Mohon tunggu...
Nabilalr
Nabilalr Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pembelajar Omnivora. Menulis sebagai tanda pernah 'ada', pernah 'merasa', dan pernah disebuah 'titik'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setangkai Pita dalam Setangkup Roti Bakar

18 Oktober 2019   22:17 Diperbarui: 18 Oktober 2019   22:20 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki itu mengoleskan mentega pada permukaan roti. Lalu menabur naburkan meses yang cukup banyak diatasnya. Sekejap dia mulai mengambil sebalok keju, dan parutannya. Menautkan keduanya hingga menghasilkan remah remah keju yang asin, sekaligus nagih.

"Menurutmu, Der ikhlas itu apa?"

"Ya ampun Ta, disini banget kamu nanyanya? Bising kali."

"Ngerti sih, tapi tadi dijalan kepikiran mulu."

"Masih yah?" Deri mengafirmasi yang dijawab anggukan tiga kali dari Dita.

Mereka berdua pun terdiam. Hanyut dalam pikiran masing masing, dengan pengantar suara penggorengan yang mulai beradu dengan setangkup roti bakar.

"Ikhlas itu yah saat kamu ngga berpikir apa apa, Ta." Deri membuka suara melawan kebisingan lalu lalang kendaraan.

"Hah? Ngga punya otak dong." Dita justru berkelakar lugu.

"Iye, kayak kamu gitu lah mirip mirip."

"Terus terus??" Dita merubah posisi duduknya mengarah kepada Deri.

"Terus nabrak Ta." Jawab Deri datar sambil memutar bola mata.

"Ih seriusan lah. Udah siap siap dengerin kuliah malem dari Sdri. Deriana Pramestri nih. Berapa SKS pun siap akuh."

"Tuh tuh roti bakar nya udah siap." Deri mengalihkan pandangan pada mas mas roti bakar. Dita pun mengekor kearah pandangan Deri.

"Belum Der. Baru juga dua. Kita kan pesen lima."

Dita kembali mengarahkan badannya pada Deri, menanti kalimat selanjutnya yang meluncur dari mulut gadis itu. Sementara yang di tatap justru sibuk membenarkan letak kacamatanya dan merapikan helai helai rambutnya yang tertiup angin malam.

"Mungkin kayak roti bakar Ta yang ikhlas berakhir di penggorengan dan masuk ke dalam perut orang dan keluar lagi dalam wujud yang lain."

"Iih Deri apaan coba. Gaje banget."

"Lah kan katanya mau kuliah malem soal ikhlas mengikhlaskan. Ta, seni menerima maupun seni kehilangan itu susah. Dan ikhlas untuk keduanya itu lebih susah. Menerima takdir --  nasib itu suatu hal, sementara ikhlas itu adalah hal yang lain."

"Biar bisa ikhlas?"

"Permisi mbak, yang satu isi nanas-blueberry kan?" Perbincangan mereka di sela oleh mas mas roti bakar yang barusan mengoleskan selai pada roti bakar ketiga. Lalu pertanyaannya dijawab dengan anggukan Dita sebanyak tiga kali.

"Lanjut Der, terus terus biar bisa ikhlas harus gimana?" Tanya Dita tidak sabar.

"Nih anak ye terus terus mulu. Kagak sabaran amat siah."  Jawab Deri sambil melepas kacamatanya dan memasukkannya kedalam kantong.

"Habis kamu dah bikin aku penasaran sih. Tanggung jawab lah." Ujar dita mencebik.

"Ta, tataran ikhlas nya tiap orang itu beda beda. Ada yang cukup pada tataran menerima nasib saja. Tapi ada juga yang memang menggali makna ikhlas itu sendiri. Ngga ada parameter bakunya kok. Hanya yang menjalani dan Tuhan saja yang tahu. Bahkan yang menjalani saja kadang ngga tau." Lanjut Deri memaparkan sambil menatap Dita lekat lekat.

"Tapi biar sadar kalo udah ikhlas nya gimana Der?" timpal Dita spontan, di sela sela kebisingan jalanan pukul 7. Deri nampak diam sejenak, sebelum melanjutkan.

"Ngga ada, Ta. Kamu akan sadar ya saat kamu sadar." Jawab Deri santai. Sambil menelanjangi jalanan yang semakin padat.

"Kayak roti bakar yang masuk ke perut, lalu keluar lagi dalam bentuk yang lain gitu ya. Kita ngga ngerasain kehilangan, ngga ngerasain apa apa. Menerima saja. Dan biasa aja karena memang harus begitu."  Ulang Dita mengonfirmasi sambil mengerjap-ngerjap kan matanya.

"Emang udah ngerti beneran?" Balas Deri bercanda yang diikuti dengan tawa.

"Apaan sih Der. Iya deh, abdi emang ngga sepinter situ. Ngga sedalem itu mikirnya."

"Bercanda kali, gitu doang ngembeg ih. "

"Tapi aku jadi ngerti sih Der sama idiom ini. Ikhlas itu ngga terucapkan. Karena kalo masih bisa terucap, berarti masih belum ikhlas. Der, kamu tambah cakep deh." Lanjut Dita sambil memberikan applause sebagai bentuk penghormatan.

"Giliran kamu yang apaan sih Ta. Dan ntar ya kalo dah kayak roti bakar, kamu bakalan dapat pita kayak di gerobag itu." Deri menimpali sambil menunjuk jejeran pita dalam etalase gerobag roti bakar. Sementara Dita justru menunjukkan wajah kebingungan dan bertanya tanya. Belum sempat ia bertanya, Deri melanjutkan kalimatnya.

"Ada hikmahnya, Ta. Pasti. Ada sweetner nya, pasti. Tuhan ngga pernah salah bikin perencanaan dan eksekusi." Deri menjelaskan, lalu mengambil dompet dalam tasnya untuk membayar lima bungkus roti bakar yang mereka beli.

"Mantap deh Der kuliah malam ini. Cakep deh pokoknaa." Lagi lagi Dita memberikan applause yang disusul oleh senyuman tipis dari Deri.

"Berapa mas?" Tanya Deri sambil berjalan kearah mas mas roti bakar yang nampak berkeringat sekaligus lega.

"Semuaya 60.000 mbak." Jawab mas mas roti bakar, lalu menyerahkan bungkusan berwarna hitam. Deri pun melakukan pembayaran sebelum beranjak.

"Udah? Yuk cus, udah ditunggu anak anak." Ujar Dita yang disusul anggukan dua kali oleh Deri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun