Generasi Z dibesarkan dalam lingkungan sosial yang menantang. Mereka menghadapi ketimpangan ekonomi, biaya tinggi untuk pendidikan, persaingan hidup yang ketat, dan budaya populer yang mengagungkan kemewahan dan gaya hidup glamor. Dalam situasi seperti ini, sebagian remaja menganggap cinta sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan dan peluang hidup mereka. Sebagai contoh, seorang mahasiswi dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah mungkin merasa sulit untuk membiayai kuliah sambil memenuhi tuntutan sosial seperti tampil rapi, memiliki gawai terbaru, atau dapat nongkrong di tempat yang kekinian. Ketika ada peluang untuk menjalin hubungan dengan pria dewasa yang bersedia membayar kuliah, transportasi, dan biaya hidup, pilihan ini dianggap paling masuk akal. Dalam hal ini, tindakan rasional-instrumental berfungsi sebagai hubungan yang dibangun bukan berdasarkan cinta, tetapi karena keuntungan.
Namun, tidak semua sugar relationship tidak sehat. Dalam beberapa situasi, tindakan sosial ini juga mengandung komponen afektif, yaitu hubungan yang dibangun karena kebutuhan emosional atau rasa terikat secara personal. Misalnya, seorang remaja perempuan yang tidak mendapatkan perhatian keluarga kemudian merasa dihargai, dimanja, dan diperhatikan oleh pasangan sugar daddy-nya. Dalam hal ini, hubungan didasarkan pada rasa nyaman dan kasih sayang, bukan hanya pertukaran materi. Ini terjadi dalam kerangka relasi yang masih mengalami asimetri sosial. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tindakan sosial Weber biasanya berinteraksi satu sama lain dalam praktik sosial daripada berdiri sendiri.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa sebagian remaja menjalani sugar relationship dengan cara konvensional, yaitu perilaku yang diulang karena kebiasaan sosial atau karena banyak dilakukan oleh lingkungan mereka. Â Banyak cerita dan konten yang menormalisasi sugar relationship di era internet. TikTok, X (Twitter), dan YouTube penuh dengan cara bagaimana bisa menjalin sugar relationship untuk mendapatkan 'kemandirian finansial.' Sebagian remaja meniru dan membanggakan kebiasaan menjalin hubungan dengan orang lain ketika cerita seperti ini menjadi dominan. Karena telah menjadi bagian dari habitus tindakan, yang mana dalam konteks ini, pengaruh struktur sosial dan budaya digital tidak dapat dikesampingkan.
Contoh nyata adalah kasus viral seorang siswa di Jakarta yang membagikan pengalamannya sebagai sugar baby di X (Twitter). Ia mengatakan bahwa hanya dengan memintanya untuk makan malam dua kali seminggu dan menemaninya bepergian, seorang pria berusia lima puluh tahun memberikan uang hingga sepuluh juta rupiah sebulan kepadanya. Dalam postingannya, ia menyatakan bahwa ia menggunakan dana tersebut untuk membayar kuliahnya, membantu keuangan keluarganya, dan memenuhi kebutuhan pribadi. Meskipun pada awalnya ia ragu dan takut dicap negatif, ia kemudian merasa 'berdaya' karena memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Menurut Weber, ini adalah jenis tindakan sosial yang berorientasi tujuan karena pelaku secara sadar mempertimbangkan untung-rugi dan memilih relasi tersebut sebagai cara terbaik untuk bertahan hidup dan mengejar keinginan.
Namun, penting untuk diingat bahwa teori tindakan sosial Weber tidak membedakan tindakan individu dari konteks sosialnya. Struktur sosial tertentu sering menyebabkan individu membuat pilihan yang tampak rasional, yang membatasi pilihan lain. Artinya, keputusan Gen Z untuk melibatkan diri dalam sugar relationship merupakan refleksi dari situasi sosial-ekonomi dan budaya di sekitar mereka, bukan hanya tindakan individu. Jadi, untuk memahami fenomena ini, kita harus mempertimbangkan bagaimana tekanan objektif dari lingkungan sosial pelaku memengaruhi makna subjektifnya. Oleh karena itu, menurut teori tindakan sosial Max Weber, sugar relationship dapat dianggap sebagai tindakan sosial yang rasional, kompleks, dan penuh dengan makna subjektif daripada hanya perilaku menyimpang. Pilihan seperti ini menunjukkan upaya generasi muda untuk mengontrol realitas keras. Ini terjadi di dunia di mana seseorang harus segera hidup, diakui, dan mandiri.
