Mohon tunggu...
Nabila ZhafarinaEffendi
Nabila ZhafarinaEffendi Mohon Tunggu... Mahasiswi Pendidikan Sosiologi 2023, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.

Halo, saya Nabila Zhafarina Effendi, mahasiswi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, angkatan 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Remaja, Romansa, dan Realitas: Mengapa Sugar Relationship Menarik bagi Gen Z

30 Juni 2025   20:29 Diperbarui: 30 Juni 2025   20:29 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam beberapa tahun terakhir, digitalisasi telah mempercepat perubahan sosial dan budaya. Hal ini telah memengaruhi cara generasi muda membangun identitas, hubungan, dan memaknai kehidupan. Salah satu fenomena sosial yang paling menonjol dalam konteks ini adalah sugar relationship, yang merupakan hubungan transaksional antara anak muda (sugar baby) dan orang dewasa yang lebih kaya (sugar daddy atau sugar mommy). Hubungan ini biasanya didasarkan pada pemberian materi, fasilitas hidup, atau akses kemewahan sebagai imbalan untuk kedekatan emosional, afeksi, atau bahkan hubungan seksual.

Fenomena ini telah menimbulkan banyak kontroversi di masyarakat, terutama karena bertentangan dengan kebiasaan lama yang mendefinisikan hubungan romantis dan etika seksual. Namun, menariknya bahwa generasi muda, khususnya Generasi Z, menjadi pelaku dominan dalam praktik ini. Generasi Z adalah kelompok usia yang lahir dan tumbuh di dunia digital, dengan standar gaya hidup yang ditentukan oleh estetika digital dan pengakuan publik, serta paparan media sosial yang tinggi. Bagi sebagian remaja, sugar relationship bukan hanya tentang uang atau seks, tetapi juga tentang akses gaya hidup yang tertutup, rasa aman, dan bahkan pengakuan sosial. Penampilan, popularitas, dan kemampuan untuk membangun citra menjadi lebih penting dalam masyarakat yang semakin konsumtif dan visual. Memiliki tas bermerek, berlibur ke luar negeri, dan makan di restoran mahal bukan hanya kebutuhan atau keinginan, namun merupakan simbol kelas, status, dan nilai. Tidak mengherankan jika banyak anak muda melihat relasi transaksional ini sebagai cara tercepat untuk naik kelas simbolik di tengah sistem pendidikan dan kerja yang sering dianggap mahal, lambat, dan tidak pasti hasilnya.

Fenomena ini juga tidak terlepas dari ketimpangan struktural dan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Karena mahalnya biaya kuliah, keterbatasan lapangan pekerjaan, dan ketidakstabilan ekonomi keluarga, sebagian remaja merasa terpaksa mencari pilihan yang lebih instan. Peran orang tua, pendidikan nilai sekolah, dan institusi sosial lainnya telah kehilangan kekuatan karena dominasi budaya digital dan narasi individualisme. Nilai-nilai seperti kerja keras, kesetiaan, dan cinta mulai hilang ketika semua hal dapat dibeli dengan uang. Fenomena ini jelas tidak dapat didefinisikan secara satu pihak, yang mana kita tidak bisa melihat keputusan remaja untuk terlibat dalam hubungan sugar daddy hanya sebagai kesalahan moral individu. Hal ini harus dilihat sebagai reaksi terhadap situasi sosial yang kompleks, seperti krisis nilai, ketimpangan ekonomi, pendidikan karakter yang buruk, kekurangan kontrol keluarga, dan dominasi budaya populer yang menormalisasi hubungan materialistik.

ANALSIS SOSIOLOGIS

Teori konsumsi simbolik yang dikembangkan oleh sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, dapat digunakan untuk menganalisis secara menyeluruh fenomena sugar relationship yang muncul di kalangan Generasi Z. Menurut teori ini, konsumsi tidak hanya dianggap sebagai tindakan untuk memenuhi kebutuhan biologis atau ekonomi, tetapi juga sebagai praktik simbolik yang menunjukkan status sosial, memperkuat identitas, dan membedakan diri dari kelompok sosial lain. Dengan kata lain, semua yang kita konsumsi, baik itu barang, gaya hidup, atau hubungan sosial, memiliki makna simbolik yang menunjukkan posisi kita dalam struktur sosial. Dalam konteks ini, sebagian remaja menggunakan sugar relationship sebagai cara untuk mendapatkan uang dan akses ke gaya hidup tertentu, membangun modal simbolik, dan menciptakan citra diri yang berkelas di mata masyarakat, terutama di dunia digital.

Generasi Z sangat terbiasa dengan algoritma keterlihatan atau visibility di media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok bukan hanya tempat untuk berekspresi tetapi juga tempat untuk menunjukkan pencapaian dan gaya hidup orang. Penampilan dan tanda-tanda kemewahan, seperti mobil mewah, tas bermerek, liburan ke luar negeri, atau makan di restoran mahal, sering kali menentukan kehidupan di arena ini. Oleh karena itu, sugar relationship memberikan remaja akses cepat ke gaya hidup mewah. Dalam teori Bourdieu, gaya hidup ini disebut sebagai bentuk modal simbolik berupa pengakuan sosial yang diperoleh melalui penggunaan tanda-tanda status tertentu. Mereka tidak hanya memamerkan barang mewah di media sosial, tetapi juga menyebarkan pesan bahwa mereka bernilai, diinginkan, dan berhasil.

Menurut Bourdieu, konsep habitus adalah pola pikir, persepsi, dan tindakan yang dibentuk oleh pengalaman masa kanak-kanak seseorang. Menilai sesuatu sebagai pantas, indah, atau bergengsi dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang. Dalam masyarakat yang semakin terjebak pada budaya konsumsi dan ketimpangan ekonomi, kehidupan generasi muda juga berubah. Remaja yang dibesarkan dalam lingkungan ekonomi yang tidak stabil biasanya percaya bahwa kerja keras dan pendidikan adalah satu-satunya cara untuk naik kelas sosial. Ketika teman sebaya mereka berhasil mencapai tanda-tanda kesuksesan melalui sugar relationship, jalan tersebut tampak 'logis' bagi habitus mereka. Ketika model-model ini dipromosikan di media sosial, hal tersebut mulai dianggap sebagai taktik sosial untuk mendapatkan modal simbolik secara instan.

Konsumsi simbolik nyata dapat dilihat dalam berbagai konten di media sosial. Sebagai contoh, seorang remaja yang merupakan sugar baby dari Jakarta membuat video di TikTok yang menceritakan kehidupannya yang independen secara finansial karena dia 'punya pasangan yang suportif secara ekonomi.' Ada cerita tentang liburan ke negara lain, makan malam di hotel bintang lima, dan hadiah tas merek terkenal. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam cerita, sugar relationship memiliki arti penting, seperti kesuksesan, kemandirian, dan daya tarik. Remaja lain yang melihat konten tersebut, terutama mereka yang mengalami kesulitan keuangan atau kehilangan identitas, mungkin juga terdorong untuk mengikuti pilihan mereka untuk mendapatkan pengakuan. Konsumsi simbolik mulai bekerja, karena hubungan dengan seseorang menjadi cara untuk mendapatkan gaya hidup dan mengafirmasi posisi sosial.

Menurut pandangan Bourdieu, sugar relaitionship Gen Z dapat dipahami sebagai praktik sosial yang didasarkan pada keinginan untuk pengakuan, kompetisi simbolik, dan pencarian identitas dalam masyarakat yang semakin visual dan konsumtif. Gaya hidup yang dihasilkan dari relasi transaksional ini termasuk dalam metode untuk memperoleh legitimasi sosial yang menilai individu berdasarkan apa yang mereka tampilkan daripada proses atau nilai intrinsik mereka. Oleh karena itu, sugar relationship harus dilihat tidak hanya sebagai penyimpangan moral tetapi juga sebagai respons terhadap tekanan budaya konsumsi dan tekanan struktural yang membentuk cara berpikir generasi muda.

Teori Tindakan Sosial Max Weber dapat digunakan untuk menganalisis secara menyeluruh fenomena sugar relationship di kalangan Gen Z. Menurut Weber, tindakan manusia selalu mengandung makna subjektif yang berorientasi pada orang lain dan bukanlah hasil dari naluri semata. Menurut Weber, ada empat jenis utama tindakan sosial, yaitu rasional-instrumental (berorientasi pada tujuan dengan perhitungan logis), rasional-nilai (berdasarkan prinsip atau nilai moral), afektif (berdasarkan emosi), dan tradisional. Logika rasional-instrumental, yaitu tindakan yang secara sadar dipilih untuk mencapai tujuan tertentu, seperti keamanan finansial, gaya hidup, atau peningkatan status sosial, yang mana hal tersebut menjadi alasan mengapa banyak remaja Gen Z menjalani hubungan transaksional dengan sugar relationship.

Generasi Z dibesarkan dalam lingkungan sosial yang menantang. Mereka menghadapi ketimpangan ekonomi, biaya tinggi untuk pendidikan, persaingan hidup yang ketat, dan budaya populer yang mengagungkan kemewahan dan gaya hidup glamor. Dalam situasi seperti ini, sebagian remaja menganggap cinta sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan dan peluang hidup mereka. Sebagai contoh, seorang mahasiswi dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah mungkin merasa sulit untuk membiayai kuliah sambil memenuhi tuntutan sosial seperti tampil rapi, memiliki gawai terbaru, atau dapat nongkrong di tempat yang kekinian. Ketika ada peluang untuk menjalin hubungan dengan pria dewasa yang bersedia membayar kuliah, transportasi, dan biaya hidup, pilihan ini dianggap paling masuk akal. Dalam hal ini, tindakan rasional-instrumental berfungsi sebagai hubungan yang dibangun bukan berdasarkan cinta, tetapi karena keuntungan.

Namun, tidak semua sugar relationship tidak sehat. Dalam beberapa situasi, tindakan sosial ini juga mengandung komponen afektif, yaitu hubungan yang dibangun karena kebutuhan emosional atau rasa terikat secara personal. Misalnya, seorang remaja perempuan yang tidak mendapatkan perhatian keluarga kemudian merasa dihargai, dimanja, dan diperhatikan oleh pasangan sugar daddy-nya. Dalam hal ini, hubungan didasarkan pada rasa nyaman dan kasih sayang, bukan hanya pertukaran materi. Ini terjadi dalam kerangka relasi yang masih mengalami asimetri sosial. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tindakan sosial Weber biasanya berinteraksi satu sama lain dalam praktik sosial daripada berdiri sendiri.

Selain itu, ada kemungkinan bahwa sebagian remaja menjalani sugar relationship dengan cara konvensional, yaitu perilaku yang diulang karena kebiasaan sosial atau karena banyak dilakukan oleh lingkungan mereka.  Banyak cerita dan konten yang menormalisasi sugar relationship di era internet. TikTok, X (Twitter), dan YouTube penuh dengan cara bagaimana bisa menjalin sugar relationship untuk mendapatkan 'kemandirian finansial.' Sebagian remaja meniru dan membanggakan kebiasaan menjalin hubungan dengan orang lain ketika cerita seperti ini menjadi dominan. Karena telah menjadi bagian dari habitus tindakan, yang mana dalam konteks ini, pengaruh struktur sosial dan budaya digital tidak dapat dikesampingkan.

Contoh nyata adalah kasus viral seorang siswa di Jakarta yang membagikan pengalamannya sebagai sugar baby di X (Twitter). Ia mengatakan bahwa hanya dengan memintanya untuk makan malam dua kali seminggu dan menemaninya bepergian, seorang pria berusia lima puluh tahun memberikan uang hingga sepuluh juta rupiah sebulan kepadanya. Dalam postingannya, ia menyatakan bahwa ia menggunakan dana tersebut untuk membayar kuliahnya, membantu keuangan keluarganya, dan memenuhi kebutuhan pribadi. Meskipun pada awalnya ia ragu dan takut dicap negatif, ia kemudian merasa 'berdaya' karena memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Menurut Weber, ini adalah jenis tindakan sosial yang berorientasi tujuan karena pelaku secara sadar mempertimbangkan untung-rugi dan memilih relasi tersebut sebagai cara terbaik untuk bertahan hidup dan mengejar keinginan.

Namun, penting untuk diingat bahwa teori tindakan sosial Weber tidak membedakan tindakan individu dari konteks sosialnya. Struktur sosial tertentu sering menyebabkan individu membuat pilihan yang tampak rasional, yang membatasi pilihan lain. Artinya, keputusan Gen Z untuk melibatkan diri dalam sugar relationship merupakan refleksi dari situasi sosial-ekonomi dan budaya di sekitar mereka, bukan hanya tindakan individu. Jadi, untuk memahami fenomena ini, kita harus mempertimbangkan bagaimana tekanan objektif dari lingkungan sosial pelaku memengaruhi makna subjektifnya. Oleh karena itu, menurut teori tindakan sosial Max Weber, sugar relationship dapat dianggap sebagai tindakan sosial yang rasional, kompleks, dan penuh dengan makna subjektif daripada hanya perilaku menyimpang. Pilihan seperti ini menunjukkan upaya generasi muda untuk mengontrol realitas keras. Ini terjadi di dunia di mana seseorang harus segera hidup, diakui, dan mandiri.

REFLEKSI PENDIDIKAN

Fenomena sugar relationship yang semakin marak di kalangan remaja Generasi Z menjadi peringatan penting bagi dunia pendidikan. Munculnya praktik hubungan transaksional berbasis materi menunjukkan bahwa semangat pendidikan moral dan pembangunan karakter yang ditekankan dalam kebijakan pendidikan nasional tidak terlaksanakan dengan baik. Bukan hanya masalah moral yang dihadapi oleh individu saja, tetapi juga masalah moral yang dihadapi sistem secara keseluruhan, karena pendidikan tidak dapat menjadi tempat yang aman, kuat, dan penting untuk membangun karakter dan nilai hidup generasi muda.

Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan kemampuan akademik dan teknis, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, tanggung jawab, harga diri, dan kejujuran. Remaja tidak memiliki prinsip yang kuat dalam diri mereka ketika mereka memilih jalan pintas seperti hubungan transaksional untuk mencapai tujuan moneter atau eksistensial. Pendidikan sekarang dilihat sebagai kebiasaan simbolik yang berbeda dari kebutuhan kehidupan nyata dan tidak penting untuk mencapai kesuksesan di masa depan. Pendidikan tampaknya gagal memberikan relevansi dan hubungan antara proses belajar dan kehidupan nyata dalam situasi seperti ini, terutama dalam menghadapi masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Pendidikan tidak memberikan pelatihan yang cukup kepada siswa untuk memahami literasi digital, emosional, dan seksual yang kontekstual dan bermakna. Di tengah gempuran media sosial yang mendorong gaya hidup instan dan hedonistik, remaja membutuhkan kemampuan untuk memahami, memilah, dan mengkritisi informasi dan norma budaya baru yang mereka konsumsi setiap hari. Pendidikan belum membahas masalah kontemporer seperti komodifikasi tubuh, normalisasi hubungan transaksional, dan pencarian validasi melalui platform digital. Namun, kemampuan untuk merefleksikan diri secara kritis dan memahami dinamika sosial sangat penting agar remaja dapat mengikuti arus dan menjadi individu yang bermartabat.

