan letak kacamatanya dan merapikan helai helai rambutnya yang tertiup angin malam.
"Mungkin kayak roti bakar Ta yang ikhlas berakhir di penggorengan dan masuk ke dalam perut orang dan keluar lagi dalam wujud yang lain."
"Iih Deri apaan coba. Gaje banget."
"Lah kan katanya mau kuliah malem soal ikhlas mengikhlaskan. Ta, seni menerima maupun seni kehilangan itu susah. Dan ikhlas untuk keduanya itu lebih susah. Menerima takdir -- Â nasib itu suatu hal, sementara ikhlas itu adalah hal yang lain."
"Biar bisa ikhlas?"
"Permisi mbak, yang satu isi nanas-blueberry kan?" Perbincangan mereka di sela oleh mas mas roti bakar yang barusan mengoleskan selai pada roti bakar ketiga. Lalu pertanyaannya dijawab dengan anggukan Dita sebanyak tiga kali.
"Lanjut Der, terus terus biar bisa ikhlas harus gimana?" Tanya Dita tidak sabar.
"Nih anak ye terus terus mulu. Kagak sabaran amat siah." Â Jawab Deri sambil melepas kacamatanya dan memasukkannya kedalam kantong.