REFLEKSI PENDIDIKAN
Fenomena sugar relationship yang semakin marak di kalangan remaja Generasi Z menjadi peringatan penting bagi dunia pendidikan. Munculnya praktik hubungan transaksional berbasis materi menunjukkan bahwa semangat pendidikan moral dan pembangunan karakter yang ditekankan dalam kebijakan pendidikan nasional tidak terlaksanakan dengan baik. Bukan hanya masalah moral yang dihadapi oleh individu saja, tetapi juga masalah moral yang dihadapi sistem secara keseluruhan, karena pendidikan tidak dapat menjadi tempat yang aman, kuat, dan penting untuk membangun karakter dan nilai hidup generasi muda.
Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan kemampuan akademik dan teknis, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, tanggung jawab, harga diri, dan kejujuran. Remaja tidak memiliki prinsip yang kuat dalam diri mereka ketika mereka memilih jalan pintas seperti hubungan transaksional untuk mencapai tujuan moneter atau eksistensial. Pendidikan sekarang dilihat sebagai kebiasaan simbolik yang berbeda dari kebutuhan kehidupan nyata dan tidak penting untuk mencapai kesuksesan di masa depan. Pendidikan tampaknya gagal memberikan relevansi dan hubungan antara proses belajar dan kehidupan nyata dalam situasi seperti ini, terutama dalam menghadapi masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Pendidikan tidak memberikan pelatihan yang cukup kepada siswa untuk memahami literasi digital, emosional, dan seksual yang kontekstual dan bermakna. Di tengah gempuran media sosial yang mendorong gaya hidup instan dan hedonistik, remaja membutuhkan kemampuan untuk memahami, memilah, dan mengkritisi informasi dan norma budaya baru yang mereka konsumsi setiap hari. Pendidikan belum membahas masalah kontemporer seperti komodifikasi tubuh, normalisasi hubungan transaksional, dan pencarian validasi melalui platform digital. Namun, kemampuan untuk merefleksikan diri secara kritis dan memahami dinamika sosial sangat penting agar remaja dapat mengikuti arus dan menjadi individu yang bermartabat.
Selain itu, refleksi ini menunjukkan betapa pentingnya sekolah dan keluarga berpartisipasi secara terbuka dan aktif dalam mendampingi perkembangan psikososial remaja. Banyak siswa mencari jalan pintas karena faktor-faktor seperti tekanan finansial, terisolasi dari keluarga, atau tidak memiliki kesempatan untuk berbicara dengan orang lain. Di sinilah pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang peduli dan mendukung yang mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan dasar siswa selain mengejar standar akademik. Sekolah tidak hanya harus mengajar siswa, tetapi juga harus menjadi tempat di mana orang bertanya, berbicara, dan berbagi kisah hidup mereka. Juga, penelitian pendidikan harus berpusat pada pengembangan kurikulum yang lebih kritis dan kontekstual. Dalam keadaan seperti ini, pendidikan harus mempertimbangkan realitas sosial sebagai bagian dari prosesnya. Sekolah harus secara terbuka membahas masalah seperti kuasa, ekonomi digital, gender, eksploitasi tubuh, dan tekanan media sosial untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang dunia nyata. Agar mereka dapat mengelola percakapan secara bijak dan bermanfaat, guru dan pendidik harus dilatih dan didukung untuk memaksimalkan pencapaian kebijakan tersebut.
Akibatnya, pendidikan sangat penting untuk pencegahan dan pengobatan kondisi seperti sugar relationship. Ini dapat dimulai dengan pendidikan yang lebih kontekstual, manusiawi, dan membumi yang mengajarkan siswa untuk menjadi manusia dengan nilai, makna, dan jalan hidup yang jelas. Pendidikan tidak lagi dapat disembunyikan di balik tembok kelas karena dunia luar terus berubah dan menarik remaja ke arah yang penuh risiko. Menurut refleksi ini, pendidikan harus berfungsi sebagai benteng nilai, tempat aman, dan cahaya penuntun bagi generasi muda di tengah gempuran zaman yang membingungkan dan serba instan.
PENUTUP