Selain itu, refleksi ini menunjukkan betapa pentingnya sekolah dan keluarga berpartisipasi secara terbuka dan aktif dalam mendampingi perkembangan psikososial remaja. Banyak siswa mencari jalan pintas karena faktor-faktor seperti tekanan finansial, terisolasi dari keluarga, atau tidak memiliki kesempatan untuk berbicara dengan orang lain. Di sinilah pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang peduli dan mendukung yang mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan dasar siswa selain mengejar standar akademik. Sekolah tidak hanya harus mengajar siswa, tetapi juga harus menjadi tempat di mana orang bertanya, berbicara, dan berbagi kisah hidup mereka. Juga, penelitian pendidikan harus berpusat pada pengembangan kurikulum yang lebih kritis dan kontekstual. Dalam keadaan seperti ini, pendidikan harus mempertimbangkan realitas sosial sebagai bagian dari prosesnya. Sekolah harus secara terbuka membahas masalah seperti kuasa, ekonomi digital, gender, eksploitasi tubuh, dan tekanan media sosial untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang dunia nyata. Agar mereka dapat mengelola percakapan secara bijak dan bermanfaat, guru dan pendidik harus dilatih dan didukung untuk memaksimalkan pencapaian kebijakan tersebut.

Akibatnya, pendidikan sangat penting untuk pencegahan dan pengobatan kondisi seperti sugar relationship. Ini dapat dimulai dengan pendidikan yang lebih kontekstual, manusiawi, dan membumi yang mengajarkan siswa untuk menjadi manusia dengan nilai, makna, dan jalan hidup yang jelas. Pendidikan tidak lagi dapat disembunyikan di balik tembok kelas karena dunia luar terus berubah dan menarik remaja ke arah yang penuh risiko. Menurut refleksi ini, pendidikan harus berfungsi sebagai benteng nilai, tempat aman, dan cahaya penuntun bagi generasi muda di tengah gempuran zaman yang membingungkan dan serba instan.

PENUTUP

Fenomena sugar relationship yang semakin marak di kalangan remaja Generasi Z adalah potret nyata dari perubahan zaman yang kontradiksi. Di satu sisi, remaja menghadapi tuntutan hidup yang tinggi, ekspektasi sosial yang tidak selalu dapat dicapai, dan pengaruh media digital yang membentuk cara mereka melihat cinta, relasi, dan kesuksesan. Sebaliknya, lingkungan sosial dan pendidikan belum sepenuhnya dapat memberikan nilai, kemandirian, dan kesadaran kritis yang diperlukan untuk menghadapi arus zaman yang penuh keinginan. Menurut analisis sosiologis, sugar relationship bukan hanya hubungan pribadi, tetapi juga tentang cara sistem sosial, ekonomi, dan budaya memengaruhi keputusan remaja. Fenomena ini menjadi peringatan bahwa banyak anak muda mengalami kebingungan nilai, tertekan oleh kenyataan, dan akhirnya mencari kenyamanan dalam relasi cepat dan sederhana.

Namun di tengah persoalan ini, selalu ada ruang untuk harapan. Generasi muda selalu berubah dan memiliki banyak peluang. Dengan pendampingan yang tepat, pendidikan yang membumi, dan ruang untuk berbicara dengan orang-orang di sekitar mereka, remaja dapat diarahkan untuk menemukan kembali arti cinta, martabat diri, dan kesuksesan. Sugar relationship bukanlah satu-satunya cara hidup, ada banyak cara yang lebih sehat, berharga, dan bermakna untuk hidup dan berkembang.

Oleh karena itu, mari kita bekerja sama untuk membuat ruang yang aman, edukatif, dan inspiratif bagi remaja. Ruang yang tidak hanya memberi mereka pemahaman tentang dunia, tetapi juga memberi mereka keberanian untuk memilih jalan yang benar meskipun sulit. Mari kita ajak generasi berikutnya untuk membangun kehidupan berdasarkan nilai, bukan hanya simbol. Tetapi, untuk berani memilih hubungan yang sehat, untuk percaya bahwa kebahagiaan tidak dapat dibeli, dan untuk bertindak jujur terhadap diri sendiri adalah kunci untuk masa depan yang baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun